Investigasi Lelang Opentender Pemerintah

Opentender.net, Instrumen Peningkatan Kontrol Publik Berbasis Teknologi

Secara umum diyakini bahwa untuk mengurangi korupsi, sebuah negara perlu mengadopsi penggunaan teknologi informasi dalam mengelola dan menyediakan layanan publiknya kepada masyarakat. Kini, pendekatan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang baik berbasis teknologi informasi di berbagai belahan dunia telah begitu populer. Pesatnya pertumbuhan industri teknologi informasi turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan penerapan IT pada sektor publik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai bagian penting dari gerakan antikorupsi di Indonesia menyadari adanya potensi dalam penerapan IT untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah. Salah satu yang diinisiasi oleh ICW adalah penyediaan alat pengawasan untuk sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah berbasis elektronik bernama opentender.net. Instrumen berbasis web ini gunanya untuk mengidentifikasi potensi kecurangan (fraud) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang telah dilakukan melalui lelang elektronik. Dengan mengetahui adanya potensi fraud, maka publik bisa melakukan pressure kepada pemerintah secara lebih memadai, karena ditopang oleh kekuataan informasi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam mengembangkan instrumen ini, ICW mendapatkan sokongan penuh dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), yang merupakan lembaga otonom dibawah Presiden. Salah satu dukungan yang sangat signifikan adalah penyediaan data seluruh lelang elektronik yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang bersumber dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh Indonesia. Data itu kemudian diolah dalam mesin opentender.net untuk menghasilkan lima informasi mendasar yang digunakan untuk menentukan besar kecilnya potensi fraud dalam setiap pengadaan.

Harus diakui bahwa setiap instrumen pengawasan yang bersumber dari masyarakat, hidup dan matinya ada di tangan masyarakat itu sendiri. Jika tidak ada satupun, atau hanya segelintir orang yang mengerti dan menggunakan instrumen pengawasan tertentu yang telah tersedia, maka kontrol publik juga menjadi tidak terlalu berarti. Oleh karena itu, ICW bekerjasama dengan berbagai pihak, khususnya pada sektor masyarakat sipil seperti CSO di berbagai daerah dan jurnalis untuk dapat menggunakan opentender.net melalui kegiatan fellowship.

Atas dukungan MAVC-HIvOS, kegiatan fellowship yang menyasar para jurnalis di daerah telah dilaksanakan. Peserta fellowship diajak mengenal opentender.net dalam satu sesi pelatihan khusus dan kemudian diminta untuk menggunakan tool ini dalam melakukan kerja investigasi. Hasilnya cukup memuaskan karena banyak potensi pelanggaran dalam pengadaan sektor publik di daerah sampel program ditemukan, meski proyek pengadaan itu telah dilakukan secara elektronik.

Dengan menggunakan opentender.net, jurnalis peserta fellowship lebih mudah mengidentifikasi jenis proyek pengadaan yang akan dipilih untuk dijadikan objek penelusuran. Hal berikutnya yang perlu dilakukan oleh para jurnalis adalah melakukan pencarian dokumen tambahan, seperti kontrak, tanda daftar perusahaan, akte pendirian perusahaan, spesifikasi proyek, harga pembanding yang tersedia di pasaran, dan penelusuran lapangan untuk mengetahui kebenaran atas berbagai informasi yang ada, seperti alamat perusahaan, nama perusahaan yang ikut tender, pemilik atau pengendali perusahaan dan lain sebagainya.

Dari penggunaan opentender.net yang dikembangkan melalui kerja-kerja investigasi jurnalistik, setidaknya kita bisa memberikan gambaran yang lebih akurat bahwa penerapan teknologi informasi dalam pengelolaan anggaran sektor publik tidak secara otomatis membuat tata kelola menjadi lebih baik. Artinya, asumsi bahwa intervensi teknologi pada sektor publik dapat meningkatkan kualitas good governance dan mengurangi korupsi bukanlah sesuatu yang tanpa prasyarat.

Mengacu pada temuan dari kerja investigasi peserta fellowship, ada beberapa modus penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tidak berubah meskipun sudah menggunakan mekanisme tender elektronik. Diantaranya adalah, pertama, adanya indikasi lelang arisan dimana jumlah peserta lelang mencukupi untuk tidak disebut sebagai monopoli, akan tetapi pada tahap akhir proses lelang, sebagian besar dari mereka tidak mengajukan harga penawaran.Terdapat indikasi peserta lelang dikondisikan untuk mundur teratur sehingga pada tahap akhir lelang, yang akan muncul sebagai pemenang adalah perusahaan yang telah sedari awal ditentukan dipilih.

Kedua, berbagai perusahaan yang mengikuti lelang elektronik pada satu proyek dikendalikan oleh satu orang. Banyaknya peserta lelang yang mendaftar hanyalah formalitas belaka karena pengendali atau pemiliknya ada pada satu tangan. Untuk mengendalikan berbagai perusahaan itu, pengusaha dapat meminjam perusahaan milik orang lain dengan biaya tertentu yang dibayarkan di muka.

Ketiga, beberapa perusahaan yang mengikuti lelang tidak jelas alamatnya. Meskipun dalam dokumen lelang disebutkan adanya alamat resmi dari perusahaan-perusahaan yang mengikuti lelang, namun ketika ditelusuri ke lapangan, acapkali alamat tersebut tidak ditemukan. Kadangkala alamat itu hanyalah rumah pribadi, atau ruko yang aktivitasnya berbeda dengan apa yang dituangkan dalam dokumen lelang.

Dari hasil investigasi para jurnalis peserta fellowship, ‘permainan’ lelang secara elektronik dapat ditemukan dengan gamplang. Temuan mereka itu sekaligus mengkonfirmasi validitas dari instrument opentender.net yang telah dibuat oleh ICW dalam rangka membantu masyarakat untuk mengawasi kerja-kerja pemerintah, khususnya di sektor belanja publik. Selain jurnalis, kalangan CSO di daerah, kelompok mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum merupakan aktor yang dapat menggunakan tool opentender.net untuk memulai kerja pengawasan karena mudahnya penggunaan tool ini.

Semoga karya para jurnalis peserta fellowship opentender.net dapat menginspirasi kalangan jurnalis secara lebih luas untuk memanfaatkan website opentender.net dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik mereka. Tentu tak ada gading yang tak retak. Hasil atau karya investigasi peserta fellowship sebenarnya dapat lebih dipertajam dengan berbagai bukti dan dokumen lainnya, namun karena alokasi waktu yang tersedia, serta dukungan anggaran yang tidak terlalu besar, maka kerja investigasi para peserta fellowship pada akhirnya harus dibatasi oleh kedua hal itu.

Kalibata, 23 September 2017

Adnan Topan Husodo

Koordinator ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags