Intrik Perampok Pembangunan

Pembangunan bagi rakyat didefinisikan sederhana saja, yaitu makan cukup dan bergizi, rumah sehat, sekolah baik untuk anak-anak, akses kesehatan yang murah, dan terfasilitasinya aktivitas-aktivitas sosial ekonomi.

Dengan demikian, proses pembangunan seharusnya berorientasi pada definisi tersebut. Tidak rumit. Namun, elite dalam negaralah yang menjadikan pembangunan sebagai suatu perkara yang berbelit dan rumit. Pembangunan jadi penuh intrik para elite politik. Intrik yang ujung-ujungnya adalah merampok dana negara untuk memperkaya diri sendiri.

Tidak heran jika sampai detik ini rakyat masih berkubang kesusahan memenuhi kebutuhan dasarnya. Lantas bagaimana seharusnya menyelamatkan pembangunan?

Intrik elite
Berbeda dengan pembangunan pada masa otoriter yang dikorupsi secara bisik-bisik di belakang meja, pada masa demokrasi, pembangunan dikorupsi secara terbuka dan dicirikan oleh retorika licin para elite kekuasaan. Retorika licin tersebut lihai dalam membubuhkan terminologi kerakyatan di balik ambisi merampok pembangunan. Lihat saja beberapa waktu lalu, sebagian elite di Senayan meminta dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar untuk setiap anggota DPR.

Retorikanya adalah dana tersebut untuk mendorong proses pembangunan pada basis konstituen. Usulan ini tidak lama berselang setelah mereka menyetujui skandal Bank Century sebagai bagian dari perampokan dana negara.

Respons terhadap usulan dana aspirasi sudah ramai disampaikan. Sebagian elite berlomba menolak usulan tersebut. Pertanyaannya, benarkah mereka benar-benar tulus menolak? Publik masih belum bisa percaya sepenuhnya bahwa elite benar-benar tidak berintrik untuk merampok uang negara. Bagaimana tidak, para elite yang ada dalam struktur kekuasaan selama ini tidak benar-benar tulus membela kepentingan rakyat.

Sebelum dana aspirasi 2010, para elite Senayan meminta kenaikan gaji dan tunjangan. Jumlahnya selalu tidak kecil. Pada saat bersamaan, kinerja mereka dalam melegislasi kebijakan pro rakyat jauh dari panggang api. Skandal Century saja sampai saat ini tidak jelas arahnya.

Partai politik yang idealnya menjadi lembaga intermediari visi pembangunan rakyat dan negara, ternyata hanya menjadi lembaga intrik para elitenya. Koalisi partai politik pun di negeri ini tampaknya adalah produk nyata dari intrik elite.

Sampai saat ini, koalisi tidak terbukti mampu menciptakan visi ideal pembangunan konsesional. Yaitu, program pembangunan yang dirancang berdasarkan pada gagasan dari berbagai kelompok kepentingan dalam koalisi.

Namun, koalisi tampaknya tidak lebih dari pemupukan modal politik para elite untuk melancarkan intrik merampok pembangunan. Lihat saja, Golkar mengancam keluar dari Sekretariat Gabungan Koalisi setelah usulan dana aspirasi ditolak anggota koalisi lainnya. Berkaitan dengan dana aspirasi, proses negosiasi yang tidak diketahui oleh publik bukan tak mungkin berlangsung terus. Dalam studi konflik, bluffing sering digunakan untuk menciptakan negosiasi. Masalahnya sekarang, negosiasi para elite bisa saja hanya berkisar kapan merampok pembangunan, sekarang atau nanti.

Selamatkan pembangunan
Kenyataannya, pembangunan selalu terancam oleh intrik elite yang mengorupsi dana-dana pembangunan rakyat sehingga harus diselamatkan. Siapa yang bisa menyelamatkan? Sekarang sudah bukan zamannya Ratu Adil atau Satria Piningit. Kenyataannya, SBY yang dulu disebut-sebut sebagai perwujudan mitos pemimpin penebar keadilan dan kemakmuran rakyat tidak banyak berkutik.

Klaim-klaim keberhasilan pembangunan hanya di level statistikal. Padahal, laporan statistik tidak imun oleh intrik pula dari kekuasaan. Rakyat Indonesia perlu keluar dari mitos yang menjerumuskan pada ketidakberdayaan nalar kritis tersebut. Mitos yang menyebabkan para elite leluasa bermain dengan citra-citra populer, tetapi isi sebenarnya adalah memperdaya.

Kalau demikian. jawaban mengenai siapa yang bisa menyelamatkan pembangunan, tidak bisa dimulai dengan menunjuk aktor. Namun, lebih pada proses menciptakan dinamika politik yang memungkinkan terciptanya pembangunan kerakyatan. Rakyat Indonesia perlu meninggalkan model penumpuan harapan pada bentuk ”siapa” elite. Seperti elite ini keturunan Soekarno, elite itu masih trah Majapahit, atau elite ini dari pesantren terkenal. Model penumpuan harapan pada elite hanya akan memperparah keleluasaan para elite melakukan intrik-intrik merampok pembangunan yang merugikan rakyat.

Tumpuan harapan pada elite politik harus ditinggalkan, dan digantikan dengan menciptakan proses dinamika politik. Menurut Michael Hartmann dalam The Sociology of Elites (2007), proses menciptakan dinamika politik sebenarnya adalah natur yang paling dasar dalam masyarakat demokrasi, yang membedakan dari masyarakat monarki atau masyarakat di bawah rezim otoriter.

Proses politik, termasuk merumuskan dan melaksanakan pembangunan, tingkat keberhasilannya bukan lagi ditentukan oleh elite-elite yang sering berintrik dalam struktur kekuasaan. Namun, oleh dinamika politik yang diciptakan oleh masyarakat melalui berbagai bentuk gerakan sosial. Yang dibutuhkan untuk ini adalah komitmen dan kerajinan politik (intensity of politics) rakyat dalam turut serta dalam proses politik.

Menyerahkan tumpuan harapan proses pembangunan kepada elite-elite kekuasaan semata, sama halnya membiarkan pembangunan terbuka untuk dirampok. Untuk itu, rakyat harus bangkit dan turut serta menciptakan dinamika politik melalui berbagai arena yang disediakan demokrasi. Ini agar pembangunan selamat pada tujuannya, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Novri Susan Pengajar Fakultas Sosiologi Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan