Inpres Melaksanakan Inpres

Dua lagi lembaga yang dibentuk Presiden, yakni Komite Ekonomi Nasional yang disingkat KEN dan Komite Inovasi Nasional atau KIN. Personalianya pun cukup banyak, dan tentu saja semakin menambah panjang lembaga bentukan Presiden. Tujuannya tentu saja untuk membantu efektivitas kerja dan performa kabinet.

KEN diketuai Chairul Tanjung, Wakil Ketua Chatib Basri, dan Sekretaris Aviliani, dengan 20 anggota. Ketua KIN adalah Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Zuhal, Wakil Ketua Herry Suhardiyanto yang juga Rektor Institut Pertanian Bogor, dan Sekretaris Redy Permana, dengan 28 anggota.

Dua lembaga ini berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. Kedua komite ini bertanggung jawab langsung kepada presiden. Keduanya dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2010 tentang KEN dan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang KIN yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2010. Keanggotaan KEN dan KIN hingga akhir masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu II pada tahun 2014.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Selasa (15/6), menegaskan, KEN dan KIN akan menjadi lembaga yang menelaah dan merekomendasikan kebijakan bidang perekonomian dan inovasi.

Di luar deretan menteri itu, barisan pasukan pembantu presiden masih ada sembilan orang Dewan Pertimbangan Presiden, Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Belum lagi 10 orang Staf Khusus Presiden, staf pribadi, juru bicara, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Tim Lima yang bertugas memilih calon pelaksana tugas Komisi Pemberantasan Korupsi, Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Wakil Ketua (nonaktif) KPK atau Tim Delapan.

Lainnya, Sekretariat Gabungan Koalisi Pendukung Pemerintah, yang terdiri dari unsur enam partai politik.

Presiden SBY bersama Wakil Presiden Boediono yang terpilih dalam pemilihan umum dengan kemenangan mayoritas mutlak, membentuk kabinetnya dengan 34 menteri, 10 wakil menteri, dan tujuh orang setingkat menteri. Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) malah tidak ada jabatan wakil menteri.

Dari menteri-menteri itu, tiga di antaranya menteri koordinator, yakni di bidang perekonomian, kesejahteraan rakyat, serta politik, hukum, dan keamanan. Barangkali hanya di Indonesia, kabinetnya memiliki tiga menteri koordinator.

Kecuali itu semua, Wakil Presiden pun dibebankan berbagai jabatan tambahan, seperti Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN), dan Komite Pendidikan. Bahkan, Wapres juga disebut-sebut memimpin Tim Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Nasional Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010.

Melihat daftar lembaga berikut personalianya yang bekerja untuk memastikan berjalannya pemerintahan SBY-Boediono, kiranya sudah lebih dari cukup. Tidak ada lagi alasan bagi SBY-Boediono untuk tidak mencapai kinerja yang prima, lebih dari pencapaian rata-rata saja.

Banyak orang menilai, dari segi jumlah, kabinet (menteri) sekarang ini sudah cukup memadai asal bekerja optimal. Apalagi sudah ditambah pula wakil menteri untuk kementerian yang dipandang strategis tugas dan tanggung jawabnya dalam menggerakkan roda pemerintahan.

Kerja optimal adalah get things done. Apa yang diprogramkan mesti berjalan, diimplementasikan secara cepat dan tepat, serta efisien dan efektif.

Namun, pantas pula jika muncul kekhawatiran dengan begitu banyaknya lembaga di sekitar presiden dan wakil presiden, organisasi pemerintahan malah semakin gemuk, rentang kendali makin lebar, sehingga pemerintahan semakin tidak efisien dan kurang efektif.

Semakin banyaknya lembaga bisa menimbulkan tumpang tindih tugas dan tanggung jawab serta kewenangan, semakin kencangnya konflik kepentingan, sehingga malah semakin memperlambat proses pengambilan keputusan. Apalagi jika konsultasi, rapat kerja dan koordinasi semakin sering dilakukan tanpa keputusan, sementara di tingkat akar rumput, persoalan rakyat semakin bertambah dan menuntut penyelesaian yang lebih cepat.

Kini muncul keluhan di kalangan pelaku usaha bahwa janji kabinet untuk menghilangkan segera berbagai sumbatan yang menghambat menggelindingnya perekonomian, belum tampak nyata. Pengambilan keputusan kebijakan yang diperlukan dunia usaha malah berputar terus dari Presiden ke Wakil Presiden, turun ke menteri, kemudian ke level direktur jenderal dan direktur. Di sana dirumuskan lalu berputar lagi ke atas untuk dimintakan pentunjuk pelaksanaan. Terlalu panjang rantai proses pengambilan keputusan itu.

Tentu berbahaya jika suatu keputusan penting hanya dirumuskan di level eselon dua, lantaran menteri-menteri tak memiliki kapasitas dan keinginan menanggung risiko dari tanggung jawabnya sebagai pejabat publik dan pejabat politik.

Jangan sampai ada Instruksi Presiden untuk melaksanakan instruksi presiden.
Oleh ANDI SURUJI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan