Indonesia Tanpa KPK

Ketua DPR RI Marzuki Alie belakangan ini panen hujatan garagara pernyataannya,yang oleh publik, dimaknai sebagai usul membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Indonesia tanpa KPK?

Sehubungan dengan kemarahan pada pimpinan lembaga perwakilan rakyat ini, kita perlu menjernihkan pikiran bahwa KPK eksis karena parah dan kronisnya korupsi di negeri ini. KPK adalah respons luar biasa terhadap keadaan luar biasa.

Hal ini diungkap dalam penjelasan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi dasar pembentukan lembaga tersebut. Mengekalkan keberadaan KPK esensinya adalah mengekalkan mindset gawat darurat, atau toleransi yang sangat luas terhadap acuan normal.

Ironisnya, semakin bertambah usia lembaga ini, semakin pudar relevansi untuk menghapuskannya. Eksistensi dan peran KPK niscaya bersifat paradoksal. Hanya, peliknya persoalan yang dihadapi bangsa ini telah mengaburkan paradoks ini. Paradoksnya begini: Dalam kurun waktu tertentu, dia diberi amanat luar biasa dan diharapkan menghasilkan dampak yang luar biasa pula.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan berkurangnya derajat keparahan masalah, semakin berkurangnya urgensi langkah-langkah luar biasa, puncak kejayaan KPK adalah saat mencapai titik balik, di mana negeri ini semakin tidak kecanduan untuk menempuh hal-hal yang luar biasa. Itulah saat korupsi berada dalam derajat yang bisa ditolerir.

Keluar dari Amarah
Luapan amarah kepada Marzuki Alie dan sekutu-sekutunya dapat membutakan mata kita bahwa pemerintahan yang ideal justru tidak memerlukan lembaga semacam KPK. Dengan kata lain, KPK adalah penanda kegagalan sistemik, manakala institusi reguler tetap tidak mampu mengatasi korupsi.

Amarah membutakan mata dan hati! Amarah melindungi diri dari rasa bersalah. Sehubungan dengan adanya darurat korupsi yang kemudian melahirkan KPK, kita perlu bertanya: siapakah yang paling bertanggung jawab? Jawabannya hampir pasti : pemerintah, elite yang berkuasa, aparat penegak hukum dan sejenisnya.

Padahal, sumber korupsi pada dasarnya kebiasaan kita pencampuradukan urusan atau domain publik dengan domain privat. Amarah juga menjadikan kita reduksionis. Korupsi direduksi sekadar sebagai jahatnya seseorang. Reduksi ini mencegah adanya pengakuan bahwa kita adalah kontributor bagi kelangsungan sistem yang korup.

Ambivalensi ini pula juga memelihara peluang untuk korup. Demi amannya diri kita, korupsi kita kemas sebagai persoalan “penegakan hukum” bukan persoalan rapuhnya “etika publik” atau “runyamnya tata kuasa”. Karena dibingkai dalam wacana penegakan hukum, pemberantasan korupsi terjebak dalam belantara legalitas.

Legalisme dalam pemberantasan korupsi hampir-hampir berhasil menyembunyikan fakta, bahwa pemberantasan korupsi adalah perjuangan memenangkan intrik-intrik politik. Taruhlah legalitas tidak bisa dielakkan dalam penindakan koruptor,namun ada tugas besar KPK yang tidak harus menonjolkan hal itu; yakni pencegahan korupsi.

Tuntasnya pemberantasan korupsi ditandai oleh mapannya sistem pencegahan yang ditopang kokohnya etika antikorupsi, namun kinerja KPK dari sisi ini masih jauh dari memuaskan. Berapa pun banyaknya koruptor yang dapat ditangkap, tidaklah akan habisnya kalau sistem pencegahan tidak tuntas.

Roadmap
Mengingat peliknya persoalan, perjalanan Indonesia tanpa KPK akan sangat panjang. Tidak mungkin di masa Marzuki Alie menjabat sebagai pimpinan DPR RI ataupun di masa bakti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Wacana Indonesia tanpa KPK tidak harus membatalkan pengisian pucuk pimpinan lembaga ini, karena masa jabatan yang dialokasikan kepada mereka tidak akan cukup untuk memenuhi persyaratannya.

Sungguhpun demikian, agenda Indonesia tanpa KPK harus menjadi spirit dalam memimpin pemerintahan negeri ini.Kuncinya, para pemimpin harus membawa Indonesia keluar dari paradigma marahmarah sebagaimana dipaparkan di atas.

Lebih dari itu, mereka perlu menjerat dirinya sendiri dengan konsensus tertang langkah-langkah kunci, tahapan dalan roadmap menuju Indonesia tanpa KPK.Hal ini jelas memerlukan pengurbanan besar,namun diapresiasi publik sepanjang masa.

Tulisan pendek ini jelas tidak berpresentasi merumuskan roadmap yang tepat guna untuk mengatasi kronisnya masalah korupsi ini. Sungguhpun demikian gagasan- gagasan berikut perlu dipertimbangkan.

Pertama, roadmap yang dimatangkan dari telaah dan perdebatan yang melibatkan berbagai kalangan; bukan produk sepihak para pakar.Gagasan awalnya bisa saja disiapkan para pakar, namun semakin jauh didiskusikan isinya semakin sarat dengan komitmen kolektif dari berbagai pihak yang terlibat.

Ada roadmap berskala makro-generik, dan ada pula roadmap yang mendetailkan setiap segmen atau aspek yang diagendakan. Dalam skala makro,roadmap tersebut berisi transformasi diri KPK dari sosok sekarang hingga menjadi konsensus etis yang secara rapat-rapat mencegah peluang korupsi.

Kedua, agar feasible secara politik, roadmap yang disiapkan harus berisi pengembangan mekanisme agar berbagai pihak yang terlibat saling mengunci terjadinya penegakan etis. Misalnya, roadmap menuju birokrasi yang tidak korup tidak diperlakukan sebagai agenda internal birokrasi itu sendiri.

Peluang gagalnya reformasi birokrasi ini dicegah dengan penggalangan kekuatan masyarakat dalam mencermati, mengontrol dan menuntut birokrasi agar tidak korup. Contoh lain, roadmap untuk mengatasi korupsi di domain partai politik bisa disiasati dengan pengaturan kompetisi di antara mereka. Mekanisme saling mengadukan adanya korupsi untuk memenangkan kompetisi adalah pintu untuk saling mengunci komitmen etik.

Ketiga, sadar bahwa roadmap tersebut mudah dimentahkan oleh intrik-intrik politik yang arah dan muaranya tidak menentu, roadmap yang diusulkan di sini perlu diolah menjadi pengetahuan publik. Pada saat yang sama, roadmap tersebut merumuskan cara untuk mengembalikan tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang normalnya menangani korupsi.

Semoga KPK dapat “moksa” oleh kentalnya komitmen etik anak negeri ini, dan komitmen itu termanifestasi dalam keseharian kita berpemerintahan. Selamat datang Indonesia normal! 
PURWO SANTOSO Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 9 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan