Hukum tanpa Hakim, Keadilan tanpa Pengadilan

"To enter a court of law is to enter a tiger's mouth." (Goh Bee Chen, 2002)

Tertangkapnya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu yang lalu cukup menyentak kita. Inilah sebuah ironi tapi faktual, ketika seorang penjaga keadilan diadili, seorang hakim "dihakimi", seorang penegak hukum berurusan dengan hukum.

Dengan tertangkapnya hakim Syarifuddin oleh KPK, semakin lengkaplah kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Tanah Air setelah sekian lama tersangka kasus cek pelawat Nunun Nurbaetie--istri politikus Partai Keadilan Sejahtera dan mantan Wakil Kepala Kepolisian RI--juga tidak dapat dihadirkan di Tanah Air dalam serangkaian proses hukum yang menyeret sejumlah mantan legislator. Lolosnya mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dari pencekalan sehingga dia bisa melenggang bebas ke luar negeri kian melengkapi semakin buramnya potret penegakan hukum di Tanah Air, termasuk dunia peradilan kita.

Memang, beperkara di pengadilan sebenarnya merupakan upaya terakhir (the last resort) setelah upaya-upaya lainnya buntu. Tapi sayangnya, banyak lembaga peradilan yang tidak dapat memenuhi tuntutan keadilan masyarakat. Sebuah peribahasa Cina kuno mengatakan beperkara di pengadilan ibarat masuk ke mulut harimau. Demikian dikutip Goh Bee Chen dalam bukunya yang berjudul Law without Lawyers, Justice without Courts, 2002.

Buku ini sebenarnya menceritakan soal praktek penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara tradisional yang diterapkan di Cina dalam menyelesaikan berbagai macam sengketa yang ada yang, menurut penulisnya, sudah tumbuh sejak zaman lampau di daratan Cina. Buku ini--dalam maknanya yang positif--ingin mengatakan bahwa dalam berbicara hukum, kita tidak harus melibatkan advokat, untuk mendapatkan keadilan di mata hukum tak harus minta tolong hakim, dan untuk mendapatkan keadilan tidak harus melalui pengadilan.

Mengapa pengadilan dihindari dalam penyelesaian sengketa? Chen lagi-lagi mengutip peribahasa Cina: "Let householders avoid litigation, for once go to law and there is nothing but trouble". Pesan yang ingin disampaikan Chen adalah jika beperkara, jangan dibawa ke ranah hukum karena akan menimbulkan masalah baru. Sudah menjadi rahasia umum beperkara di pengadilan memakan banyak dana, waktu, dan dapat merusak hubungan jangka panjang.

Sengketa atau konflik akan terus ada di mana pun: di dunia bisnis, hukum, politik, dan yang lainnya. Konflik sangatlah alamiah, merupakan bagian dari kehidupan. Jangankan antarorganisasi, antarkelompok, antarindividu, bahkan dalam setiap diri manusia ada konflik. Dengan dirinya sendiri manusia sering berkonflik. Buktinya, sering manusia melakukan sesuatu yang menimbulkan semacam "tarik-menarik" atau konflik batin di dalam dirinya.

Di dunia bisnis, sengketa membutuhkan upaya tersendiri untuk dapat diselesaikan. Karena itu, banyak negara berlomba-lomba mencari mekanisme paling manjur untuk menyelesaikan persengketaan dengan tidak melibatkan lembaga peradilan. Kecenderungan ini kita saksikan di level internasional, regional, dan nasional. Berbagai lembaga internasional dengan giat mencari mekanisme paling efisien dalam penyelesaian sengketa.

Efficient judiciary memang menjadi target banyak negara dalam melakukan reformasi hukum. Penyelesaian perkara di pengadilan yang bertele-tele, seperti bermacam alasan penundaan persidangan, ketidakpastian prosedur persidangan, atau court delays, dianggap sebagai violation of human rights (pelanggaran terhadap hak asasi manusia). Yang termasuk ketidakpastian adalah ketidakjelasan kapan persidangan persisnya akan dimulai atau diakhiri; apakah sang hakim memiliki rekam jejak yang baik ataukah tidak; apakah dalam memimpin persidangan, sang hakim sehat secara fisik dan mental karena akan berdampak pada kualitas putusan dan sebagainya. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di pengadilan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, penundaan persidangan berminggu-minggu dengan bermacam alasan atau tiba-tiba terjadi perubahan susunan majelis hakim sering kali terjadi.

Kelemahan-kelemahan peradilan kita yang tak segera dibenahi secara substansial membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada lembaga peradilan kita. Masyarakat akhirnya mencari--dalam maknanya yang negatif--keadilan tanpa pengadilan atau menyelesaikan masalah hukum tanpa hakim. Kita sangat sedih ketika menyaksikan bermacam peristiwa pelecehan terhadap pengadilan kita yang semestinya dihormati.

Beberapa tahun silam ada catatan hitam pengunjung sidang yang mengipas-ngipaskan uang ribuan saat persidangan di sebuah pengadilan di Jakarta. Di Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah, pengadilan justru jadi sasaran amuk massa dan perusakan ketika pengadilan sedang menangani perkara penodaan agama. Atau di sebuah pengadilan di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang hakim tewas ditusuk oleh salah seorang yang beperkara tepat ketika sedang menjalani persidangan.

Terhadap kejadian semacam itu, memang ada yang mengusulkan agar kita memiliki undang-undang tentang contempt of court , agar para hakim dan pengadilan kita mendapat perlindungan hukum. Ide ini ada baiknya, tapi belum memadai tanpa diikuti dengan pembenahan mentalitas para hakim serta penegak hukum yang lainnya. Katakanlah kita saat ini mempunyai UU Contempt of Court. Tapi, bila kita memiliki hakim dengan mentalitas seperti Syarifuddin, undang-undang tersebut tak akan banyak membantu.

Ide yang sempat digulirkan Daniel S. Lev pada awal reformasi agar mengganti total semua hakim di Indonesia untuk membenahi dunia hukum juga tidak realistis. Sebab, keruwetan dunia hukum kita bertali-temali dengan persoalan lainnya yang melilit bangsa ini. Yang kita butuhkan bukan hanya hakim yang menjadi corong undang-undang, tapi hakim yang juga dapat melakukan judicial activism (Stephen P. Powers & Stanley Rothman, 2002), yakni menggali nilai-nilai keadilan di balik pasal-pasal yang mati.

Hakim yang menerapkan judicial activism tentu akan mendapatkan banyak kritik, bahkan cemoohan. Sebab, seorang hakim yang menempuh judicial activism tidak hanya berhenti pada buku teks, tapi ia akan menggali nilai keadilan yang kontekstual dan akan menjadi juru bicara keadilan.

Sudah barang tentu pembenahan dunia peradilan kita tidak boleh hanya mengandalkan hakim, tapi juga merupakan tanggung jawab para penegak hukum lainnya, seperti advokat, polisi, jaksa, Komisi Yudisial, dan KPK. Kepemimpinan serta keteladanan para pemimpin lembaga penegak hukum dan pemimpin nasional merupakan taken for granted. Tanpa keterlibatan semua pihak membenahi sistem ini, kebobrokan dan kehancuran yang ada akan semakin sempurna.
T.M. Luthfi Yazid, ADVOKAT DAN PENELITI DI FAKULTAS HUKUM GAKUSHUIN UNIVERSITY, TOKYO
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 17 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan