Hentikan Prahara di Tubuh KPK
Jika tak ada aral, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan melantik 14 pegawai setingkat eselon II dan III hasil mutasi di lingkungan KPK pada 24 Agustus. Namun, santer terdengar, rencana itu dapat penolakan keras dari Wadah Pegawai (WP). Pasalnya, kebijakan utak-atik posisi pegawai tidak didasarkan pada pertimbangan terang dan jelas. Prahara sedang terjadi di KPK, pimpinan dan WP berhadap-hadapan.
Setidaknya, ada dua persoalan yang harus diurai lebih dulu untuk mencari jalan keluar. Pertama, pertimbangan apa yang harus diambil ketika ingin menerbitkan kebijakan mutasi pegawai? Kedua, bagaimana langkah yang disediakan ketika rotasi, promosi, dan demosi ternyata—atau berpotensi—melemahkan kelembagaan KPK?
Kelembagaan KPK diatur dalam UU No 30/2002 (UU KPK). Dalam Pasal 21 Ayat (1) disebutkan, komisi terdiri dari unsur pimpinan, penasihat, dan pegawai. Ketiga unsur tersebut adalah satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pimpinan sebagai kepala yang mengatur, penasihat sebagai hati yang mengingatkan, dan pegawai sebagai tangan dan kaki yang menjalankan.
Jika dibaca lebih lanjut, keberadaan Pasal 21 Ayat (1) bertalian erat dengan Pasal 3. Bunyinya, ”Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.” Semestinya tatkala menggerakkan KPK sebagai satu-kesatuan tubuh, norma Pasal 3 harus jadi acuan. Kepala, hati, tangan, dan kaki harus merdeka dan bebas dari kekuasaan apa pun dan dari mana pun.
Lembaga antikorupsi sangat mungkin mengalami gangguan dalam pelaksanaan kewenangannya. Melanie Manion menuliskan tantangan rutin pemberantasan korupsi dalam buku Corruption by Design: Building Clean Government in Mainland China and Hong Kong (2004). Menurut dia, ada tiga besar masalah rutin yang dihadapi komisi pemberantasan korupsi di China, yakni terkait organisasi, koordinasi, dan penerapan hukum. Masalah rutin ini—tulis Melanie mengutip pernyataan pejabat tinggi China—membuat pemberantasan korupsi bagaikan sebuah perang berlarut-larut (protracted war).
Penulis mengambil tiga dari lima tantangan upaya melawan korupsi di China yang menyangkut masalah rutin organisasi yang mirip dengan situasi di Indonesia. Jika disarikan, persoalan tak cakap dan tak sesuainya posisi dan kompetensi pegawai, kurangnya pengaruh kepemimpinan, dan pemimpin yang lebih condong ke syahwat politik daripada nilai-nilai, termasuk nilai etik, yang diterapkan lembaga antikorupsi menjadi elemen pelambat gerak pemberantasan korupsi.
Rotasi, promosi, dan demosi jangan sampai mengganggu kelembagaan komisi antikorupsi. Pemimpin yang tak didengarkan pegawainya akan membuat tangan dan kaki melambai dan melangkah statis, tak ke mana ke mana. Kepala yang tergiur godaan kekuasaan politik bakal memicu kehancuran tubuh lembaga. Independensi dan imunitas lembaga niscaya mati tanpa arti.
Menjaga marwah
Ketika kemerdekaan dan kemandirian badan antikorupsi hangus, lalu kehormatan apalagi yang dimiliki? Tak ada! Untuk menghentikan prahara rotasi di tubuh KPK, yang dapat mengancam independensi dan kemandiriannya, mau tak mau harus dapat dijelaskan pertimbangan dilakukannya mutasi, promosi, dan demosi itu. Pertimbangan itu harus ada ukuran/takarannya.
Pertama, peraturan perundang-undangan. PP No 63/2005 tentang Sistem Manajemen SDM KPK (PP SDM KPK) menyatakan, SDM di KPK harus manusia-manusia profesional, berintegritas tinggi, dan bertanggung jawab. Dalam Pasal 14 Ayat (1) PP SDM KPK diatur, ”Manajemen kinerja meliputi penetapan sasaran, penyelarasan kompetensi ke arah pencapaian sasaran serta penilaian dan pengukuran kinerja.” Artinya, terdapat pertimbangan yang rasional yang telah disusun sebelumnya oleh pengambil kebijakan sebelum melakukan rotasi pegawai.
Dalam peraturan yang lebih tinggi, Pasal 5 UU No 30/2002, KPK juga diwajibkan menjalankan tugas dan wewenangnya dengan berlandaskan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsional. Norma ini mengarahkan utak-atik posisi pegawai pada ukuran kedua, yaitu profesionalitas dan keberpihakan. Kebijakan rotasi tidak boleh dilakukan dengan pertimbangan suka atau tidak suka (like and dislike), tetapi harus didasarkan pada arah profesionalitas dan untuk menjaga independensi lembaga dan keberpihakan ke pemberantasan korupsi.
Menyikapi kemelut ini, para pengambil kebijakan di KPK bisa memilih satu di antara dua opsi. Pertama, menunda kebijakan rotasi pegawai, diikuti dengan penyusunan pertimbangan rotasi yang profesional dan berpihak pada pemberantasan korupsi. Kedua, merangkum lebih dulu masukan dari publik yang memiliki perhatian terhadap pemberantasan korupsi, bukan masukan dari pihak-pihak yang melemahkan KPK. Setelah itu, baru membentuk kebijakan rotasi pegawai. Hanya dengan cara ini, kita bisa menjaga marwah KPK dalam pemberantasan korupsi.
Hifdzil Alim Deputi Direktur Pukat FH UGM; Ketua LPBH PWNU DIY
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 25 Agustus 2018