Hendarman Jakgung Ilegal?

KEABSAHAN jabatan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung dipersoalkan Yusril Ihza Mahendra. Yusril mempermasalahkan keabsahan Hendarman sebagai jaksa agung karena dilatarbelakangi penetapannya sebagai tersangka korupsi Sisminbakum oleh jaksa agung. Polemik ini menarik perhatian publik karena Yusril adalah (mantan) guru besar hukum tata negara dari universitas paling terkemuka di republik ini yang dianggap menguasai konsep dan konstruk hukum sekaligus mantan menteri sekretaris negara yang dianggap mengetahui liku-liku administrasi hukum di lingkungan istana.

Perang urat saraf antara Hendarman yang didukung Sudi Silalahi selaku Mensesneg melawan Yusril terjadi sedemikian sengit (Jawa Pos, 3-6 Juli 2010). Perkembangan terakhir, Yusril menyambut tantangan jaksa agung dengan mengajukan permohonan pengujian UU Kejaksaaan ke Mahkamah Konstitusi (Jawa Pos, 7 Juli 2010).

Yusril berpendapat bahwa Hendarman tidak sah menjabat jaksa agung karena dulu diangkat bersama-sama dengan beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu (jilid I) sehingga otomatis harus berhenti bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan kabinet tersebut. Menurut Yusril, jika Hendarman hendak meneruskan jabatannya sebagai jaksa agung, harus ada keppres pengangkatan serta pelantikan lagi. Faktanya tidak ada.

Menurut Yusril, karena jabatan yang disandang Hendarman tidak sah, tindakan Hendarman yang dilakukan sejak 21 Oktober 2009 adalah tidak sah, termasuk tindakan menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum.

Permasalahan legalitas Hendarman sebagai jaksa agung ini harus dikaji secara komprehensif dengan menelaah berbagai peraturan dan keputusan yang ada. Peraturan yang perlu dikaji antara lain UU No 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan yang juga harus dicermati adalah Keppres No 31/P Tahun 2007 yang berisi, antara lain, pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung, Keppres 187/M Tahun 2004 yang berisi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (jilid I), dan Keppres No 84/P Tahun 2009 yang berisi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.

Menurut UU Kementerian Negara, kedudukan jaksa agung sama sekali tidak diatur di dalamnya. Dalam UU Kementerian Negara tersebut tidak terdapat norma yang menyatakan bahwa jaksa agung disetarakan dengan jabatan menteri. Dengan demikian, jaksa agung bukanlah unsur dari suatu kabinet kementerian. Demikian pula dalam UU Kejaksaan RI tidak disinggung kedudukan jaksa agung terhadap kementerian. Hal ini perlu dikaji karena berkaitan dengan masa jabatan kabinet menteri dan masa jabatan jaksa agung.

Jabatan kabinet menteri adalah periodisasi lima tahunan sesuai dengan jabatan presiden. Dalam Keppres No 84/P Tahun 2009 yang membentuk KIB II juga ditegaskan bahwa KIB II adalah periode 2010-2015. Konsekuensi lebih lanjut dari jabatan kabinet menteri dalam periodisasi tersebut adalah secara otomatis habis ketika periode tersebut habis tanpa perlu ada pencabutan keppres yang membentuknya.

Sedangkan jabatan jaksa agung, menurut UU Kejaksaan, adalah bukan periodisasi. Demikian pula dalam Keppres No 31/P Tahun 2007 yang di dalamnya terdapat pengangkatan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung, sama sekali tidak terdapat diktum yang menyatakan masa berakhirnya jaksa agung. Keppres pengangkatan ini hanya terdiri atas tiga diktum. Diktum pertama, memberhentikan beberapa pejabat, termasuk memberhentikan Abdul Rahman Saleh, dari jaksa agung.

Diktum kedua, mengangkat beberapa pejabat, termasuk pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung. Diktum ketiga tentang pemberlakuan keppres sejak tanggal ditetapkan. Dengan demikian, jabatan yang disandang Hendarman Supandji saat ini tetap sah dan oleh karena itu termasuk legal.

Juga terdapat asas contrarius actus. Asas ini bermakna bahwa pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan, berwenang pula mencabutnya. Asas ini tecermin juga dalam pasal 19 ayat (1) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyatakan bahwa jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Keppres yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai jaksa agung belum dicabut oleh presiden. Keppres tersebut tidak pula memiliki batasan masa jabatan. Keppres ini juga tidak pernah dibatalkan oleh pengadilan. Karena itu, keppres pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung masih sah dan mengikat.

Dalam hukum administrasi negara juga terdapat asas presumptio iustea causa, yang mengandung makna asas praduga bahwa tindakan pejabat dianggap benar sampai ada pembatalan. Semua tindakan hukum yang dilakukan Hendarman sebagai jaksa agung, tentu harus tetap dianggap sah sampai ada keppres pemberhentian atau ada pembatalan oleh pengadilan.

Asas presumptio iustea causa tersebut lahir karena ada asas bahwa tindakan pejabat dianggap sah (rechtmatigheid). Asas ini diperlukan untuk memberikan suatu kepastian hukum terhadap semua tindakan yang dilakukan pejabat. Tindakan pejabat sah meski hal tersebut dipermasalahkan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Asas ini lahir karena adanya kebutuhan akan keberlangsungan kebijakan dan tindakan yang dilakukan pejabat. Dapat dibayangkan jika tindakan pejabat harus berhenti karena ada gugatan ke pengadilan, akan berhentilah semua roda pemerintahan ini dan pasti terjadi suatu kekacauan pemerintahan.

Untuk menyudahi polemik ini, terdapat jalan keluar yang sangat simpel. Jika keabsahan Hendarman sebagai jaksa agung dianggap masuk wilayah syubhat (perkara yang samar-samar), jalan keluar itu berupa penerbitan keppres yang mengangkat Hendarman sebagai jaksa agung serta keppres ini mempunyai daya laku surut sejak 21 Oktober 2009. Namun, sebenarnya keppres ini tidak perlu karena overbodig (berlebihan pengaturan). Tanpa itu, legalitas Hendarman sebagai jaksa agung tidak diragukan lagi. Tapi, hal ini mungkin diperlukan untuk memuaskan seorang Yusril. (*)

*) M. Hadi Shubhan , doktor ilmu hukum, dosen mata kuliah Sengketa Pemerintahan Fakultas Hukum dan Sekretaris Universitas Airlangga.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan