Hati Nurani pada Kasus Bibit-Chandra

PENGADILAN Tinggi (PT) DKI Jakarta menolak permohonan banding Kejaksaan Agung (Kejagung) atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan praperadilan atas penerbitan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) dugaan suap yang melibatkan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Dalam putusan yang dikeluarkan kemarin (3/6), hakim tinggi menganggap, untuk menghentikan proses hukum kasus Bibit-Chandra, kejaksaan seharusnya menggunakan deponering, bukan menerbitkan SKPP.

Alasannya, deponering merupakan langkah kejaksaan untuk mengesampingkan perkara sesuai dengan ketentuan pasal 25 huruf C UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Berdasar pasal tersebut, perkara dapat dikesampingkan apabila ada kepentingan umum yang lebih mendesak daripada melanjutkan proses hukum. Seperti diketahui, penerbitan SKPP selama ini cenderung dilatari desakan publik soal gelagat kriminalisasi dalam kasus tersebut.

Putusan PT DKI Jakarta itu menjadi tahap baru dalam kasus Bibit-Chandra. Masyarakat yang sebenarnya telah ditenangkan oleh penghentian kasus tersebut ternyata kembali dibangunkan. Hati nurani akan kembali terusik putusan perkara praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo itu. Masyarakat tentu tidak terima jika Bibit-Chandra yang selama ini diyakini bersih tiba-tiba harus diadili karena perkara suap, tanpa dihadirkan dulu Yulianto. Yulianto yang merupakan saksi kunci berdasar pengaduan Ari Muladi tersebut menjadi perantara penyerahan uang suap dari Anggodo kepada Bibit-Chandra.

Berdasar putusan PT DKI Jakarta, dapat diambil pelajaran tentang betapa rumitnya penegakan hukum. Sisi hukum formal acap harus berbenturan dengan aspek kebenaran material sebuah perkara. Aparat kerap menutup mata terhadap kebenaran material dengan berdalih proses hukum telah melanggar pasal-pasal dalam sebuah perundang-undangan. Padahal, hati nurani masyarakat, termasuk aparat, sebenarnya memegang peran yang lebih penting daripada teks-teks tertulis. Sebab, di situlah letak roh keadilan. Dari asas-asas peradilan, sebenarnya telah tertuang pedoman bahwa seorang hakim tidak melulu harus berpegang pada undang-undang, melainkan harus inovatif dalam menemukan hukum (rechtfinding) yang berkembang di tengah masyarakat.

Sebagai jalan keluar, kita mengharapkan kejaksaan bertindak cepat. Lembaga peradilan tersebut harus secepatnya merevisi SKPP dengan segera mengeluarkan surat deponering dalam kasus Bibit-Chandra. Kejaksaan kali ini sebaiknya lebih membuka telinga untuk mendengarkan masukan sejumlah kalangan tentang solusi terbaik dalam menyikapi kasus Bibit-Chandra. Bayangkan jika kejaksaan justru nekat melimpahkan berkas Bibit-Chandra ke pengadilan, publik dikhawatirkan marah besar. Masyarakat bakal kembali turun ke jalan untuk menolak proses sidang tersebut. Jika itu terjadi, tentu sidang tersebut bisa menjadi bumerang bagi masa depan penegakan hukum. Masyarakat akan makin tidak percaya terhadap aparat.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Harian Jawa Pos, 4 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan