Hari Bumi dan Korupsi SDA

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

Hari Bumi Internasional diperingati setiap tanggal 22 April. Hari Bumi adalah hari yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia, yakni bumi. Dirancang oleh seorang Senator Amerika Serikat pada tahun 1960-an, kegiatan Hari Bumi diikuti oleh seluruh negara hingga saat ini. 

Tak terkecuali di Indonesia, Hari Bumi yang jatuh pada hari Minggu (22/4) lalu, dirayakan di beberapa daerah, salah satunya Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil Alam Lestari yang terdiri dari 15 Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di wilayah Jakarta dan Bogor merayakan peringatan Hari Bumi Internasional dengan aksi di Bundaran Hotel Indonesia. Aksi ini membawa jargon “Stop Sampah Plastik, Stop Sampah Politik. Jaga Ibu Bumi, Bumi Lestari Tanpa Korupsi”.

Jargon ini mewakili keadaan Indonesia saat ini yang mana pengelolaan bumi beserta isinya atau sumber daya alam (SDA) diwarnai oleh sejumlah persoalan politik dan juga korupsi. Terlebih di tahun politik, SDA menjadi obyek yang menarik untuk diperebutkan dan diperjualbelikan oleh calon kepala daerah.

Sejak 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berfokus pada korupsi SDA dan menginisiasi penandatanganan Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Indonesia. Kegiatan ini adalah upaya KPK menjalankan fungsi sebagai trigger mechanism. Peran KPK sebagai pemicu dan pemberdaya institusi yang sudah ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini berguna untuk mengatasi persoalan pada pengelolaan SDA di beberapa sektor, sekaligus meningkatkan penerimaan negara.

Nota Kesepakatan ditandatangani oleh 20 kementerian dan 7 lembaga negara serta disaksikan oleh Presiden Joko Widodo, diharapkan terbangun komitmen dari segenap elemen bangsa untuk bersama-sama menuntaskan permasalahan bangsa dalam pengelolaan SDA. 

Akan tetapi dari hasil pemantauan ICW bersama LSM di 6 provinsi: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur pada 2017, menyebutkan bahwa pencegahan korupsi sumber daya alam yang dilakukan KPK di daerah belum efektif. Salah satunya dapat dilihat dari Pemerintah Daerah yang belum berkomitmen penuh dalam pelaksanaan amanat GNPSDA termasuk dalam mendorong keterbukaan informasi dan partisipasi publik. ICW menilai diperlukan terobosan hukum untuk menyelesaikan masalah yang masih tersisa, tidak bisa hanya dengan pencegahan. 

KPK telah melakukan terobosan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi SDA. Sayangnya, terobosan itu tidak diperhitungkan dalam putusan Majelis Hakim. Terobosan hukum yang dilakukan KPK yakni terkait Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam, dalam perhitungan kerugian negara untuk kasus korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Metode perhitungan kerugian negara yang digunakan jaksa KPK kali ini tidak hanya memperhitungkan kerugian materil dari korupsi, tetapi juga kerugian ekologis, biaya pemulihan lingkungan, serta kerugian ekonomi lingkungan. Dari hasil perhitungan tersebut, nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus Nur Alam mencapai Rp4,32 triliun. Nilai ini hampir dua kali lipat dari nilai kerugian negara dalam kasus korupsi E-KTP. 

Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (28/3), Nur Alam divonis 12 tahun penjara, denda sebesar Rp 1 miliar subside 6 bulan, pidana tambahan sebesar Rp2,7 miliar, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK selama 18 tahun. 

Terobosan hukum seperti ini sangat baik diterapkan pada kasus-kasus korupsi SDA lainnya. Hal ini tidak hanya akan memutus korupsi, tetapi juga memutus kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, GNPSDA harus terus digalakkan tidak hanya di pencegahan, tetapi juga dalam penindakan kasus korupsi SDA. Sehingga peringatan Hari Bumi Internasional tahun-tahun selanjutnya dapat diperingati dengan rasa syukur atas SDA Indonesia yang melimpah tanpa adanya korupsi lagi di Indonesia.*** (Dewi/Emerson)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags