Hanya Lima Persen Transaksi Mencurigakan yang Diproses [17/06/04]

Dari 99 transaksi perbankan mencurigakan yang dilaporkan ke polisi, baru lima kasus (lima persen) yang sudah diproses dan disidangkan. Minimnya pemrosesan kasus ini akan membuat Indonesia terus berada dalam daftar negara tidak kooperatif dalam penindakan pencucian uang.

Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menjelaskan hal itu dalam konferensi pers di Markas Besar Kepolisian Negara RI (Polri), Selasa (15/6) pagi. Ia memberikan keterangan bersama Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung seusai penandatanganan nota kesepahaman Polri dan PPATK.

Pelaksanaan nota itu sendiri mengacu pada Undang-Undang Nomor 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) yang telah diubah dengan UU Nomor 25/2003.

Menurut Yunus, sebenarnya total transaksi perbankan mencurigakan yang dimonitor PPATK dalam setahun terakhir mencapai sekitar 700 transaksi. Namun, hanya 99 kasus yang dianggap memenuhi pasal pidana pencucian uang sehingga layak ditangani polisi.

Ia memprihatinkan masih sedikitnya transaksi mencurigakan yang sudah disidangkan. Yunus menduga, kenyataan itu tak terlepas dari keterbatasan Polri, baik itu keterbatasan kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia.

Kepada Kompas yang menghubungi melalui telepon pada Selasa sore, Yunus menyatakan, penyelidikan dan penyidikan transaksi-transaksi itu memang butuh waktu lama mengingat tindak pidana pencucian uang bisa digolongkan sebagai tindak kriminal baru.

Selain masih baru, polisi juga diimpit keterbatasan. Mereka (Polri-Red) kurang orang, selain penguasaan materinya juga harus ditingkatkan, katanya lagi.

Sehubungan dengan itu, Yunus telah mengusulkan kepada Suyitno agar membentuk unit khusus untuk polisi yang menangani tindak pidana pencucian uang. Selama ini, ujarnya, money laundering ditangani Direktorat Ekonomi dan Khusus Polri yang dipimpin Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko. Direktorat tersebut selain mengurus tindak pidana pencucian uang, juga menangani kejahatan di dunia maya (cyber crime), tindak pidana perbankan, dan kasus-kasus lain. Saya melihat memang bebannya terlalu berat, ujarnya.

Salah satu kasus besar yang bermula dari laporan transaksi mencurigakan itu, katanya, adalah pembobolan Bank BNI Kebayoran Baru. PPATK berharap kasus ini dapat tuntas dan pelakunya dihukum agar dapat meloloskan Indonesia dari daftar negara yang tidak kooperatif dalam pidana pencucian uang.

Suyitno Landung menegaskan, kerja sama dengan PPATK berupa pelatihan penyidik pidana pencucian uang dapat makin intensif dilakukan. Dalam hal ini, Polri berkepentingan agar Indonesia tidak lagi masuk black list negara-negara tidak kooperatif dalam penanganan money laundering, katanya.

Suyitno yakin, dengan payung nota kesepahaman itu, penanganan tindak pidana pencucian uang akan makin intensif karena di dalamnya terdapat kesepakatan untuk tukar-menukar informasi serta pendidikan, pelatihan, dan magang atau pertukaran staf. (ADP)

Sumber: Kompas, 17 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan