Hakim Yang Membebaskan

Dalam praktek penegakan hukum, hakim memang tidak boleh dipaksa atau harus selalu memberikan vonis bersalah kepada terdakwa (korupsi). Hakim bisa saja melepaskan terdakwa korupsi andai alat-alat bukti yang dihadirkan oleh penuntut umum memang tidak kuat. Karena itu, bebas atau dijeratnya terdakwa korupsi bergantung pada kualitas alat bukti yang diajukan penuntut umum ke hadapan pengadilan.

Hal di atas merupakan pengandaian dalam situasi yang sangat ideal, di mana hakim, dalam konsep awalnya, merupakan profesi yang mulia, karena mewakili Tuhan untuk memberikan keadilan atas tindakan yang dikategorikan melanggar norma sosial. Namun hakim bukanlah Tuhan itu sendiri, terutama karena integritasnya juga sangat ditentukan oleh sistem yang mengaturnya. Ketika profesi hakim sudah dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama yang dapat mengancam status idealnya, seperti intervensi politik dan suap, hakim bisa melakukan penyimpangan.

Fenomena banyaknya terdakwa korupsi yang dibebaskan oleh hakim menunjukkan gejala penyimpangan yang jelas. Pasalnya, muara persoalan yang menyebabkan bebasnya terdakwa korupsi tidak lagi dimonopoli oleh lemahnya jaksa penuntut dalam menghadirkan bukti yang meyakinkan. Tetapi hakim juga kerap mengabaikan bukti-bukti yang dapat menjerat terdakwa.

Contoh terakhir adalah kasus Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu yang didakwa melakukan perbuatan korupsi dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tahun 2006-2007 senilai Rp 21,3 miliar, yang dibebaskan murni oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan atas bebasnya Agusrin dianggap kontroversial dan menyulut amarah sebagian kelompok masyarakat di Bengkulu, khususnya mahasiswa yang selama ini berjuang agar kasus Agusrin bisa disidangkan.

Tersendat-sendat
Dapat dikatakan, vonis bebas murni majelis hakim PN Jakarta Pusat kepada terdakwa korupsi, Agusrin, merupakan ending yang buruk dari proses peradilan yang sejak awal sudah tersendat-sendat. Kontroversi penanganan kasus Agusrin sudah dimulai sejak kasus dugaan korupsi Gubernur Bengkulu ini diproses kejaksaan tinggi setempat. Pasalnya, sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 2009, Agusrin baru bisa diadili pada 2011. Artinya, butuh waktu hampir 3 tahun untuk melimpahkan berkas Agusrin ke pengadilan.

Alasan ketidaksiapan Jaksa untuk melimpahkan berkas Agusrin ke pengadilan memang menyimpan kecurigaan. Izin pemeriksaan dari Presiden, yang kala itu belum turun, menjadi salah satu faktornya. Tetapi ditengarai banyak kalangan, proses hukum yang tak mulus dalam kasus Agusrin lebih disebabkan oleh turut campur politik Jakarta. Terutama karena Agusrin merupakan kader Partai Demokrat yang posisinya relatif kuat di Bengkulu. Hipotesis ini semakin kuat karena pada kenyataannya kejaksaan bisa menangani dengan baik kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di tempat lain. Pendek kata, kuat-tidaknya tautan kepentingan antara Jakarta dan politikus lokal bisa menjadi penentu apakah kasus yang melilit "bos lokal" akan mulus atau tersendat.

Namun dalam konteks penanganan kasus Agusrin di PN Jakarta Pusat, vonis bebas yang diputuskan oleh majelis hakim barangkali tidak ada kaitan langsung dengan campur tangan Jakarta. Hal ini karena posisi hakim yang independen dari cabang kekuasaan mana pun. Hakim juga sepertinya tidak punya kepentingan untuk bermain politik, meskipun posisi hakim bukan berarti bebas dari intervensi politik sama sekali.

Karena itu, ada kemungkinan keluarnya vonis bebas oleh majelis hakim, terutama jika fakta-fakta dan alat bukti di persidangan demikian kuat menjerat terdakwa korupsi, lebih disebabkan oleh praktek suap-menyuap. Tetapi memang sulit untuk membuktikan ada-tidaknya kongkalikong antara terdakwa dan majelis hakim. Hal ini karena praktek suap yang terjadi di pengadilan sangat rahasia, hanya diketahui oleh pemberi dan penerima.

Terungkapnya kasus suap di pengadilan bisa saja terjadi jika ada "pengkhianatan" dari salah satu pihak. Tetapi benefit dari pihak yang bisa membocorkan informasi adanya praktek suap belum diperhitungkan sama sekali dalam sistem perlindungan whistle blower di Indonesia. Alih-alih diberi keuntungan, pemberi informasi yang pada saat bersamaan merupakan pelaku suap harus dijerat oleh hukum. Tak mengherankan angka penanganan kasus suap di Indonesia masih sangat sedikit.

KY dan kasasi
Sementara itu, satu-satunya jejak yang bisa ditelusuri untuk menguatkan dugaan adanya suap hanyalah dari putusan majelis hakim. Langkah Komisi Yudisial (KY), yang akan segera melakukan kajian terhadap putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat atas vonis bebas murni yang diberikan kepada Agusrin, merupakan sinyal positif bahwa sistem deteksi dini terhadap kemungkinan perilaku menyimpang yang dilakukan hakim sudah mulai berjalan efektif.

Meskipun sangat mungkin, dari pemeriksaan KY, tidak dapat diungkap adanya praktek suap yang terjadi dalam kaitannya dengan vonis bebas Agusrin, paling tidak KY bisa mengidentifikasi kekeliruan atau kesalahan majelis hakim yang menangani kasus tersebut, khususnya yang mengaitkannya dengan pelanggaran kode etik hakim. Di sisi lain, untuk mendorong agar ada proses pengadilan yang lebih fair, Kejaksaan Agung perlu segera mengajukan kasasi ke MA. Meskipun dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP atas kasus vonis bebas tidak bisa dilakukan kasasi, sudah banyak contoh kasasi jaksa atas vonis bebas murni yang dikeluarkan majelis hakim bisa diterima oleh MA.

Dalam catatan ICW, terdapat 12 kasus korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan negeri, yang lalu pengajuan kasasinya oleh jaksa dikabulkan hakim MA. Bahkan bukan hanya diterima, pada akhirnya majelis hakim kasasi MA menjatuhkan vonis bersalah atas vonis bebas murni yang sebelumnya dijatuhkan oleh hakim pengadilan negeri. Diterimanya kasasi jaksa sesungguhnya bisa dianggap sebagai "terobosan hukum" yang positif, mengingat maraknya praktek suap-menyuap dalam proses persidangan.

Penyikapan atas kasus Agusrin, terutama dalam konteks vonis bebas murni oleh majelis hakim, harus dilakukan dengan cepat dan serius mengingat kita sedang membentuk pengadilan tipikor di berbagai daerah sebagaimana mandat Undang-Undang Pengadilan Tipikor. Jangan sampai putusan vonis bebas murni dalam kasus Agusrin justru menjadi inspirasi bagi hakim di pengadilan tipikor kelak.

Adnan Topan Husodo,WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 8 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan