Hak Buronan Harus Dibatasi

Antikorupsi.org, Jakarta, 28 Juni 2016 – Hak hukum buronan dalam sektor peradilan pidana harus dibatasi. Selama ini buronan kerap menggunakan celah hukum untuk meringankan atau meloloskan dirinya dari perkara yang menjerat mereka.

“Ada proses hukum yang harus dijalani tapi mereka tidak menjalaninya,” terang Lalola di Jakarta, Selasa, 28 Juni 2016.

Dari awal, tindakan mereka sebagai buronan telah mencerminkan perbuatan membangkang terhadap hukum. Namun mereka justru melakukan upaya hukum lain untuk perkara mereka.

“Mereka mau meminta akses terhadap keadilan, padahal diawal premisnya sudah buruk,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan pembatasan hak hukum dapat dituangkan ke dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PerMA).

Sejauh ini, peraturan yang ada seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SeMA) tidak cukup kuat untuk menjerat para buronan yang menggunakan celah-celah tersebut.

“PerMA akan jauh lebih mengikat dibanding SeMA, Hakim atau Jaksa pasti mengikuti PerMA,” ujar Supriyadi pada waktu dan kesempatan yang sama.

Setidaknya ada tiga celah yang biasa digunakan oleh buronan, atau biasa dikenal sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Pertama, dalam status DPO oleh penyidikan. Buronan masih bisa menggunakan praperadilan untuk menguji upaya paksa.

Kedua, di tingkat penuntutan. Buronan bisa menggunakan upaya hukum biasa seperti Banding dan Kasasi. Ketiga, mereka juga bisa menggunakan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK).

Tindakan membatasi hak hukum buronan juga tidak berarti mereka memiliki hak hukum sama sekali. “Kita bukan mau bilang buron tidak punya hak, tapi jika mau punya hak, jangan menjadi buron,” tambah Lalola.

Dalam pemantauan ICJR dan ICW, tercatat setidaknya 10 DPO yang menggunakan celah hukum. Sebagian besar merupakan DPO yang terjerat kasus korupsi.

(Egi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan