Habis Gelap Terbit Gelap

MUHAMMAD Nazaruddin rajin melontarkan keterangan terkait dugaan suap terkait dengan pembangunan wisma atlet SEA Games 2011. Dalam wawancara dengan Metro TV (19/7/2011) dia menuding ada duit Rp 50 miliar dari proyek itu mengalir ke Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Selain itu, Nazaruddin yang sudah resmi dipecat dari partai (SM, 25/07/11) juga menyebut bahwa pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan M Jasin, adalah teman Anas. Bahkan, Chandra disebutnya pernah bertemu dengan Anas untuk mengatur skenario pemilihan pimpinan KPK. Jadi, kata dia, ada semacam kontrak tak tertulis untuk mengamankan pemilihan pimpinan KPK yang dibarter dengan tidak diperiksanya Anas. Menanggapi tudingan Nazaruddin itu, Anas menyatakan bahwa Nazaruddin dimanfaatkan oleh pihak yang tidak suka padanya dan ingin menjatuhkannya.

Bagi penulis, informasi yang disampaikan Nazaruddin ini menandakan gelap telah datang ke kasus suap pembangunan wisma atlet. Gelap karena kasus yang sudah mencokok tiga tersangka tersebut, Wafid, Mindo, dan Idries, melebar ke ranah politik. Benar bahwa KPK sudah menemukan bukti bahwa Nazaruddin adalah perancang atau pemberi perintah pengumpulan dana suap proyek wisma atlet SEA Games (SM, 25/07/11). Faktanya antarpolitikus Partai Demokrat saling menjatuhkan. Lalu siapa yang benar? Siapa pula yang bersalah?

Tiap penanganan kasus korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan politik, selalu saja muncul fakta dan intrik. Di antara keduanya hampir sulit dibedakan. Masih ingat kasus Bank Century? Dalam kasus yang konon merugikan keuangan negara Rp 6,7 triliun itu muncul fakta dan intrik yang bergerak bergantian. Misalnya, motivasi menetapkan bailout  kabarnya tidak untuk menyelamatkan bank tersebut. Pasalnya pada saat yang sama, ada Bank Indover, bank milik pemerintah Indonesia yang berada di Belanda dengan mudah diputuskan untuk ditutup (Aditjondro, 2011: 104; Soesatyo, 2010: 19), tidak di-bailout. Toh, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada guncangan ekonomi di Indonesia. Ini fakta.

Namun, fakta itu dipelintir melalui pendapat ekonomi-perbankan yang sektoral. Bank Indover tidak lebih membutuhkan suntikan dana daripada Bank Century. Alhasil, penyertaan modal sementara dikucurkan negara untuk Century. Kemudian, Century dianggap sebagai bank gagal yang berdampak sistemik bagi ekonomi makro yang jika disuntik dengan dana talangan maka akan menjadi sehat dan asetnya bisa dijual untuk menutupi duit negara yang sudah dikeluarkan. Ini rumor.

Aktor Intelektual
Faktanya, seperti testimoni mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 2 November 2009, merger Century sedari awal bermasalah (Aditjondro, 2011: 104; tempointeraktif, 21/12/2009; kontan.co.id, 16/12/2009). Kalaupun disuntik, bank yang sekarang berganti nama menjadi Bank Mutiara itu tetap tidak akan sehat. Asetnya akan rugi dijual dan tidak akan menutup duit negara.

Simpang-siur antara fakta dan rumor maupun intrik dalam kasus penyertaan modal sementara dan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek ke Century, membuat kasus yang dulu sangat menyita perhatian publik tersebut, tak kunjung beres sampai sekarang.

Siapa yang bertanggung jawab secara hukum atas bailout , tidak diketahui. Penegak hukum, KPK, Kejaksaan, Kepolisian, bersuara sama bahwa belum ditemukan siapa yang bertanggung jawab secara hukum. Kasus ini gelap.

Agaknya, kasus Nazaruddin dan suap pembangunan wisma atlet, bakal bernasib sama. Saat ini kita merasakan, minimal bagi penulis, bahwa gemuruh kasus ini sudah seperti kasus Century. Ada saling serang di antara politikus. Bedanya, pada kasus Century, perang politik terjadi antara Demokrat dan partai di luarnya, sedangkan dalam kasus Nazaruddin, terjadi antaranggota Demokrat.

Jika demikian, percayalah bahwa kasus Nazaruddin tak akan terbongkar. Siapa yang bertanggung jawab secara hukum (bukan secara politik) dan aktor intelektual dalam suap pembangunan wisma atlet sulit ditemukan. Kasus ini juga akan gelap. Karena itu, tidak ada cara lain untuk menghadirkan terang, kecuali KPK mengurai kasus ini secara hukum dan tidak terjebak pada ranah politik.

Biarlah para politikus berkicau tetapi KPK harus maju terus. Caranya dimulai dengan menelusuri BBM Nazaruddin dan menghadirkannya ke Indonesia. Ini harus cepat dilakukan. Jika tidak, pasti habis gelap akan terbit gelap lagi. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan