Gerakan Antikorupsi

Rendahnya persepsi korupsi (IPK) di Indonesia menempatkan posisi negeri kita sebagai negara nomor 6 paling korup di dunia dari 133 negara. Penilaian Tranparency International itu sangat memalukan kita. Tetapi mau bilang apa? Salah satu gerakan reformasi yang bertujuan memberantas tindak pidana korupsi, terbukti gagal. Banyak orang mengatakan, di era pascareformasi - karena ada pihak ketiga yang berupaya membelokkan arah serta tujuan gerakan reformasi - korupsi di Indonesia semakin subur.

Citra buruk Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia membuat masyarakat kita kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahnya sendiri. Kredibilitas dan akuntabilitas pemerintah luntur di mata warganya sendiri. Sama dengan lunturnya kepercayaan pemerintah dan masyarakat mancanegara terhadap negara dan bangsa kita.

Dari waktu ke waktu, tindak pidana korupsi di negara kita - apakah di sektor negara atau swasta - mengalami peningkatan. Potret ini direkam bukan hanya oleh warga bangsa kita sendiri, tetapi juga oleh pemerintah dan masyarakat asing.

Demi menutup aib bangsa karena prestasi korupsi terburuk di planet bumi ini, pantaskah kita memulainya dengan memberangus kebebasan pers nasional kita sendiri, di samping membatasi kebebasan berekspresi manusia Indonesia untuk tidak semakin membesar-besarkan sejumlah kasus korupsi di negara kita?

Pemberantasan kemerdekaan berekspresi seperti juga pemberangusan kebebasan pers untuk mengekspose tingginya korupsi haram hukumnya dilakukan oleh siapa pun. Suka atau tidak atas akibat ekspose terhadap maraknya korupsi di Indonesia, kita harus mengakui bahwa korupsi di negeri ini bukan hanya merupakan bagian kultur birokrasi negara atau swasta, tetapi juga telah berkembang menjadi struktur perilaku manajemen modern.

Akibatnya, pengaruh korupsi semakin merata di berbagai bidang kehidupan publik, dengan risiko semakin jauh tercapainya kehendak negara dan bangsa Indonesia untuk bisa menyejahterakan diri sendiri. Karena itu, akal sehat (common sense) kebanyakan manusia Indonesia menyatakan, salah satu faktor penentu kemiskinan nasional kita bukan kemiskinan struktural itu sendiri, melainkan kultur korupsi di negeri ini yang seolah tidak pernah bisa dicegah.

Salah satu upaya yang harus kita lalukan dalam memberantas korupsi adalah meningkatkan gerakan antikorupsi. Gerakan ini bukan cuma basa-basi, tetapi merupakan sebuah political will (kemauan baik politik) pemerintah yang didukung persiapan dan kesiapan piranti hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Untuk itu, langkah pertama yang idealnya dapat kita dahulukan adalah pemantapan kodifikasi hukum (normatif) yang minimal bisa membuat siapa pun menjadi jera melakukan korupsi (pencegahan). Selain itu, juga perlu memberikan sanksi seberat-beratnya bagi pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri.

Mampukah pemerintah dan masyarakat meniadakan mafia peradilan (seperti sering didengungkan publik), sehingga para koruptor bisa bebas dari jeratan hukum? Mampukah kita tidak henti-hentinya melakukan kontrol publik atas berbagai bentuk penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini? Selain itu, kita pun layak mempertanyakan, apakah piranti hukum yang kita persiapkan untuk memberantas tindak pidana korupsi itu benar-benar dibangun di atas rasa keadilan publik? Masyarakat sendiri menuntut agar sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana korupsi tidak diskriminatif.

Salah satu prasyarat mutlak ke arah sana adalah dukungan politik pemerintah, di samping partisipasi masyarakat. Kalau cuma political will pemerintah, itu akan dinilai masyarakat sekadar sebagai tindakan (politik) pemerintah menutupi aib negara.

Gerakan antikorupsi yang dilakukan pemerintah tanpa mengakses partisipasi masyarakat, bukan mustahil justru kontraproduktif untuk keseluruhan kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri. Karena itu, akses publik dalam gerakan antikorupsi seharusnya diposisikan di depan. Dalam proses itu, peran pers harus aktif dilibatkan. Pers yang terus-menerus bicara soal pemberantasan korupsi harus dipahami sebagai wujud kecintaan kepada pemerintah, bangsa dan negara.(Novel Ali adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (Fisip) Universitas Diponegoro, Semarang)

Tulisan ini diambil dari Suara Karya, Senin, 1 Maret 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan