Gelapnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia?

"Diskusi Bareng Pakar" edisi Januari 2011, yang diadakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia Nagoya bersama Zaenal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, telah menebarkan virus kegelisahan dan keresahan mengenai karut-marut penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Peserta forum Diskusi Bareng Pakar, yang biasanya penuh canda-tawa dan optimisme memandang masa depan Indonesia, mendadak menjadi sunyi dan tertunduk lesu melihat lorong gelap Indonesia bagaikan malam tanpa bintang dan kunang-kunang. Segelap itukah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia? Ataukah hal itu hanya kegelisahan, keletihan, dan keputusasaan seorang Zaenal, aktivis antikorupsi di Indonesia?

Marilah kita melihat lebih jernih dan obyektif indikator-indikator penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu indikator korupsi yang banyak dijadikan rujukan adalah indeks persepsi korupsi (IPK), yang merupakan persepsi dunia usaha terhadap korupsi dan pelayanan publik di suatu negara/daerah. Angka 0 menunjukkan tingkat korupsi terparah, sedangkan angka 10 menunjukkan tingkat korupsi terendah. Laporan Transparency International menunjukkan IPK Indonesia 2010 sama seperti IPK 2009, yaitu 2,8, dan menempati posisi ke-110. Di sisi lain, laporan Transparency International Indonesia (TII) mengenai indeks persepsi korupsi kota-kota di Indonesia menunjukkan rata-rata IPK 2004 = 4,69, IPK 2006 = 4,72, IPK 2008 = 4,48, dan terakhir IPK 2010 = 4,73. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi hanyalah strategi membangun citra dan cuma gemuruh di media tanpa menyentuh permasalahan korupsi itu sendiri. Tidak adanya perubahan yang signifikan, baik IPK Indonesia maupun rata-rata IPK kota-kota di Indonesia, mungkin menjadi salah satu pembenaran resah dan gelisah yang dialami Zaenal dan para peserta diskusi malam itu.

Angka-angka IPK di atas merupakan sebuah fakta yang mengandung banyak makna. Akan lebih menarik jika kita mampu memaknai fakta dan mengaitkan fakta dengan kondisi kesejahteraan dan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Dartanto (2010) mencoba menghubungkan IPK kota di Indonesia dengan investasi publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan mengaplikasikan teori permainan (Game Theory) dan didukung oleh bukti empiris estimasi ekonometrika, penelitian ini menyimpulkan hubungan antara IPK dan investasi publik berbentuk kurva-U, di mana semakin rendah angka IPK atau semakin korup suatu daerah, investasi publik daerah tersebut semakin tinggi. Di sisi lain, daerah-daerah yang memiliki angka IPK tinggi juga mempunyai angka investasi publik yang tinggi. Temuan menarik lainnya adalah investasi publik akan mencapai titik terendah ketika IPK berada pada kisaran 4,42-4,64.

Kita jangan berbangga dulu dengan temuan ini. Tingginya angka investasi publik di daerah-daerah yang IPK-nya rendah lebih disebabkan oleh adanya kolusi antara pejabat pemerintah daerah dan anggota legislatif untuk menciptakan berbagai proyek-proyek pembangunan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan kroni mereka. Sebagai imbalannya, pejabat pemerintah daerah dan anggota legislatif akan memperoleh komisi dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga banyak sekali proyek yang dibangun tidak didasari perencanaan yang baik, dan kualitas dari proyek-proyek yang dibangun jauh dari standar karena adanya markup.

Kurva-U hubungan antara IPK dan investasi publik mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi yang gencar akan menurunkan investasi, karena adanya ketakutan dari pimpinan proyek untuk melaksanakan proyek dan ketidakmampuan dunia swasta untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tender proyek. Kondisi ini tidak menjadikan kita semuanya berhenti memerangi korupsi karena, ketika IPK melewati angka 4,42-4,64, pemberantasan korupsi akan memberi dampak positif bagi peningkatan investasi publik. Penegakan hukum dan remunerasi yang baik akan meningkatkan IPK, yang pada akhirnya akan diikuti oleh peningkatan investasi publik. Sistem hukum dan remunerasi yang baik tidak memberi ruang bagi aparatur pemerintah maupun dunia swasta untuk melakukan korupsi dan saling berkolusi untuk memperkaya diri sendiri.

Dengan membandingkan temuan di atas dan IPK terbitan TII, terlihat jelas sebagian besar daerah di Indonesia berada pada titik terendah investasi publik, karena rata-rata IPK hanya sedikit lebih besar dari 4,64. Temuan ini mungkin bisa dijadikan pembenaran bagi kegelisahan dan keresahan Zaenal serta peserta diskusi malam itu mengenai kelamnya Indonesia. Tetapi kegelisahan dan keresahan janganlah menjadi dasar untuk berputus asa untuk bermimpi melihat Indonesia yang lebih cerah. Solo, Yogyakarta, Denpasar, Tegal, dan Manokwari merupakan segelintir daerah di Indonesia yang bisa menjadi lilin-lilin kecil yang menerangi gelapnya Indonesia.

Percayalah kepada kata-kata Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang", masih ada harapan buat Indonesia. Kegelapan tidak akan menjadi terang dengan berpangku tangan. Mantra, doa, apalagi citra, tidak akan mampu menciptakan seribu kunang-kunang untuk menerangi kegelapan malam pemberantasan korupsi dan mafia hukum di Indonesia. Dibutuhkan sebuah kemauan, keberanian, dan kerja keras para pemimpin dan masyarakat sipil untuk menyalakan lilin-lilin harapan guna mengusir kegelapan malam menuju Indonesia yang terang-benderang bagi generasi yang akan datang.
 
Teguh Dartanto, PENELITI LPEM FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA DAN KETUA PERSATUAN PELAJAR INDONESIA NAGOYA, JEPANG
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 8 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan