Gedung DPR

Barangkali tak seorang pun memungkiri, para wakil rakyat membutuhkan ruang kerja dan fasilitas pendukung yang memadai agar kinerja mereka lebih optimal. Namun, mengapa rencana pembangunan gedung baru DPR ditolak begitu luas oleh publik?

Gelombang penolakan publik atas pembangunan gedung baru DPR tidak semata-mata terkait dengan biayanya yang mencapai sekitar Rp 1,138 triliun. Biaya yang begitu besar tentu jadi relatif ”kecil” jika dihubungkan dengan manfaat dan fungsinya dalam mendukung peningkatan kinerja wakil rakyat kita pada masa depan.

Karena itu, persoalannya bukan pada besarnya biaya yang nilainya setara dengan pembangunan 4.480 rumah sederhana bagi keluarga miskin–seperti kalkulasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)—tetapi lebih terletak pada kekecewaan publik atas perilaku, prestasi, dan kinerja para wakil rakyat yang dianggap masih buruk.

Betapa tidak, dalam situasi ketika sebagian wakil rakyat sering mangkir dari sidang-sidang parlemen atau kalaupun hadir sebagian di antaranya hanya ber-Facebook, ber-Twitter, dan bahkan tiduran ria dalam persidangan, gedung baru ”semurah” apa pun hampir pasti ditolak publik.

Sulit dimungkiri, penolakan itu berakar pada ketidakpercayaan kolektif yang semakin meluas atas perilaku, prestasi, dan kinerja para anggota parlemen.

Tidak mengherankan jika untuk sekadar pengadaan komputer ataupun notebook saja—yang notabene merupakan alat kerja bagi wakil rakyat—DPR mendapat kritik yang luas, apalagi gedung baru yang ditengarai memiliki kolam renang dan tempat mandi uap pula.

Kuasa besar komitmen kurang
DPR hasil pemilu pasca-Orde Baru sebenarnya relatif lebih baik dibandingkan dengan DPR era Soeharto. Setelah UUD 1945 diamandemen, DPR memiliki kekuasaan politik yang jauh lebih luas, bahkan melampaui otoritas yang seharusnya dimiliki dalam skema sistem demokrasi presidensial.

Betapa tidak, kini pengangkatan pejabat publik, seperti pimpinan dan anggota komisi-komisi negara, hampir semuanya ditentukan oleh DPR setelah diusulkan oleh presiden. Begitu pula pengangkatan ketua Mahkamah Konstitusi, ketua Mahkamah Agung, gubernur Bank Indonesia, serta panglima TNI dan kepala Kepolisian Negara RI.

Namun, problematiknya, kekuasaan DPR yang begitu besar ternyata tidak disertai dengan komitmen yang besar pula. Sebaliknya, dalam praktik acap kali kekuasaan para wakil rakyat dipertukarkan dengan potensi keuntungan politik dan ekonomi yang bisa diraih para politisi di Senayan.

Akibatnya, preferensi pilihan terhadap pejabat publik sering kali dikaitkan dengan garansi personal yang bisa diberikan ketimbang kompetensi, kapabilitas, dan integritas para calon. Apabila pada kemudian hari suatu komisi negara tidak dapat dikontrol oleh partai-partai politik di DPR, mereka biasanya berupaya memereteli kekuasaan komisi tersebut.

Itulah, misalnya, yang dialami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika KPK ”berani” mengirim para politisi Senayan ke ruang tahanan dan penjara, parpol di DPR pun beramai-ramai mendorong dilakukannya revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disinyalir rencana revisi dua UU yang telah menjadi agenda Program Legislasi Nasional 2011 itu untuk memereteli sebagian kewenangan KPK yang dianggap telah memperburuk citra DPR di mata publik.

Daftar kekecewaan

Kekecewaan publik tentu tidak hanya sebatas itu. Paling kurang ada empat kelompok daftar kekecewaan publik yang menjadi sumber penolakan terhadap pembangunan gedung baru DPR. Pertama, rendahnya produktivitas Dewan dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Setiap awal tahun DPR menargetkan penyelesaian puluhan RUU, tetapi tak sampai 50 persen yang benar-benar bisa diwujudkan menjadi UU.

Kedua, semakin meluasnya kecenderungan politik transaksional di balik penggunaan hak-hak politik Dewan, terutama terkait fungsi pengawasan. Sejak DPR hasil Pemilu 2004, hampir tidak satu pun hak angket dan hak interpelasi yang akhirnya dapat mengubah kebijakan sehingga benar-benar berorientasi pada kepentingan publik. Penggunaan hak-hak politik akhirnya berhenti sebagai panggung politik bagi para politisi parpol untuk meraih popularitas agar mereka terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.

Ketiga, perilaku para legislator yang tidak berubah. Perjalanan studi banding tak pernah berhenti meski tidak begitu jelas hasilnya bagi perbaikan kinerja DPR. Beragam argumen dikemukakan untuk membenarkan acara pelesir yang dikecam publik karena hanya menghabiskan anggaran negara. Ibarat pepatah ”anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, tak satu pun parpol di parlemen yang benar-benar peduli atas keprihatinan publik.

Syahwat kekuasaan dan perburuan rente menutup mata hati mereka sehingga kritik apa pun yang dilontarkan publik tak pernah digubris.

Keempat, semakin meningkatnya kasus korupsi dan suap melanda anggota DPR. Meski memperoleh gaji, tunjangan penghasilan, dan fasilitas yang cukup memadai dari negara, sebagian anggota ternyata memperdagangkan hak dan otoritasnya untuk memperoleh kompensasi ekonomi dari pihak-pihak yang memerlukan dukungan politik DPR.

Mewakili siapa?

Dalam situasi demikian, sungguh tak layak bagi DPR menuntut tambahan fasilitas yang belum tentu menjanjikan peningkatan kinerja dan produktivitas. Karena itu, persoalannya tidak terletak pada besaran biaya pembangunan gedung baru, tetapi lebih pada ketidakpatutan tuntutan itu di tengah kekecewaan publik atas perilaku legislator serta prestasi dan kinerja DPR.

Kalau saja perilaku anggota Dewan secara bertahap diperbaiki, prestasi ditingkatkan, dan pelesir dikurangi, tak ada masalah dengan pembangunan gedung baru karena memang diperlukan sebagai bagian sarana pendukung peningkatan kualitas dan kapasitas DPR.

Kini soalnya terpulang kepada para legislator. Menikmati gedung baru dengan risiko kepercayaan publik semakin merosot atau memperbaiki perilaku, prestasi, dan kinerja dalam rangka merebut kembali kepercayaan rakyat.

Jika setiap ungkapan kekecewaan dan kritik publik tidak lagi didengar, pantaskah kerja parlemen mengatasnamakan kepentingan rakyat? Lalu, siapa yang diwakili kalau bukan suara rakyat? Barangkali itulah soalnya mengapa rencana pembangunan gedung baru DPR ditolak.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
 
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan