Gayusisme

Gayus Tambunan bukan hanya fenomena hukum dan politik. Ia juga fenomena sosiologis. Gayus adalah simbolisasi keruntuhan moral, etika, dan nilai-nilai seorang aparatur negara. Dia adalah anak kandung dan "korban" dari masyarakat yang sakit. Masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai hedonisme, materialisme, dan konsumerisme. Kasus Gayus adalah kesalahan kita semua. Sesungguhnya fenomena Gayus merupakan manifestasi dari ideologi kerakusan dan hedonisme di kalangan pejabat kita, suatu paham yang kemudian disebut "Gayusisme". Saya akan menjelaskan lebih jauh ideologi ini dari perspektif sosiologi korupsi.

Gayusisme adalah "anak kandung" hedonisme. Seperti hedonisme, gayusisme menilai kebaikan intrinsik dari pencapaian nafsu atau kepuasan badaniah (pleasure). Gayusisme memandang keberhasilan seorang pejabat, baik publik maupun swasta, dari sejauh mana ia dapat memanfaatkan jabatannya untuk memaksimumkan kepuasan lahiriah (kekayaan) dan meminimalkan penderitaan badaniah (kemiskinan). Ia tidak peduli apakah caranya legal maupun ilegal. Secara etis, dia hanya mementingkan dirinya sendiri (ethical egoism). Dengan mengumpulkan kekayaan lebih dari Rp 100 miliar, yang diduga ilegal, Gayus tidak peduli tindakannya itu menyengsarakan rakyat.

Gayusisme juga "saudara kembar" materialisme. Dalam perspektif teoretis Karl Marx dan Friedrich Engels, materialisme merupakan kenyataan sejarah ketika aktivitas manusia didorong oleh motif untuk memuaskan kebutuhan ekonominya. Namun, dalam bentuknya yang ekstrem, materialisme mewujud dalam pengagungan nilai-nilai materialistik dan kekayaan ekonomi. Seperti materialisme, gayusisme berpandangan jabatan (publik) merupakan kesempatan dan komoditas ekonomi untuk memperkaya diri (illicit enrichment).

Gayusisme merupakan imbas dari konsumerisme yang menjangkiti masyarakat dan sistem ekonomi kapitalis kita. Sebagai tatanan ekonomi dan sosial yang mendorong perilaku konsumtif konsumerisme telah mempengaruhi tatanan nilai para pejabat dan keluarga mereka. Jabatan dianggap sebagai sumber ekonomi yang mewah (lucrative source) untuk menunjang gaya hidup konsumtif para pejabat dan keluarganya.

Selain pada masyarakat hedonistik, gayusisme tumbuh subur dan menjadi epidemi pada masyarakat yang toleran terhadap perilaku korup. Seperti kejahatan lainnya, menurut teori Reintegrative Shaming dari John Braithwaite, gayusisme sebagai bentuk korupsi kerakusan (corruption by greed) akan tumbuh subur di tengah masyarakat yang toleran atau tidak mempermalukan perilaku korup. Pengangkatan mantan narapidana/koruptor sebagai ketua persatuan olahraga, pemilihan tersangka koruptor dalam pemilihan umum daerah, dan pelantikan terdakwa kasus korupsi menjadi wali kota adalah contoh jelas sikap toleran masyarakat kita terhadap perilaku korup.

Gayusisme berkembang meluas bila korupsi bukanlah, sebagaimana Jeremy Pope sebut, perilaku yang "high risk, low benefit". Sebaliknya, sebagian pejabat kita terdorong melakukan korupsi karena keuntungannya jauh lebih besar daripada risiko yang mungkin diterima. Pejabat demikian tidak takut dan tidak jera mencuri uang negara, karena mereka yakin hukum dan penegak hukum dapat dibeli. Tidak ada efek jera (deterrent effect) dalam penegakan hukum antikorupsi.

Kepemimpinan nasional yang lemah juga berkontribusi terhadap epidemi gayusisme. Tidak adanya keteladanan integritas dari para pemimpin politik dan birokrasi serta rendahnya penghargaan terhadap kejujuran akan mendorong para pejabat publik untuk berbuat korup. Keadaan menjadi makin parah bila birokrasi itu dipimpin oleh para birokrat pencuri, atau yang saya sebut "kleptobirokrasi" (Koran Tempo, 22 November 2009). Dalam kleptobirokrasi, justru pegawai yang korup atau kleptobirokrat yang akan dipromosikan.

Efek destruktif
Gayusisme bila dibiarkan dapat melumpuhkan negara, suatu keadaan yang sedang menimpa negara kita. Jabatan tidak lagi digunakan untuk melayani dan melindungi kepentingan publik, melainkan untuk mencapai tujuan serta keuntungan pribadi dan kelompoknya. Program-program pemerintah tidak akan mencapai tujuannya karena keputusan dan wewenang pemerintahan disalahgunakan.

Sumber daya publik dicuri atau dimanfaatkan tidak sebagaimana mestinya. Potensi penggelapan dan penyelewengan perpajakan dan anggaran belanja pemerintah yang diduga berjumlah triliunan rupiah itu tentu akan sangat bermanfaat untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan pendidikan.

Gayusisme yang sistemik akan melemahkan fungsi-fungsi institusi pemerintahan. Lembaga-lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh para kleptobirokrat tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan untuk menyejahterakan masyarakat. Kegagalan institusi ini dalam jangka panjang akan melumpuhkan fungsi negara untuk memajukan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara (failed state).

Degayusisme
Untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan, proses degayusisme harus segera dilakukan. Harus dilakukan pembalikan nilai-nilai sosial dari toleran menjadi sangat menentang dan menghinakan terhadap perilaku koruptif. Gerakan massif dan sistemik harus segera dimulai untuk merendahkan serta mempermalukan gaya hidup, sikap, dan nilai-nilai hedonisme, materialisme, dan konsumerisme di masyarakat, khususnya di kalangan pejabat publik.

Reformasi birokrasi harus mencakup reformasi etika dan budaya birokrasi. Nilai-nilai integritas dan kejujuran harus menjadi pertimbangan utama dalam sistem pemberian penghargaan dan sanksi kepada pegawai (reward and punishment system), khususnya dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik. Kleptobirokrasi harus diubah menjadi birokrasi yang dipimpin oleh para intelektual-profesional yang memiliki integritas, komitmen, dan hati nurani untuk menyejahterakan masyarakat dan memajukan bangsanya.
 
Roby Arya Brata, DOSEN DAN PENELITI ANTIKORUPSI DI UNIVERSITAS DJUANDA, BOGOR
 
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 Februari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan