Gayus, Malinda, dan" Ubermensch"

Panggung korupsi di Tanah Air senantiasa mencengangkan. Saat kasus Gayus Tambunan mencuat ke permukaan, masyarakat dibuat tercengang terkait rumah mewah Gayus senilai Rp 3 miliar, padahal konon pendapatan Gayus tak lebih dari Rp 12 juta per bulan.

Begitupun tatkala kasus Malinda Dee—tersangka pembobol dana nasabah Citibank—sedang disorot media. Masyarakat lagi- lagi dibuat tercengang melihat deretan mobil mewah milik Malinda. Bayangkan, ada Hummer H3 seharga Rp 3,4 miliar hingga Ferrari California yang dibanderol sekitar Rp 6 miliar. Wajar muncul pertanyaan, berapa pendapatan ”legal” Malinda sebagai manajer di sebuah bank?

Apa yang dipertontonkan Gayus dan Malinda jadi penguat pemikiran Simmel bahwa seseorang ingin dihargai orang lain karena kepemilikan atas uang: yang kaya dihormati, yang miskin dianggap kurang terhormat. Segala hal dinilai dengan uang, bahkan nilai-nilai emosional dan keyakinan individu.

Baik Gayus maupun Malinda tentu ingin dihargai orang lain. Maka, mereka harus bermobil mewah atau punya rumah di kawasan elite. Lantas, mereka memakai uang untuk meraih penghargaan dimaksud. Jadilah Gayus dan Malinda si pemburu uang yang menghalalkan segala cara.

Inilah yang diistilahkan sebagai ”moneterisasi budaya”: segalanya diukur dan ditentukan oleh uang. Cita-cita romantik dan emosi-emosi yang kuat sering kali muncul sebagai sebuah reaksi melawan moneterisasi budaya. Uang dan intelek dipertukarkan. Masyarakat dan budaya dapat dibeli.

Padahal, Paus Benediktus XVI pernah mengingatkan, ”Uang adalah ilusi.” Uang dan kekayaan duniawi bukanlah sesuatu yang hakiki dan abadi, bukan untuk memperkaya diri tanpa kepedulian kepada mereka yang butuh bantuan dan pertolongan.

Namun, apa mau dikata, baik Gayus maupun Malinda tak mau memedulikan peringatan itu. Mereka silau pada keduniawian karena mereka merupakan penjelmaan dari ubermensch.

Melulu duniawi
Ubermensch adalah gagasan filsuf Nietzsche yang diperkenalkan lewat tokoh Zarathustra. Setelah sepuluh tahun berkontemplasi di gunung-gunung, Zarathustra turun ke kota sembari bersyiar, ”Aku mengajarkan ubermensch kepadamu. Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi. Apakah yang telah kalian lakukan untuk mengatasinya?”

Orang-orang kota masih bertanya-tanya, siapa atau apa ubermensch ini. Terlebih ketika Zarathustra menegaskan, ”Aku mengingatkan kepadamu, saudara-saudaraku, tetaplah percaya kepada dunia dan jangan percaya kepada mereka yang berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini. Mereka ini adalah para peracun, entah mereka tahu atau tidak.”

Ubermensch memandang janji-janji di seberang dunia atau di balik dunia sebagai ”peracun”. Inilah kebingungan menghadapi syiar ubermensch.

Kata Zarathustra, ubermensch memang berada di dunia ini, bukan di seberang atau di balik dunia. Dunia merupakan sumber nilai, bukan ”bintang-bintang jauh di langit”. Ini mau menegaskan bahwa ubermensch merupakan pribadi yang kuat, yang kerasan di dunia, tidak merasa perlu menghiraukan orang lain, tidak berpikir sedikit pun tentang apa yang terjadi di balik kubur.

Jadi, satu-satunya tujuan baginya adalah mencapai kepuasan setinggi-tingginya bagi naluri diri dan kepuasan nafsu berkuasa. Jelas ini melulu duniawi. Untuk itu, ia siap menghancurkan apa pun yang bakal melemahkan dirinya.

Pantas dibuat sengsara
Bukankah karakter ubermensch itu ada pada Gayus dan Malinda? Di satu sisi Malinda yang mengabaikan ”baik” sebenarnya representasi dari ”tidak berpikir sedikit pun tentang apa yang terjadi di balik kubur”. Kalau Malinda berpikir tentang ”baik”, ia akan berpikir pula apa yang (bakal) terjadi di balik kubur.

Sesungguhnya Malinda tidak sendirian. Banyak ”Malinda” lain yang ”tidak berpikir sedikit pun tentang kubur” sembari ”tidak menghiraukan orang lain” demi hasrat duniawinya. Mau dibilang ”Gayus-Gayus” atau ”Malinda-Malinda” ini dalam bertindak tak perlu takut dengan dogma dosa, penyimpangan moral adalah hal biasa. Jangankan moralitas, religiositas saja bukan penghalang!

Oleh karena itu, memberangus para ubermensch ini tidak bisa dengan cara bicara soal Tuhan. Bagi ubermensch, Tuhan itu sudah mati. Jadi, jangan bicara Tuhan, tetapi beri sanksi duniawi seberat-beratnya. Mereka percaya hidup sekadar di dunia sehingga akan kapok bila siksa dunia ditimpakan kepada mereka.

Di sini berlakulah hukum ”gigi bayar gigi, mata bayar mata” yang membawa semangat kesetimpalan. Semangat ini mengajarkan betapa penting menghukum si penjahat secara setimpal sesuai kejahatannya. Kejahatan kecil, hukumannya juga kecil. Adapun hukuman berat diperlukan untuk merespons kejahatan besar.

Etikus Jeremy Bentham lebih gamblang. Hakikat hukuman, kata Bentham, adalah pembayaran kembali si penjahat karena perbuatan jahatnya. Mereka yang terlibat kejahatan sepantasnya diperlakukan buruk sebagai balasannya. Ini terkait keadilan.

Apa yang dikemukakan Bentham itu dikenal sebagai retributivisme. Teori ini menganjurkan seseorang dikenai siksaan tanpa perolehan kebahagiaan. Teori ini memang sempat mengundang kontroversi karena siksaan hanya akan menambah orang-orang yang menderita. Namun, hal itu kemudian bisa dimaklumi lantaran yang menanggung penderitaan itu adalah orang-orang yang sebelumnya berbuat jahat.

Satu hal yang harus digarisbawahi dari teori ini adalah hukuman bagi penjahat bakal menolong untuk mencegah kejahatan atau minimal mengurangi tindakan kriminal di masyarakat. Pendek kalimat, sanksi yang sesuai bagi ubermensch adalah siksa dunia itu sendiri. Kemudian, yang dibutuhkan, di antaranya, penjara yang membikin sengsara, hukuman berat tanpa pandang bulu, menjatuhkan kehormatannya sampai lumpur nista terkotor, hingga pemiskinan yang membuat hidup terasa hampa.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin penjara bisa bikin sengsara jika faktanya masih bisa pelesiran ke luar rumah tahanan? Kalau hukum masih bisa dinegosiasi, para ubermensch ini masih nyaman hidup di Indonesia. Mereka kian kerasan hidup di Indonesia dan kian yakin bahwa melulu duniawi adalah hakikat nilai hidup. Kemudian, yang terjadi, satu Gayus diberangus, ”Gayus-Gayus” lain tumbuh lebih cepat! Dan, Malinda seolah derivatif Gayus. Lalu, siapa lagi setelah Malinda?

Toto Suparto Peneliti di Puskab Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan