Gayus dan Reformasi Birokrasi Perpajakan

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, belanja negara yang dibiayai dari penerimaan perpajakan telah mencapai 71 persen. Sebaliknya, porsi pembiayaan dari utang luar negeri kian menyusut. Betapa perpajakan kian penting— yang menunjukkan bahwa kita semakin mandiri—terlihat juga dari porsinya yang mencapai 78 persen dari keseluruhan penerimaan negara.

Namun, apabila ditilik dari indikator nisbah pajak atau tax ratio (persentase penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto) yang hanya 12,4 persen, pencapaian sejauh ini masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Reformasi perpajakan dan reformasi birokrasi yang menyertainya dalam empat tahun terakhir tampaknya belum berimbas pada peningkatan nisbah pajak.

Apakah terbongkarnya manipulasi pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan akan membuka tabir misteri di balik nisbah pajak yang seakan jalan di tempat? Agaknya terlalu prematur untuk serta-merta mengambil kesimpulan sekadar dari kasus Gayus Tambunan.

Belum cukup data yang bisa kita peroleh untuk memperkirakan berapa besar potensi penerimaan pajak yang tercecer akibat kongkalikong Gayus Tambunan dan jaringannya dengan pengusaha yang mengajukan keberatan hingga diproses di Pengadilan Pajak.

Direktorat Jenderal Pajak sudah barang tentu memiliki data lengkap dan terinci. Walaupun demikian, untuk membangun kembali kepercayaan publik, alangkah elok jika Menteri Keuangan membentuk tim independen untuk mengungkapkan magnitude persoalan serta melakukan evaluasi menyeluruh atas personalia dan mekanisme kerja Direktorat Jenderal Pajak dan perangkat penunjangnya, seperti Pengadilan Perpajakan, dan pengawasan internal ataupun pengawasan eksternal.

Tim independen ini nantinya akan menyampaikan rekomendasi bagi penguatan organisasi dan kelembagaan perpajakan. Kita menghargai apa yang telah dilakukan Kementerian Keuangan untuk memelopori reformasi birokrasi. Hasilnya sudah mulai tampak. Jumlah pembayar pajak terdaftar ataupun jumlah yang melaporkan surat pemberitahuan naik pesat.

Pelayanan jauh lebih baik, pembayar pajak yang ”patuh” diperlakukan lebih baik lagi. Ada juga kantor pelayanan pajak yang menjadi model, semisal large taxpayer office, yang tak lagi kita dengar melakukan tindakan-tindakan tak terpuji.

Ternyata, dengan berjalannya waktu, kita disadarkan betapa masih banyak agenda reformasi yang belum tersentuh. Mungkin masih lebih banyak pekerjaan rumah yang tersisa ketimbang apa-apa yang telah dibenahi.

Fungsi perpajakan

Pertama, ihwal desain organisasi. Pada ”Analisis Ekonomi” 16 Juli 2007, penulis mengajukan saran agar fungsi-fungsi pemerintahan yang sangat khas dan strategis perlu dikeluarkan dari struktur organisasi pemerintahan umum.

Penulis memandang fungsi perpajakan tergolong sangat khas dan strategis, seperti perbankan dan lembaga keuangan nonbank, termasuk pasar modal. Untuk yang terakhir ini sudah ditampung di dalam kerangka Otoritas Jasa Keuangan, yang menurut undang-undang harus hadir pada tahun ini juga.

Untuk fungsi perpajakan, ada baiknya dikeluarkan dari struktur organisasi Kementerian Keuangan. Mungkin digabung dengan fungsi bea dan cukai.

Bisa saja pemimpin badan khusus ini—katakanlah bernama Badan Penerimaan Negara—bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan. Dengan lembaga khusus demikian, aturan kepegawaian, termasuk perekrutan, dan penggajian lebih fleksibel.

Kedua, lembaga negara apa pun sepatutnya tunduk pada prinsip checks and balances, tidak steril dari pengawasan eksternal, dan tidak dikecualikan dari prosedur standar pengawasan internal. Badan Pemeriksa Keuangan atau inspektorat jenderal memiliki akses penuh, tetapi tetap menjaga kerahasiaan data pembayar pajak.

Ketiga, memutus lingkaran vested interest dan solidaritas korps, yang terasa masih cukup kental di kalangan aparat perpajakan. Mungkin masih ada lapisan yang masih cukup kuat bertengger di comfort zone, yang merupakan warisan masa lalu.

Jejaring ini harus diputus total sampai ke jajaran tertinggi, kalau perlu sampai ke direktur jenderal sekalipun. Pada waktu bersamaan, generasi baru yang masih belum tercemar perlu disterilkan.

Masih terkait dengan pemutusan jejaring, dualisme pengadilan perpajakan sepatutnya diakhiri. Perekrutan hakim perpajakan harus lebih terbuka, tidak seperti sekarang yang didominasi oleh aparat atau pensiunan Direktorat Jenderal Pajak.

Terakhir, menumbuhkan kesadaran kuat pembayar pajak akan hak-haknya. Masyarakat sipil yang sadar pajak tak hanya sebatas patuh membayar pajak, tetapi juga tak gentar menyuarakan hak-haknya sebagai pembayar pajak dalam menentukan arah perjalanan bangsanya.

Sudah saatnya hadir asosiasi pembayar pajak (taxpayer association) sebagai wadah untuk memperkukuh perjuangan kolektif pembayar pajak sehingga tidak gentar menghadapi gertakan atau ulah oknum seperti Gayus.[Oleh FAISAL BASRI]
Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan