Gayus, 1001 Malam

Schererazad tak jadi dibunuh menjelang subuh karena ia menjanjikan sambungan hikayat yang baru dan menarik setiap malamnya. Ia lolos dari hukuman mati.

Raja Sahryar, suami sekaligus orang yang ingin menghukumnya, akhirnya ”kalah”. Masih ingat hikayat Kisah 1001 Malam? Di minggu ketika kepergian Gayus HP Tambunan kembali diributkan, @TodungLubis berkicau di twitterland. Ia mengingatkan saya tentang hikayat lawas itu. Gayus tentu tak bisa disamakan dengan Schererazad atau Shahrastini. Namun, cerita-cerita ”petualangan” Gayus ke Bali, Singapura, Makau, Kuala Lumpur, atau ke mana pun dalam hitungan 68 kali masuk-keluar tahanan polisi memberikan hikayat yang selalu baru bagi kita.

Bukan sekadar cerita dan foto-foto tentang Gayus yang bercelana pendek di tepi pantai atau bersama teman-temannya di sebuah tempat mirip kafe malam. Bukan juga sekadar obrolan tentang Gayus menonton tenis dan kebetulan ada petinggi parpol berada di tempat dan waktu yang sama. Gayus menyuguhkan realitas betapa compang-campingnya moralitas penegak hukum kita. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak ini juga memperlihatkan wajah asli pemimpin politik yang kebanyakan pidato, tetapi gagal secara konkret memimpin perang terhadap mafia hukum.

Kisah Gayus bermula dari rekayasa, berujung pada vonis bebas di Pengadilan Negeri Tangerang. Seorang advokat menjadi perantara sentral aliran uang dari Gayus kepada perwira dan penyidik Polri, jaksa, serta hakim. Uang dari mana? Mudah saja. Kas pegawai pajak ini berisi ratusan miliar rupiah, yang saban waktu disumbangi jutaan dollar AS oleh perusahaan pengemplang pajak. Kasus Rp 25 miliar ini belum tersentuh hingga kini. Persidangan yang digelar sangat mengkhawatirkan. Ia bisa sekadar menjadi kamuflase dari serangkaian rekayasa baru yang dilakukan.

Dua dimensi
Rekayasa baru pada kasus Gayus dalam pengawasan publik yang begitu masif? Mungkin saja. Coba cermati keterangan kuasa hukum Gayus, Adnan Buyung Nasution. Dalam satu kesempatan ia mengatakan, bahkan dalam persidangan kasus pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) yang dituduhkan kepada Gayus saat ini, masih ada upaya ”memaksa” pihak bank memberi keterangan bahwa uang Gayus masih ada di sana.

Padahal, ketika dikonfrontasi di pengadilan, pihak bank bilang hanya disodori berkas oleh penyidik dan harus menandatangani meski akhirnya isi berkas tersebut disangkalnya. Penegakan hukum seperti apa ini? Rekayasa di atas rekayasa?

Kita jengah saat cerita baru tentang Gayus bermunculan justru dari sisi-sisi yang tak begitu ”penting”. Tanpa mengecilkan arti kasus kaburnya Gayus ke Bali dan beberapa kota lain di Asia, saya khawatir ini hanya akan semakin menyita dan mengalihkan fokus pada mafia yang lebih besar. Dalam logika lebih ekstrem, beberapa pihak mulai menyuarakan kegundahan bahwa alur kasus Gayus mulai dimainkan para mafia.

Poin paling krusial, kasus ini perlu dikembalikan ke dua dimensi penting, yaitu dimensi mafia pajak dan mafia hukum. Dari sinilah bisa diurai kembali sejauh mana penanganan kasus Gayus sudah tersesat di belantara tarik-menarik kekuatan mafia. Konsekuensi dari dua dimensi kasus ini adalah soal fokus yang mau tidak mau harus terarah pada Ditjen Pajak, baik sisi birokrat maupun perusahaan yang bermain pajak. Fokus kedua, tentu saja institusi penegak hukumnya.

Untuk mafia pajak, baru satu kasus receh ditangani, yakni kasus PT SAT senilai Rp 570,95 juta. Belum kita dengar hingga kini upaya Ditjen Pajak meninjau ulang setidaknya pajak pihak-pihak yang memberikan uang total Rp 28 miliar kepada Gayus, apakah itu wajib pajak (WP) Roberto (Rp 925 juta), PT Megah Jaya (Rp 370 juta), atau tiga perusahaan dari Grup Bakrie (3 juta dollar AS).

Telaah ulang terhadap perusahaan-perusahaan yang mencurigakan itu penting bukan hanya untuk membongkar satu kasus, tetapi juga sangat berarti untuk pemasukan keuangan negara. Namun, ini tak mudah bagi Ditjen Pajak. Pasalnya, saat institusi ini menyidik pidana pajak, kasusnya cenderung sulit menembus dinding kejaksaan sebagai pihak penuntut. Kasus Asian Agri adalah contoh konkret. Apalagi, kita juga bicara tentang institusi kejaksaan yang belum diyakini bersih dari praktik mafia. Namun, itu tak bisa menjadi alasan.

Saat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum diganti, sempat terjadi upaya koreksi regulasi internal setelah terguncang kasus Gayus. Salah satunya, klausul bunga 2 persen per bulan dari uang yang dititipkan pada negara yang harus dibayarkan kepada WP jika negara kalah di pengadilan. Jika sebelumnya ada kewajiban WP menitipkan 50 persen nilai pajak yang ditetapkan Dirjen Pajak sebagai syarat maju ke pengadilan pajak, saat ini WP cukup menitipkan uang sebesar nilai pajak yang dia akui.

Konsekuensi klausul ini jelas sangat penting. Dari tren kekalahan negara terhadap WP yang sangat tinggi, mencapai 76,1- 87,5 persen tahun 2002-2008, kita bisa bayangkan pengurasan uang negara hanya dari pasal tentang denda 2 persen per bulan itu. Apalagi, nilai sengketa pajak sangat tinggi, bisa dalam hitungan ratusan miliar atau triliunan rupiah. Pascakoreksi kebijakan, negara setidaknya tak perlu membayar denda 2 persen dari selisih uang titipan WP dikurangi nilai diakui.

Evaluasi ke dalam itulah yang perlu dilakukan, selain penegakan hukum terhadap para pengemplang pajak. Selain menjadi tugas Dirjen Pajak, hal ini tentu juga harus menjadi prioritas Menteri Keuangan atau bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini terutama untuk memberikan intensi pada Kementerian Keuangan dan menghilangkan hambatan- hambatan institusional antara Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Agung dalam hal ada upaya untuk menyidik pidana pajak perusahaan-perusahaan nakal itu.

Di titik ini, terlihat pidato dan peringatan yang disampaikan Yudhoyono tentang mafia pajak terasa tak bermakna dan tak konkret jika Presiden tak serius memerintahkan Jaksa Agung dan Dirjen Pajak melakukan koordinasi dan memastikan pada publik bahwa penyidikan di Ditjen Pajak tidak boleh terhambat di Kejaksaan Agung. Adakah hal itu dilakukan? Kita masih hanya mendengar pidato. Bukti konkret seperti kasus pajak Asian Agri bahkan masih menggantung di kejaksaan meskipun sudah hitungan tahun diserahkan penyidik pajak.

Di sisi mafia hukum, tentu peran Presiden sebagai puncak eksekutif yang membawahi kepolisian dan kejaksaan sangat penting. Wajah Yudhoyono dalam penegakan hukum dan pemberantasan mafia harus dilihat dari wajah dua institusi ini. Bukan hanya untuk menjerat para perwira yang terlibat dan menghentikan rekayasa berlapis dalam kasus Gayus, tetapi juga memastikan remunerasi dalam paket reformasi birokrasi di Polri tak sia-sia. Tak hanya menghasilkan klaim bersih dan antikorupsi, yang ternyata terbukti runtuh dan compang-camping saat Gayus ”bercerita” dalam hikayat 1001 malamnya. Hikayat tentang betapa korupnya kita.

Febri Diansyah,  Peneliti ICW; Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan

Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan