Gawat Darurat Hukum

GUS DUR turun gunung lagi. Didorong di atas kursi roda, guru bangsa kita itu memberi jaminan penangguhan penahanan sekaligus dukungan untuk Bibit Samad Riyanto-Chandra M. Hamzah. Ini agar dua pimpinan lembaga pengusut korupsi itu tak gentar dengan masalah hukum yang dihadapi.

Kesehatan Gus Dur sebenarnya lagi kurang prima sekarang ini. Jadi, aksi turun gunungnya pasti dilakukan dengan sangat terpaksa. Emergency. Hukum di negeri ini lagi sakit dan sedang parah-parahnya.

Hukum yang sakit akan sangat sulit untuk memberikan rasa keadilan bagi pencarinya. Sebab, si Hukum pastilah sangat sibuk dengan rasa sakitnya sendiri. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa pentingnya suport yang sebenarnya lagi diupayakan Gus Dur, orang yang mestinya beristirahat karena juga harus dirawat kesehatannya.

Berbicara hukum dan keadilan, Indonesia ini tak ubahnya sebuah rumah sakit raksasa. Pasiennya menumpuk di mana-mana, bangsalnya penuh, ruang UGD-nya diantre calon pasien hingga panjangnya. Belum tertangani kasus penculikan aktivis dan kerusuhan 27 Juli '96 sudah disusul para pencari keadilan korban peristiwa Mei '98. Skandal BLBI belum tuntas sudah disusul skandal Bank Century. Dalam bahasa rumah sakit, rombongan muntaber masih diopname, sudah datang barisan pasien demam berdarah dan lumpuh tulang akibat chikungunya. Darurat, massal, kontinu pula.

Dalam keadaan darurat sebenarnya kita tetap harus tenang. Tidak gugup, tidak ngawur. Ketenangan akan membuat kita jauh dari kepanikan, ketidakpanikan akan menjaga kejernihan dalam melihat inti persoalan. Jelasnya, inti persoalan akan mempermudah dalam mendiagnosis mana kebenaran dan mana kesalahan. Agar, keluar keputusan hukum yang memberikan rasa keadilan. Begitulah urut-urutannya. Maka, ketika Gus Dur terpaksa turun gunung, guru bangsa hanya memberi pesan singkat saja: KPK harus fokus pada kasus Bank Century!

Kalau ditarik lagi ke belakang, kasus Bank Century bermula dari ditemukannya dugaan malpraktik penyuntikan Rp 6,7 triliun oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Laporan Badan Pemeriksa Keuangan juga mencatat indikasi adanya keterlibatan Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji.

Mengapa uang Rp 6,7 triliun bisa dikucurkan, sementara aset Bank Century tak lebih dari Rp 2 trilun? Mengapa Susno diduga terlibat? Adakah orang lain di balik Susno? Ke mana uang triliunan rupiah itu selanjutnya mengalir? Siapa penerimanya, dan dihabiskan untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang oleh Gus Dur disebut sebagai fokus pada inti persoalan dan harus segera ditemukan jawabnya.

Sayangnya, kasus Bank Century kini telah kepalang merantak ke mana-mana dan kita seperti dalam proses melupakan intinya. Kalau dicermati, proses agar sebuah kasus menjadi bias dan lama-lama kabur, kita punya modus dan gaya yang sangat khas.

Pemutaran CD rekaman transaksi antara Anggodo Widjojo dan para penegak hukum dan kolega-koleganya adalah "Soundrenalin" yang menenggelamkan gaung kasus Bank Century itu sendiri. Padahal, praktik rekayasa seperti itu tak hanya terjadi di KPK dan bukan kali ini saja. Memang, seperti itulah wajah peradilan yang sesungguhnya di negeri kita. Gampang disetir, dibeli, dan asal ada uang, semua bisa direkayasa.

KPK kini krisis dan mandek. Jangankan mengurus kasus korupsi dengan fokus, eksistensinya pun lagi dilemahkan dengan berbagai cara.

"Kasus bank Century adalah skandal terbesar di Indonesia setelah reformasi," kata Gus Dur. Jangan-jangan, di balik pertarungan cicak dan buaya sekarang ini, juga ada komodo di baliknya. Siapa?(*) Oleh: Leak Kustiya

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan