Faktor Kepemimpinan Dalam Pemberantasan Korupsi

SUKA tidak suka, korupsi -- juga kolusi dan nepotisme -- sudah menjadi trade mark negeri ini. Ibarat penyakit, kondisinya sudah demikian kronis dan berdaya tular cepat, sedangkan terapi penyembuhannya masih jauh dari harapan. Begitu mengakarnya korupsi, ia diyakini merupakan pemegang saham terbesar bagi keruntuhan perekonomian Indonesia. Sejak era reformasi bergulir, memang tidak sedikit praktik korupsi yang berhasil dibongkar. Kasusnya pun, dari kelas teri hingga kelas kakap, banyak yang sudah disidangkan. Di antara pelaku, bahkan ada yang sudah menghuni penjara kendati tetap masih lebih banyak yang berkeliaran di luar.

Selain belum memberikan rasa keadilan dalam penegakan peraturan dan penerapan sanksi hukumnya, penyebaran virus korupsi faktanya memang tak mudah dicegah. Formula pencegahannya seakan tak kuasa membendung. Kalaupun formula itu terbilang ampuh, namun ia tidak efektif diterapkan sehingga yang terjadi, sementara proses hukum berjalan atas satu-dua kasus korupsi produk masa lalu, virus ganas itu tanpa sadar telah menjangkiti dan menciptakan epidemi dengan menyeret pelaku-pelaku baru.

Korupsi memang tidak mengenal ruang dan waktu. Ia bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja. Di Indonesia sendiri, praktik korupsi ditengarai sudah berlangsung sejak periode awal penjajahan Belanda. Terjadinya dipicu kuat oleh tindakan pemerintahan Kompeni Hindia Belanda yang sengaja membayar rendah gaji pegawai tata praja, dengan harapan si pegawai akan menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk melakukan urusan pribadi. Setelah Indonesia merdeka, korupsi justru kian merajalela. Mulai meruyak di pengujung Orde Lama, merembet ke tahun-tahun awal Orde Baru, menggurita di pengujung Orde Baru, dan makin mengganas di era reformasi. Dengan beragam bentuk, korupsi terus terjadi dan sukses menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
**

BERBAGAI upaya memberantas korupsi sebenarnya telah coba dilakukan, antara lain lewat pembentukan badan-badan yang khusus bertugas menyelidiki tuduhan-tuduhan korupsi. Sejarah mencatat jurus ini sudah dipraktikkan sejak masa awal Orde Baru. Untuk meredam kritik terhadap maraknya korupsi di jajaran birokrasi, Soeharto membentuk sebuah badan dengan nama Pengatur Keuangan Negara (Pekuneg) pada 1966. Setahun kemudian, menyusul dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi serta Komisi Empat pada 1970. Masalahnya, selama bertugas, badan-badan tersebut praktis tidak memberikan hasil cemerlang.

Selain hanya mampu menjerat koruptor kelas teri, juga karena hasil kerja badan-badan itu -- terutama rekomendasi-rekomendasi Komisi Empat pimpinan Wilopo S.H. -- tidak pernah disetujui untuk dipublikasikan. Lahirnya UU Antikorupsi beberapa waktu kemudian, juga tidak mengubah keadaan. Peraturannya ada, sanksi hukum tersedia, tetapi korupsi tetap melenggang. Inilah bukti, pemerintah tidak pernah serius dan sepenuh hati untuk memberantas korupsi.

Setelah Soeharto lengser, pemerintahan baru memang memperlihatkan komitmen kuat untuk (kembali) membasmi korupsi. Ini dilandasi fakta, korupsi sangat potensial merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan, bisa membahayakan eksistensi negara itu sendiri. Secara eksplisit, komitmen tersebut ditunjukkan lewat pemberian mandat kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme/KKN (Lihat, Tap MPR No. XI/MPR/1998, UU No. 28/1999, dan UU No. 31/1999 yang khusus mengatur tentang pemberantasan korupsi).

Paralel dengan itu, kepada presiden diberikan mandat untuk membentuk komisi pemeriksa yang berfungsi mencegah praktik KKN. Komisi ini punya tugas dan wewenang melakukan pemantauan dan klarifikasi terhadap harta kekayaan penyelenggara negara, meneliti laporan dan pengaduan masyarakat, LSM maupun instansi pemerintah. Atas inisiatif sendiri, komisi juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap kekayaan para penyelenggara negara, mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi, dan meminta bukti kepemilikan yang diduga diperoleh dari hasil KKN selama yang bersangkutan menjabat sebagai penyelenggara negara.

Pada era kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid diterbitkan Keppres No. 127/1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Komisi ini resminya independen karena dalam bertugas bebas dari pengaruh lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, belum lagi terlihat hasilnya, KPKPN rencananya akan dibubarkan menyusul terbitnya UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), yang saat ini tengah memasuki proses seleksi untuk merekrut anggotanya. Komisi ini diarahkan menjadi lembaga super body yang memiliki kewenangan besar dalam pemberantasan korupsi.

Kita memang masih perlu menunggu, seperti apa dan seberapa efektif kerja KPTPK nanti. Apakah mampu menjaring koruptor kelas kakap atau tetap saja kelas teri seperti hasil kerja komisi antikorupsi produk masa lalu. Lepas dari itu, lahirnya berbagai peraturan dan komisi-komisi tersebut sebenarnya cukup menjelaskan kuatnya komitmen pemerintah reformasi untuk memberantas korupsi. Masalahnya dan ini ironisnya, jika di satu sisi pemerintah terkesan menunjukkan komitmen kuat untuk memberantas korupsi, di sisi lain penyelenggara negara sendiri seringkali justru larut dalam eforia yang permisif terhadap tindak korupsi.
**

BANYAK kritik berkaitan dengan meluasnya korupsi di era reformasi. Dari sebatas menyoal ketidakjelasan konsep korupsi, lemahnya peraturan perundangan (terlalu banyak celah dan kelemahan yang bisa dimanfaatkan koruptor), hingga inkonsistensi dalam penegakannya. Kritik juga menunjuk longgarnya kontrol sosial masyarakat, di samping kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat sendiri terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tidak kalah penting, ada kritik yang mengaitkan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia pejabat yang, antara lain, disebabkan oleh lemahnya sistem kepegawaian. Sistem pendidikan nasional juga dinilai kurang menekankan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya.

Dengan perspektif berbeda, ada kritik lain yang cenderung menyalahkan ciri masyarakat Indonesia yang masih belum demokratis, masih rendahnya komitmen penegakan hukum oleh pejabat tinggi, yang semakin diperparah dengan fakta tentang rendahnya keteladanan dari para pemimpin untuk hidup bersih dari korupsi serta menonjolnya pola hidup sementara pejabat yang lebih besar pasak daripada tiang. Realitas ini semakin meneguhkan sinyalemen bahwa korupsi memang erat kaitannya dengan masalah sosial, budaya, dan struktural.

Melihat begitu kompleks permasalahan korupsi di Indonesia dibutuhkan suatu tindakan yang bersifat luar biasa (extraordinary efforts) untuk membasminya. Akan tetapi, menurut hemat saya, langkah awal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki terlebih dahulu citra dan perilaku para pemimpin. Asumsinya, memberantas korupsi harus bersifat top down, dari atas ke bawah. Korupsi tidak mungkin diberantas hanya dengan ucapan, tetapi juga harus dengan contoh nyata dari pemimpin pemerintahan dimulai dari tingkatan yang tertinggi. Tentu saja, keteladanan itu harus didukung dengan penegakan hukum secara konsisten dan sungguh-sungguh, yang ditunjang dengan perbaikan sistem pendidikan dan lingkungan.

Sementara itu, melihat lemahnya kinerja badan/komisi antikorupsi selama ini, saya berpendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-lah yang perlu diberi wewenang polisional untuk melakukan tugas hingga ke tingkat penyelidikan dan penyidikan. Namun, jika tidak memungkinkan, perlu dibentuk badan antikorupsi (anticorruption agency) baru yang juga diberi kewenangan polisional. Mungkin semacam KPTPK yang saat ini tengah digodok. Tidak seperti badan/komisi antikorupsi yang selama ini lebih menyerupai macan kertas karena tak punya kewenangan menyelidiki dan menyidik. Sudah pasti, perlu terlebih dulu dilakukan kajian mendalam agar pemberian wewenang itu tidak berbenturan dengan eksistensi institusi kepolisian dan kejaksaan.

Yang pasti, belajar dari sukses pemberantasan korupsi di Singapura dan Malaysia, keberadaan suatu badan yang memiliki wewenang polisional untuk menangani korupsi memang sangat dibutuhkan. Di sana, badan ini terpisah dari institusi kepolisian maupun kejaksaan. Anggotanya adalah figur-figur pilihan yang telah lolos seleksi ketat dengan, antara lain, menimbang berbagai kualifikasi termasuk aspek moralitasnya. Kepada mereka juga diberikan gaji khusus (sangat baik) yang mampu meredam godaan materi dari pihak-pihak yang berperkara.

Di luar itu, upaya lain yang harus dilakukan adalah mewujudkan transparansi di semua kegiatan pemerintahan. Salah satu caranya menerapkan sistem komputerisasi di departemen-departemen, khususnya di sektor perpajakan dan bea cukai. Ini penting untuk mencegah kebocoran maupun kecurangan seperti penipuan atau sogok-menyogok karena mudah dipantau. Tentang ini, kita bisa belajar dari Thailand. Ketika PM Thaksin Shinawatra masuk pemerintahan, bisa dibilang, tidak sesen pun uang di kas pemerintah. Akan tetapi, hanya dalam 2,5 tahun negara itu sudah surplus anggaran dan mampu membayar utang kepada IMF. Rahasianya? Antara lain, melaksanakan komputerisasi di departemen-departemen dilanjutkan dengan membersihkan semua BUMN dari pejabat korup.

Berbarengan dengan upaya-upaya tadi, tidak kalah penting melakukan pengawasan secara intensif dan efektif terhadap bidang-bidang yang rawan korupsi. Dalam hal ini, peran serta aktif masyarakat dalam melakukan pengawasan sangat dibutuhkan. Fungsi kontrol sosial oleh masyarakat terasa semakin urgen, terlebih-lebih di era otonomi daerah sekarang ini sebab dilakukannya pelimpahan wewenang yang lebih besar kepada daerah tingkat II (kabupaten/kota) di era otonomi, pada gilirannya telah pula menandai migrasi virus korupsi dari pusat ke daerah.

Jadi? Tidak ada jalan lain. Untuk memangkas meluasnya praktik korupsi dibutuhkan tekad dan keberanian dari seluruh warga bangsa untuk menutup setiap peluang yang terbuka bagi terjadinya korupsi. Termasuk, jika perlu, dengan mengamandemen undang-undang yang belum sesuai kebutuhan. Pada titik ini, sekali lagi, kepemimpinan yang kuat dan berwibawa merupakan faktor dominan yang menentukan hasil akhir. Jelasnya, pemimpin harus mampu mengajak diri sendiri dan rakyatnya untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.(LETJEN (PURN.) PRABOWO SUBIANTO, mantan Panglima Kostrad, kini aktif sebagai wiraswastawan.)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Senin, 29 September 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan