Evaluasi Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai upaya memberantas korupsi di Indonesia laksana langkah antiteori dalam permainan catur. Suatu langkah kejut (shocking move), yang sepertinya bagus, tapi tidak benar menurut sistem. Tindakan demikian memang khas Indonesia, karena salah satu karakter negatif manusia Indonesia adalah tidak serius memikirkan dan mendesain suatu tindakan melalui studi sistemik, mendalam, dan komprehensif. Reaktif, instan, dan asal jadi, itulah ciri khas tindakan kepemerintahan Indonesia di semua sektor, yang merupakan penyebab bangsa ini nista dan terlunta.

Setelah delapan tahun KPK berdiri, dua periode kepemimpinan, sudah sepatutnya ada evaluasi komprehensif dan obyektif terhadap capaian KPK dalam memberantas korupsi. Sudahkah KPK mencapai hasil yang dititahkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang menentukan KPK mengemban amanah: a) berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b) melaksanakan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d) melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pembahasan tentang pelaksanaan wewenang KPK yang dimaksud pada Pasal 6 UU KPK sangatlah luas, tidak mungkin dilakukan secara komprehensif dalam tulisan singkat ini. Namun dapatlah dinukilkan fakta sebagai rujukan capaian KPK selama ini.

Dari lima wewenangnya, KPK cukup sukses melaksanakan wewenang ketiga, yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang ditanganinya sendiri. Namun, dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK dapat dibilang gagal.

Dalam kiprahnya, KPK telah menorehkan hubungan tegang (disharmoni) dengan kejaksaan dan kepolisian, kasus Anggodo, Bibit-Chandra, serta Antasari Azhar, yang dapat dirujuk sebagai contoh sekaligus bukti adanya hubungan disharmonis antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Dalam soal supervisi, KPK belum merilis data berapa kasus korupsi yang disupervisinya di kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam logika nalar, sungguh sulit melakukan supervisi dalam suasana hubungan yang disharmonis.

Selanjutnya, dapat dikatakan KPK sangat jeblok dalam mengeksekusi wewenang keempat: melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Kendati belum ada data akurat, masyarakat luas merasakan sejak lahirnya KPK, pola tindak korupsi di Indonesia tidak lagi berfokus di simpul-simpul birokrasi, melainkan menyebar ke lembaga swadaya masyarakat. Sebab, LSM meminta "jatah" sebagai imbalan tutup mata dan mulut terhadap perilaku korup penyelenggara negara dan pelaksana proyek. Maka lahir pola korupsi berjemaah.

Karena itu, kalau saat ini ada LSM yang berteriak tentang adanya korupsi di suatu proyek atau instansi, jangan buru-buru percaya bahwa LSM itu berteriak karena jujur hendak memberantas korupsi. Tapi dapat dibaca LSM tersebut sedang berupaya memeras pelaksana proyek atau instansi pemerintah yang sedang ia obok-obok. Dampaknya, saat ini berkembang pesat LSM hitam, yang kerjanya memeras penyelenggara negara atau pelaksana proyek.

Akibatnya, agregat uang negara yang dikorup melonjak tajam, tidak lagi sekitar 30 persen sebagaimana asumsi Sumitro Djojohadikusumo beberapa dekade lalu. Selanjutnya, dalam logika matematis, jumlah uang negara yang dikorup saat ini sangat tidak sebanding dengan jumlah uang negara yang dapat diselamatkan KPK. Itu pun belum dikalkulasi dengan anggaran KPK yang proporsinya paling tinggi dibanding anggaran penegak hukum lainnya.

Selain kelahirannya melahirkan pola korupsi berjemaah, sampai saat ini KPK belum memiliki pakem metodologis yang jitu untuk mencegah tindak korupsi (berjemaah). Sampai saat ini, pakem yang diterapkan KPK adalah bannering punishment melalui metode catching the big fish. Menangkap pelaku besar, menghukum pelaku, lalu mempublikasikannya dengan harapan menimbulkan deterrent effect (efek pencegah) dan efek jera.

Metode bannering punishment secara akademis sangat diragukan efektivitasnya, terutama bila dikaitkan dengan tipe-tipe pelaku pidana secara kriminologis. Bukti empiris pembandingnya: banyaknya pelaku kejahatan narkotik yang dijatuhi hukuman mati, dan beberapa telah dieksekusi, ternyata tidak membuat tindak pidana narkoba berhenti, atau berkurang, justru bertambah dengan berbagai modus operandi baru. Apalagi sampai saat ini belum ada pelaku korupsi yang ditangani KPK yang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi!

Dalam upaya pencegahan, KPK pernah memelopori pembentukan "Warung Kejujuran". Tapi sayang, metode warung "Warung Kejujuran" lenyap tak berumur panjang. Ini membuktikan KPK tidak memiliki jurus jitu mencegah korupsi, upayanya yang dilakukan sebatas coba-coba.

Selanjutnya, sebagai bagian dari upaya pencegahan, wewenang KPK kelima adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu wujudnya menjaring Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Namun apakah LHKPN efektif untuk mencegah korupsi? Sulit diverifikasi. Apalagi sangat diragukan KPK melakukan verifikasi awal dan akhir terhadap LHKPN yang diserahkan penyelenggara negara. Sampai saat ini belum ada data penyelenggara negara yang menjadi terdakwa KPK, karena jumlah harta kekayaannya melonjak tajam selama dia memangku jabatan publik. Lantas untuk apa tumpukan LHKPN di KPK?

Dari catatan di atas, kita pantas prihatin terhadap kegagalan KPK selama ini. Padahal pemberantasan korupsi bukanlah sesuatu pekerjaan muskil bila dilakukan dengan pendekatan sistemik (systemic approach) ilmu hukum. Sebab, korupsi dapat dihapus dengan memutus mata rantainya. Cara memutus mata rantai korupsi sebetulnya sudah sedikit tergambar dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. Kegagalan KPK mengeksekusi wewenangnya secara baik dan efektif selama delapan tahun ini seyogianya menjadi perhatian bagi Dewan Perwakilan Rakyat yang sedang membahas amendemen UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, dan bagi Panitia Seleksi Pimpinan KPK periode ketiga.

Amendemen UU KPK seharusnya membuahkan harmonisasi norma dengan undang-undang terkait, mengharmoniskan hubungan KPK dengan penegak hukum lain, memposisikan KPK secara tepat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, juga dalam sistem peradilan pidana yang terbingkai dalam integrated criminal justice system.

Bagi Pansel Pimpinan KPK, catatan kecil ini seyogianya menjadi masukan untuk menjaring pemimpin KPK ke depan yang profesional dan berintegritas. Ciri pemimpin KPK yang profesional dan berintegritas adalah mampu menghapus korupsi di Indonesia dalam waktu kurang dari empat tahun masa kepemimpinannya. Bukan justru terlibat dalam kasus hukum. Untuk itu, pemimpin KPK di masa mendatang harus memiliki smarter concept dan extra executorial power. Hanya dengan modal itu, diharapkan pemimpin KPK ke depan dapat mengemban dan memahami roh extra ordinary power yang diemban KPK.
Bahrul Ilmi Yakup, ADVOKAT, KETUA ASOSIASI ADVOKAT KONSTITUSI, ANGGOTA INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 10 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan