Esensi Membuka Rekaman di MK

ADA sisi lain yang bagi para penggelut dunia hukum terasa mengganjal dari proses persidangan dengan agenda mendengarkan rekaman percakapan tentang dugaan kriminalisasi KPK kemarin. Agenda sidangnya sendiri sebenarnya adalah menilai apakah pasal tertentu dalam UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertentangan atau tidak dengan UUD. Dalam putusan sela, majelis MK sudah memutuskan bahwa pemberhentian petinggi KPK seharusnya setelah yang bersangkutan menjadi terdakwa.

Menkum ham Patrialis Akbar kepada wartawan menyampaikan, pembukaan rekaman itu tidak ada hubungannya dengan kinerja MK yang menguji UU. Tidak ada substansi di rekaman tersebut yang berhubungan dengan ketentuan pasal UU yang diuji. Jadi, mestinya MK tidak membuka rekaman tersebut ke publik.

Secara substansial, apa yang dilakukan MK itu adalah sebuah proses. Di dalam kerangka mencapai keadilan, proses itu harus dibuat terbuka, dalam arti tidak hanya menyangkut kajian prosedural akademis, tetapi juga substansi yang melatarbelakanginya. Dalam koridor hukum, ibarat disuruh memilih antara kepastian hukum dan keadilan hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) memilih keadilan hukum di dalam memeriksa perkara tersebut. Pembukaan rekaman pembicaraan itu adalah salah satu refleksinya.

Pilihan yang secara ekstrem dinilai meminggirkan aspek kepastian hukum itu bersejarah dan akan mengundang perdebatan panjang tentang pakem yang dijadikan dasar penerapan hukum di mana pun. Pilihan itu dalam waktu dekat ini, pasti menjadi bahan kajian yang tak habis-habisnya bagi para penggelut dunia hukum.

Pakem konvensional yang selama ini dianut untuk memutuskan perkara di dalam penerapan hukum adalah dengan secara seimbang dan diametral berada di antara kepastian hukum dan keadilan. Proses dan putusan yang dijatuhkan hakim peradilan mana pun, pada level apa pun senantiasa mengacu pada keseimbangan demikian. Secara sederhana putusan yang dijatuhkan adalah yang adil berkepastian hukum dan yang mengandung kepastian hukum berkeadilan.

Acuan Prosedural
Acuan prosedural di dalam kinerja sebuah lembaga (apa lagi peradilan) -termasuk MK- senantiasa dapat dirujuk berdasar kelembagaan dan aspek teknis. Dari aspek kelembagaan, keberadaan sebuah lembaga peradilan di tanah air dilahirkan dan mesti berkinerja berdasar sistem yang telah dibakukan di dalam undang-undang. Dalam hal ini, UU sebagai refleksi konstitusional dari UUD 1945 sebagai landasan konstitusi.

MK adalah lembaga peradilan yang kelahirannya didasarkan UU yang dibuat atas legitimasi UUD. Memang kinerja MK juga didasarkan UU dan sudah semestinya MK taat pada UU yang melahirkan dan mengatur (juga membatasi) kinerjanya. Dalam asas hukum di mana pun ketaatan terhadap asas ini menjadi dasar sebuah nilai kepastian hukum.

Dalam hal ini, MK tidak boleh mengingkari "ibu" yang melahirkannya, dan pergi ke alam maya (semu) yang tidak jelas parameternya. Alam maya dimaksud adalah keadilan. Bagaimanapun namanya keadilan akan senantiasa relatif, ibarat jalan tak berujung, ibarat benda tak bertimbang, dan ibarat sosok tak terukur.

Satu-satunya parameter yang bisa dijadikan dasar sekurangnya adalah kepastian hukum yang direfleksikan pada ketaatan terhadap asas yaitu "ibu" yang melahirkan berupa UU itu sendiri. Boleh diibaratkan, ketaatan terhadap UU adalah ketaatan terhadap ibu yang melahirkan.

Kalaupun sampai pada keputusan bahwa yang disampaikan oleh 'ibu' tersebut tidak sesuai dengan realita, ada prosedur yang bermakna kepastian hukum pula. Yaitu, mengubah kinerja yang sudah dibakukan berdasarkan pakem yang ada, yaitu dengan sabar melalui perubahan undang-undang dengan prosedur yang baku pula. Hal ini merupakan refleksi tanggung jawab terhadap keadilan.

Ketaatan ini bukan semata permasalahan teknis hukum. Tetapi, ini merupakan aspek kepastian hukum yang direfleksikan pada kinerja prosedural yang menjadi tujuan mendasar penerapan hukum itu sendiri. Mengabaikan aspek kepastian hukum yang tecermin pada ketaatan terhadap prosedur, bermakna sama dengan mengabaikan aspek keadilan yang dituju oleh putusan hakim.

Sesuai Kinerja
Di dalam kinerjanya MK mesti membatasi diri pada ranah hukum yang diatur dan dijabarkannya sendiri. Kinerja yang tidak bersifat multiinterpretatif bahwa di dalam fungsinya, MK mengarah kepada tiga alternatif. Pertama, ketika permohonan tidak memenuhi syarat prosedural, MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima. Maknanya masih dapat diperbaiki untuk diajukan kembali pada kesempatan berikut asal masih sesuai tenggang waktunya.

Kedua, jika aspek prosedural terpenuhi, MK menyatakan bahwa permohonan dikabulkan. Hal ini berada pada ranah hukum acara yang secara khusus juga menjadi acuan persidangan MK yang sifatnya berbeda dengan persidangan yang digelar untuk perkara perdata, apalagi pidana. Kualifikasi yang beperkara adalah pemohon dan termohon, bukan penggugat dan tergugat (perkara perdata), apalagi terdakwa atau penuntut umum (perkara pidana). Ketiga, dalam hal permohonan dikabulkan, substansinya adalah menyatakan tidak berlaku ketentuan pasal yang dimintakan uji materi.

Berdasar hal di atas, memperdengarkan suara rekaman hasil penyadapan pembicaraan telepon merupakan bagian dari proses yang mengarah kepada kinerja MK. Bahwa hal itu menjadi pintu masuk pengusutan dalam perkara pidana, menjadi konsekuensi lain yang tunduk pada ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana. Bahwa hal itu menyebabkan banyak pihak yang tersangkut, tidak harus dimaknai sebagai tindakan melampaui batas kewenangan - dan membawa konsekuensi dituntutnya majelis hakim MK.

Maknanya bahwa MK dalam proses pengungkapan keadilan substansial dapat melakukan upaya pembuktian atau mengungkap kebenaran meskipun hal itu tidak terkait langsung dengan pengujian pasal yang menjadi ranah kinerjanya. (*)

Prof Dr Samsul Wahidin SH MH , ketua Program Studi Pendidikan Doktor Ilmu Hukum Unmer Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan