"Efek Treadmill" Pemberantasan Korupsi

Sudah tujuh kali republik ini merayakan Hari Antikorupsi Internasional . Itu dihitung sejak pertama kali publik internasional merayakannya tahun 2003.

Dari tujuh peringatan itu, enam di antaranya pada masa Presiden Yudhoyono. Hal ini cukup untuk menggambarkan, seharusnya sudah ada capaian pembanding antara dulu dan sekarang yang bisa terefleksi pada Hari Antikorupsi. Pembanding antara capaian yang direncanakan tahun pertama dan tahun keenam perayaan Hari Antikorupsi.

Melalui pidato yang disampaikan menjelang Hari Antikorupsi (8/12), Presiden SBY telah menggambarkan capaian itu. Meski sejujurnya, Presiden SBY gagal memahami bahwa negeri ini telah mengalami ”efek treadmill” dalam pemberantasan korupsi. Banyak tenaga, upaya, pikiran, dan sasaran yang dibuat untuk berlari di jalur pemberantasan korupsi, tapi kita sama sekali belum beranjak dari tempat itu juga.

Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi telah dilakukan, tetapi sejujurnya belum ada pergeseran kasta pemberantasan korupsi. Pidato Presiden SBY ternyata tidak melihat di tingkat ”kualitas”, tetapi banyak tersesat di tingkat ”kuantitas”.

Capaian
Negeri ini dihiasi aneka produk hukum dan lembaga penting pemberantasan korupsi yang sayang diperlakukan ”miring”. Mulai dari Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang hingga kini paling sering dibanggakan Presiden SBY.

Inpres ini ternyata mandul dan tanpa gigi karena tidak memiliki daya jelajah memadai. Khususnya di daerah, dorongan percepatan pemberantasan korupsi melalui Inpres No 5/2004 sama sekali tak terasa.

Urusan lembaga, kita punya banyak. Mulai dari yang spesifik mengurus korupsi seperti Kejaksaan dan Kepolisian, hingga Timtas Tipikor. Semua tidak memiliki dampak menakutkan bagi para koruptor. KPK malah sempat ”dibiarkan” tersungkur oleh aktor-aktor yang tampil dengan wajah negara.

Banyaknya kepala daerah yang diberi surat izin pemeriksaan oleh Presiden SBY juga bukan hal yang dapat dibanggakan. Itu hanya menunjukkan kewajiban yang harus dijalankan dan bukan prestasi pemberantasan korupsi.

Secara capaian terukur, kita cenderung ada sedikit kemajuan, tetapi tanpa fondasi kuat. Misalkan saja Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Tahun ini, kita kembali mengalami peningkatan. Dari sekitar 2,2 pada beberapa tahun lalu, kini kita merangkak naik ke 2,8. Meski saat diukur dengan skala tertinggi 10.0, kita sungguh masih amat jauh. Bahkan, angka ini cenderung semu.

Kita terlihat pragmatis menyamakan pemberantasan korupsi dengan IPK. Karena melihat IPK adalah persepsi pelaku bisnis, maka yang banyak digedor perbaikannya hanya yang terkait langsung dengan sektor bisnis dan keuangan. Bea dan Cukai, Departemen Keuangan, dan Imigrasi berupaya diperbaiki. Sentuhan minimalis ini cukup untuk mendongkrak IPK, tetapi menyimpan ”bom waktu” berupa terbengkalainya sektor lain yang tidak langsung terkait, misalnya sektor penegakan hukum, yakni perbaikan Kejaksaan dan Kepolisian. Pragmatisme yang akhirnya harus dibayar mahal. ”Bom waktu” inilah yang ”menyerang” Bibit-Chandra, isu Cicak vs Buaya.

Pragmatisme akhirnya harus dibayar mahal. Dengan memperbaiki hal-hal yang hanya berhubungan langsung dengan IPK, tanpa memerhatikan banyak hal yang tidak berhubungan langsung, kita akhirnya tersesat. Hasilnya, kita memanen banyak problema yang mengharuskan tanggap darurat pembenahan Kepolisian dan Kejaksaan, khususnya program ganyang mafia.

Lari di tempat
Andai sadar, ada dua kendala yang menyebabkan republik ini terus berlari di treadmill.

Pertama, salah paradigma. Dalam banyak hal, negara sering menerapkan paradigma salah. Pragmatisme pendekatan terhadap IPK salah satu contohnya. Hal lain adalah perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi, tanpa membenahi struktur dan kultur.

Kedua, kurang memihak. Jika pemihakan tinggi, tidak akan ada UU Pengadilan Tipikor yang diselesaikan dengan seadanya seperti saat ini karena pemerintah dan DPR ogah-ogahan; menyelesaikan. Jika kehendak tinggi untuk memberantas korupsi, maka tidak akan ada upaya melemahkan KPK, termasuk melakukan pembatasan tidak perlu atas penyadapan. Jika memang antikorupsi, maka tidak akan ada model-model penyelesaian ”adat” perkara-perkara yang ditengarai koruptif.

Penyakit pemihakan minimalis ini yang ikut menggerogoti kualitas lembaga yang kita buat dan produk hukum yang dihasilkan. Kita banyak menghasilkan lembaga negara pengawas dengan kualitas rendah karena pemihakan minim mencari sosok berkualitas di dalamnya.

Paradigma keliru diimbuhi pemihakan yang tidak jelas menjadi menyempurna seiring kemampuan para koruptor untuk memengaruhi pihak negara atau menjebak negara untuk berpihak pada para koruptor. Dalam banyak perkara, konsep korupsi yang terjadi adalah state captured corruption. Bentuk korupsi yang menyandera negara sehingga terjadi proses legalisasi atas aneka tindakan korupsi yang dilakukan oleh negara demi para mafia. Dalam batas itulah, para mafia melakukan serangan balik dengan mudah, yang kemudian amat merepotkan upaya pemberantasan korupsi

Karena itu, jika pidato Presiden SBY menyambut Hari Antikorupsi lalu banyak mengungkap hal yang dalam versi pidato membanggakan, sebenarnya masih jauh dari hal yang bisa dibanggakan. Memang ada banyak keringat dikeluarkan, tetapi kita tetap berada di tempat itu juga.

Yang mengherankan, Presiden belum menyadari kita ada di treadmill pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan Hari Antikorupsi. Sayang.

Zainal Arifin Mochtar Pengajar FH UGM Yogyakarta, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM, Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan