Dua Paradoks Pemberantasan Korupsi

Euforia pemberantasan korupsi melanda Indonesia.

Euforia pemberantasan korupsi melanda Indonesia. Dimulai dengan aksi penangkapan Mulyana W. Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lalu sejumlah staf KPU dan kemudian Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin. Publik antusias dan memberikan apresiasi yang positif kepada KPK.

Tidak lama berselang, Kejaksaan Agung menangkapi sejumlah debitor Bank Mandiri yang dituduh macet mencicil kreditnya. Nama-nama yang ditangkap sama sekali tidak dikenal, seperti Nader Taher (PT Siak Zamrud Pusaka) serta Edison, Saiful, dan Diman Ponijan (PT Cipta Graha Nusantara).

Belum puas, Kejaksaan Agung menahan mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Wakil Direktur Utama Bank Mandiri I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking Sholeh Tasripan. Ketiganya ditangkap setelah dibuang dalam Rapat Umum Pemegang Saham PT Bank Mandiri Tbk. sehari sebelumnya. Untuk diketahui, dua kasus ini menjadi kasus hukum setelah rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Paradoks pertama.
Baik Mulyana, Nazaruddin Sjamsuddin, mantan direksi Bank Mandiri, maupun para debitor yang dituduh korup adalah tersangka kelas teri, yang oleh angin politik antikorupsi rezim sekarang hendak dijadikan etalase pemberantasan korupsi. Mereka belum tentu bersalah. Dalam kasus kredit-kredit macet di Bank Mandiri, para anggota direksi dan debitor juga belum tentu bersalah karena kredit macet lazimnya berada di wilayah bisnis dan perdata.

Dalam kasus PT Cipta Graha Nusantara, nuansa pidananya malah sangat kabur karena tiadanya kerugian negara dan kreditnya tidak macet. Dikhawatirkan, institusi-institusi penegak hukum melancarkan perang melawan korupsi sekadar mengikuti tren politik semata, sehingga kinerjanya tidak berdasar pada profesionalisme.

Institusi-institusi ini cenderung hanya mengejar tangkapan yang gampang, mengejar tersangka yang tidak memiliki basis dukungan kuat, risiko politiknya kecil, dan nilai korupsinya tidak signifikan. Implikasinya: diskriminatif.

Dalam kasus kredit macet Bank Mandiri, Kejaksaan Agung melakukan tebang pilih dalam upaya mengungkap kebenaran dugaan pidana. Seperti saya sebut di awal, yang diproses secara hukum adalah para teri. Sedangkan para kakap yang memiliki basis dukungan politik kuat lepas.

Hal seperti ini bagi saya tidak masuk akal. Ibarat nelayan menebar pukat: sekumpulan ikan kakap dan teri masuk jaring, tapi ikan-ikan kakapnya kemudian justru lolos. Logikanya, ikan terinya yang lolos, bukan kakapnya. Tapi ini yang terjadi dalam penjaringan para tersangka korupsi. Atau, mungkin baik teri maupun kakap sudah masuk jaring, tapi lantaran berhubungan dengan kekuasaan, ikan-ikan kakap harus dilepaskan lagi. Saya tak perlu menyebutkan kakap-kakap yang dilepaskan Kejaksaan Agung tersebut. Semua orang sudah tahu.

Setelah pengejaran yang dramatis (juga karena didramatisasi media massa) terhadap para tersangka korupsi untuk kasus-kasus sekarang, kini orang mulai bertanya-tanya: apakah KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI berani menebar jaringnya ke kasus-kasus masa lalu?

Semua orang ingin tahu, jika sekali-sekali Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri melempar jaring ke sekumpulan ikan Orde Baru, ikan-ikan apa yang akan mereka dapat? Beranikah mereka menarik jaring ke atas geladak dan memperlihatkan isi jaringnya kepada publik?

Saya tidak yakin. Berniat melempar jaring ke masa lalu saja tidak tebersit dalam benak mereka. Kasus komisi pembelian tank Scorpion dari Inggris tidak ada kabar beritanya hingga sekarang. Demikian juga kasus hilangnya mobil kepresidenan di era pemerintahan sebelum ini.

Paradoks kedua.
Ihwal bagaimana dengan tindak lanjut pemeriksaan BPK lainnya. Terutama kasus beberapa tahun terakhir, yang disimpulkan telah terjadi penyelewengan (baca: korupsi) di lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Polri.

Menurut laporan BPK saja, selama lima tahun pada 1999-2004, terjadi penyelewengan uang negara sebesar Rp 166,5 triliun. Dalam kurun waktu itu juga, ironisnya, menurut BPK, lembaga negara yang penyelewengannya paling tinggi adalah Kejaksaan Agung, dengan persentase 51,8 persen. Dengan kondisi seperti ini, siapa akan membawa kasus-kasus ini ke pengadilan? Kejaksaan mungkin tidak memiliki integritas dan jaring yang kuat untuk ditebarkan. Mungkin jaring dari kawat baja pun tidak sanggup.

Angka BPK ini baru mencerminkan korupsi APBN, belum mencerminkan angka korupsi di luar APBN. Misalnya suap dan pungutan liar. Dari hasil survei Partnership for Governance Reform in Indonesia pada 2001, masyarakat Indonesia menempatkan polisi, kejaksaan, dan peradilan sebagai lembaga yang paling korup.

Sementara itu, survei yang dilakukan Transparency International untuk Barometer Global Korupsi pada 2003, rakyat Indonesia juga menempatkan polisi, kejaksaan, dan peradilan sebagai lembaga nomor satu untuk dibersihkan dari korupsi.

Sejauh ini, belum ada survei korupsi yang mengikutsertakan KPK dan belum ada pemeriksaan BPK menyangkut kinerja keuangan KPK. Apakah KPK akan mengikuti jejak institusi penegak hukum lainnya? Apakah rekanan-rekanan KPK (rekanan pemasangan iklan di media massa, pengadaan alat-alat kantor, dan sebagainya) tidak perlu mengeluarkan uang ekstra untuk pencairan pembayaran? Saya berharap institusi yang baru dibentuk ini bebas dari perilaku korupsi di dalamnya.

Temuan BPK, survei Partnership for Governance Reform in Indonesia, dan survei Transparency International untuk Barometer Global Korupsi merupakan paradoks kedua. Paradoks pertama tentang pukat korupsi, yang sudah diulas di atas.

Dengan dua paradoks ini saja, tampaknya perang melawan korupsi jelas tidak akan maksimal. Tidak akan ada tumpas kelor dalam perang melawan korupsi. Tumpas kelor berarti menghilangkan dua paradoks di atas, dan itu artinya harus ada reformasi struktural dan kultural di institusi penegakan hukum. Sebelum ada dua macam reformasi itu, pemberantasan korupsi hanya merupakan konsumsi politik, jadi bukan benar-benar agenda melawan korupsi. Itu program lips service yang dulu juga dijalankan rezim Orde Baru.

Sukowaluyo Mintorahardjo, Anggota DPR RI

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 15 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan