Drama Berakhir di Cartagena

MASYARAKAT Indonesia kini menanti M Nazaruddin dari Cartagena Kolombia untuk  menjalani proses hukum di Indonesia. KPK menuntut kejelasan dari ”nyanyian” mantan bendahara umum Partai Demokrat, termasuk  sebelumnya yang beredar melalui rekaman wawancara via Skype yang dimoderasi praktisi citizen journalism Iwan Piliang. Dalam wawancaranya lewat Skype, Nazaruddin mengungkapkan berbagai hal yang dilakukan kubu Anas Urbaningrum dan beberapa elite Demokrat yang dianggap telah merugikan negara. Satu hal positif dan menggembirakan dari nyanyian Nazaruddin baik melalui BBM, telepon langsung maupun Skype, yaitu soal pembuktian terbalik dari orang-orang yang disebutkan.

Ada banyak nama, antara lain Anas, Andi Alifian Mallarangeng, Angelina Sondakh, dan I Wayan Koster. Mampukah KPK melakukan upaya pembuktian terbalik? Seperti kita tahu, Pansel kini menggodok beberapa nama untuk direkrut menjadi pimpinan baru KPK. Sebelumnya, LSI merilis survei mengenai ketidakpuasan serta kekecewaan publik terhadap kinerja KPK, yang tercoreng sebab beberapa pimpinannya terjerat persoalan seperti dinyanyikan Nazaruddin. 

Berhak Menyita
KPK nanti harus menggunakan pembuktian terbalik, supaya nyanyian Nazaruddin bisa gayung bersambut. Nazaruddin diharapkan menjadi whistle blower atas beberapa persoalan yang pernah dia nyanyikan. Meskipun UU mengenai pembuktian terbalik belum eksis, PN Jakarta Selatan pernah melakukannya dan cenderung berhasil. Misalnya, dalam kasus mantan pejabat Kantor Pajak dan Bappenas, Bahasyim Assifie. Beberapa pengamat hukum berpendapat bahwa pada kasus Bahasyim untuk kali pertama pembuktian terbalik diterapkan dan berhasil.

Awalnya PPATK mencurigai transaksi keuangan dalam rekening istri dan dua putri Bahasyim sejak 2004 hingga 2010 yang mencapai Rp 932 miliar. Total saldo saat diblokir sekitar Rp 65 miliar. Angka sangat fantastis untuk ukuran pejabat Kantor Pajak. Penyidik akhirnya meminta Bahasyaim menjelaskan asal-muasal hartanya. Tapi Bahasyim tak dapat menjelaskan. Penyidik hanya dapat membuktikan korupsi Rp 1 miliar, yang berasal dari pengacara kondang Kartini Mulyadi. Selebihnya, penyidik hanya menjerat dengan pasal pencucian uang.

Di pengadilan, Bahasyim diminta membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil berbagai usaha. Dia menunjukkan berbagai dokumen yang ia katakan sebagai hasil usahanya. Namun majelis hakim tidak mengakui seluruh bukti tersebut karena tidak sah menurut hukum.

Akhirnya, Bahasyim divonis hukuman 10 tahun, ditambah denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Hartanya senilai Rp 60,9 miliar ditambah 681.147 dollar AS dikembalikan kepada negara karena terbukti hasil tindak pidana korupsi.

Pada kasus sama, sebetulnya jika ada kemauan, aparat penegak hukum bisa melakukan hal yang sama terhadap orang-orang yang disebutkan Nazaruddin. Misalnya, PPATK bekerja sama dengan KPK, mengusut rekening orang-orang dan keluarganya  yang dinyanyikan Nazaruddin. Pembuktian terbalik juga untuk menyudahi polemik tentang kasus Nazaruddin serta para mantan koleganya yang disebutkan itu. Anas misalnya, tak perlu repot-repot membela diri, melakukan upaya apologi defensif atau bahkan menyerang balik.

Adanya kejelasan hukum atas kasus Nazaruddin, yakni menggunakan pembuktian terbalik sebagai perangkat hukumnya dilakukan untuk menyudahi polemik politik berkepanjangan. Kasus Nazaruddin memang merupakan ujian bagi para aparat penegak hukum, untuk mau atau tidak menggunakan pembuktian terbalik sebagai instrumen hukum yang efektif, sehingga para aktor kejahatan korupsi dan suap bisa mempertanggungjawabkannya secara hukum. Itu penting karena korupsi dan suap tingkat elite, masuk dalam kategori extraordinary crime.

Justru pembuktian terbalik sebetulnya mempermudah penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus korupsi dan suap tingkat elite. Jika tersangka tidak dapat membuktikan bahwa uang yang dimilikinya bukanlah hasil korupsi, negara berhak menyitanya. Cara itu akan memberi efek jera bagi koruptor dan penyuap untuk berpikir berkali-kali jika ingin melakukan tindakan melanggar hukum memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatan publik. (10)

Ismatillah A Nu’ad, Associate Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 9 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan