DPRD Pontianak Juga Tersandung [11/06/04]

Pengungkapan kasus-kasus korupsi di lingkungan legislatif terus bergulir. Kali ini berkaitan dengan tiga unsur pimpinan DPRD Kabupaten Pontianak. Berkas kasus korupsi mereka sudah siap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Mempawah, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.

Kepala Kejaksaan Negeri Mempawah Adi Sutanto, hari Kamis (10/6), mengatakan, tiga unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pontianak dan dua pengurus Yayasan Bestari ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 4,7 miliar.

Unsur pimpinan DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Ketua DPRD Kabupaten Pontianak Moses Alep dan dua wakil ketua DPRD, yaitu Effendi Cingkong serta Soetedjo. Sedangkan dua pengurus Yayasan Bestari yang ditetapkan sebagai tersangka adalah H Makmur (bendahara) dan Andrean Ferix (wakil bendahara).

Kelima orang itu ditetapkan sebagai tersangka karena saksi- saksi dan bukti-buktinya sudah lengkap, serta dianggap paling bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan keuangan negara tersebut, katanya.

Adi mengemukakan, Kejaksaan Negeri Mempawah telah memeriksa seluruh anggota DPRD Kabupaten Pontianak yang berjumlah 44 orang.

Dari pihak eksekutif, katanya melanjutkan, sembilan orang, termasuk mantan Bupati Pontianak Cornelis Kimha, telah diperiksa sebagai saksi.

Kelima orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka, menurut Adi, karena diduga telah menyimpangkan dana APBD Kabupaten Pontianak sebesar Rp 4,7 miliar yang disalurkan kepada Yayasan Bestari sejak tahun 1999 sampai 2003. Oleh yayasan yang didirikan tahun 1998 ini, dana tersebut diduga dibagi-bagikan kepada semua anggota DPRD Kabupaten Pontianak.

Padahal, dana itu seharusnya digunakan untuk kepentingan yayasan, termasuk untuk mengembangkan usaha atau lembaga pendidikan. Dana yang diterima yayasan juga seharusnya diumumkan kepada publik.

Tanah kuburan

Di Palembang, Sumatera Selatan, seorang anggota DPRD Kota Palembang, RM Yusuf Sumo, menjadi tersangka kasus korupsi berkaitan dengan penyediaan tanah kuburan seluas enam hektar.

Penyidik dari Kejaksaan Negeri Palembang telah melakukan pemberkasan kasusnya dan diharapkan pada Juli mendatang berkas perkara itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Palembang.

Jaksa yang menyidik kasus itu, Hendri, kemarin menyebutkan, Yusuf Sumo diduga telah melakukan korupsi dana APBD 2003 sebesar Rp 415 juta. Total anggaran yang dialokasikan APBD sebenarnya Rp 600 juta, tetapi yang terpakai dan diduga dikorupsi sebesar Rp 415 juta.

Menurut Hendri, pengadaan tanah kuburan itu dilakukan oleh Yusuf Sumo, Wakil Ketua Komisi A DPRD Palembang. Lokasinya di kawasan Gandus. Modus operandi yang dilakukan adalah memalsukan data pemilik tanah. Tanah seluas enam hektar yang disiapkan untuk lahan kuburan sebenarnya tanah tak bertuan dan diperkirakan tanah negara. Satu meter tanah rawa itu dihargai Rp 6.500.

Tiga warga Lubuk Lancang dipakai namanya oleh Yusuf Sumo dan dinyatakan sebagai pemilik tanah. Padahal, tiga warga itu tidak tahu-menahu soal tanah yang disediakan untuk kuburan tersebut, kata Hendri.

Kelompok penekan

Maraknya pengungkapan kasus korupsi di lingkungan legislatif sepatutnya diikuti dengan desakan dari kelompok- kelompok penekan (pressure groups) untuk proses penyelesaian secara hukum.

Pernyataan itu disampaikan anggota Dewan Kehormatan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Harry Tjan Silalahi, Kamis, seusai berbicara dalam kuliah umum Arus Balik Membaca Suara Rakyat.

Penegakan hukum, kata Harry, jangan sekadar diarahkan ke lembaga legislatif. Sebab, legislatif hanya bisa menjalankan fungsinya dengan baik, mengkritik pemerintah, jika lembaga itu bersih.

Secara terpisah, Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Wisnu Subroto mengungkapkan, tidak adanya budaya rasa salah menyebabkan seseorang cenderung terus melakukan korupsi. Hal itu diungkapkan Wisnu dalam seminar bertema Strategi Pemberantasan Korupsi hari Kamis di Bandar Lampung.

Dia juga menyoroti perilaku buruk yang muncul dalam komunitas-komunitas di masyarakat. Selama ini ada rasa korps yang salah. Pimpinan sering kali masih menutupi atau melindungi anak buahnya yang terbukti bersalah. Sekat-sekat seperti ini harus dihilangkan. Jika anak buahnya terbukti bersalah, pimpinan harus rela menyerahkan anak buahnya itu untuk dihukum, kata Wisnu mengingatkan.

Hingga saat ini Kejaksaan Tinggi Lampung telah melimpahkan 21 perkara tindak pidana korupsi ke pengadilan.

Kejaksaan Tinggi Lampung juga tengah menyidik tujuh perkara tindak pidana korupsi

Hanya saja, dalam proses penyelesaian kasus korupsi, lanjut Wisnu, pihak kejaksaan sering terkendala berbagai kepentingan. Proses tersebut sering kali dihadapkan pada pilihan penyelesaian kasus, dalam bentuk tuntutan untuk mengembalikan uang negara atau hukuman. (FUL/JOS/MUL/EVY/DWA)

Sumber: Kompas, 11 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan