DPR Berjanji Prioritaskan RUU Perlindungan Saksi

Komisi III DPR berjanji akan memprioritaskan pembahasan RUU Perlindungan Saksi. RUU tersebut akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk diputuskan tingkat prioritas pembahasannya.

Demikian kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III dengan Koalisi Perlindungan Saksi (KPS) yang dibacakan Wakil Ketua Komisi III Taufikurrahman Saleh yang memimpin rapat di Jakarta, Selasa (22/2).

Dalam rapat itu, Komisi III mendengarkan pernyataan sikap KPS yang beranggotakan 22 organisasi nonpemerintah (ornop), yakni Elsam, ICW, Komnas Perempuan, KHN, Walhi, LBH APIK, KRHN, JARI Indonesia, AJI, MAPPI, KOPBUMI, TAPAL, P3I, LeIP, PSHK, Kontras, Bakubae, LBH Jakarta, Jatam, LBH Pers, Mitra Perempuan, dan Solidaritas Perempuan.

Sejak dua pekan ini, KPS kembali intensif mendatangi DPR untuk mendesak agar DPR segera membahas RUU Perlindungan Saksi.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko, yang membacakan pernyataan sikap KPS menjelaskan, pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban masih terpisah-pisah sesuai dengan masalahnya masing-masing.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur tentang saksi, termasuk saksi korban, tidak cukup memberi perlindungan jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka ataupun terdakwa.

KUHAP lebih melihat saksi hanya sebagai bagian dari alat bukti dan kurang mengatur tentang saksi sebagai pihak yang perlu dilindungi dan terutama korban dipulihkan hak-haknya, tutur dia.

Demikian juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam kasus pelanggaran HAM Berat. Dalam praktiknya PP itu belum memberi perlindungan yang memadai terhadap saksi dan korban. Bahkan hak-hak korban yang secara jelas diatur oleh undang-undang pun tidak dapat diberikan.

Lemahnya pengaturan dan perlindungan tentang saksi dan korban menjadikan pihak-pihak yang seharusnya menjadi saksi enggan menjadi saksi. Persoalan utama adalah banyaknya saksi tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak ada jaminan yang memadai. Terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi.

Menurut Danang, saksi termasuk pelapor bahkan sering kali mengalami kriminalisasi atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Saksi akhirnya menjadi tersangka, bahkan terpidana. Saksi tidak mau memberikan keterangan di sidang pengadilan terutama untuk kasus-kasus seperti kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga, korupsi, kejahatan terorganisasi dan pelanggaran HAM yang berat.

Hal senada diungkapkan Supriyadi Widodo Eddyono dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Menurut Supriyadi, dalam sistem peradilan pidana dinyatakan pihak-pihak yang berperan besar dalam penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan juga lembaga pemasyarakatan.

Sedangkan peranan saksi dan korban belum menjadi bagian penting bagi proses penegakan hukum. Mereka malah cenderung diperlakukan sebagai bagian dari alat bukti dan bukan diperlakukan selayaknya seorang manusia yang butuh hak-hak dan perlindungan.

Saksi dan juga korban selalu didorong untuk bersuara di depan pengadilan untuk mendukung argumentasi jaksa penuntut umum. Setelah itu tidak ada upaya menjamin adanya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan dengan risiko tertentu. Demikian juga bagi korban tidak ada upaya pemilihan yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula, papar Supriyadi.

Dikatakan, keberpihakan hukum terhadap saksi dan korban sangat timpang jika dilihat dari beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa terhadap tersangka maupun terdakwa. Begitu pun dalam KUHAP sebagai landasan beracara dalam berperkara pidana cenderung lebih banyak memberi porsi perlindungan kepada terdakwa dan tersangka. (Y-4)

Sumber: Suara Pembaruan, 23 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan