Divestasi Newmont Versus Divestasi Migas

Diam-diam pemerintah RI memiliki lembaga Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang berfungsi semacam sovereign wealth fund di negara-negara maju. PIP ini didirikan sebagai pelaksanaan amanah Undang-undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. PIP merupakan representasi pemerintah pusat yang struktur organisasinya berada di bawah Kementerian Keuangan RI.

PIP bergerak sebagai agent of development yang bertanggung jawab atas pelaksanaan investasi oleh pemerintah berdasarkan kebijakan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara. Pemerintah menganggap PIP merupakan lembaga yang paling tepat membeli saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) 7 persen seharga US$ 246,8 juta. Dari investasi tersebut, pemerintah mengharapkan perolehan dividen US$ 485,3 juta hingga 2028, potensi keuntungan PIP dari Newmont diharapkan mencapai 197 persen.

Pertimbangan pemerintah pusat membeli 7 persen saham divestasi Newmont berawal dari rasa prihatin dan kecewa karena masuknya "pihak luar" dalam konsorsium pemerintah daerah. Menteri Keuangan RI merasa prihatin dan kecewa atas "digadaikannya" 24 persen saham NNT oleh konsorsium badan usaha milik daerah (PT Daerah Maju Bersama) yang mengundang Multicapital (unit usaha Bakrie Group) membentuk konsorsium PT Multi Daerah Bersaing. Rakyat di daerah akhirnya tidak bisa menikmati dividen yang optimal dari perusahaan tambang emas tersebut.

Menteri Keuangan mensinyalir jika pemerintah daerah dapat memainkan perannya sebagai pemilik 24 persen saham secara efektif, diyakini akan mampu memberi nilai tambah dan multiplier effect kepada masyarakat daerah. Cukup ironis dan memprihatinkan ketika Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara mewakili pemerintah pusat bermaksud membeli 7 persen divestasi Newmont, banyak pihak berkepentingan, baik di Jakarta maupun daerah, menolak habis-habisan dan menjadikan kegaduhan politik yang tidak perlu terkait dengan kontroversi pusat dan daerah.

Bersyukur kegaduhan "penggadaian" saham model Newmont tidak pernah terdengar riuh di industri hulu migas, padahal keprihatinan Menteri Keuangan tersebut juga terjadi di industri migas. Tampaknya pemerintah masih menganggap praktek "penggadaian" dan jual-beli interest sebagai praktek bisnis yang normal dalam industri migas, walaupun disadari atau tidak, mengandung potensi kerugian bagi negara.

Dalam dunia migas, ada semacam kewajiban bagi kontraktor yang menggarap lapangan yang sudah berproduksi menawarkan sebagian participating interest (PI) ke daerah (BUMD). Namun, dengan alasan tidak mempunyai cukup dana, daerah "mengundang" pihak luar, baik lokal maupun asing, yang berpotensi rente ekonomi akan lebih banyak dinikmati para investor, terutama asing.

Kepemilikan "saham" dalam kontrak migas, baik eksplorasi maupun eksploitasi, biasa disebut participating interest. Pada prakteknya, kepemilikan interest (PI) ini sering dialihkan atau diperjualbelikan seperti layaknya komoditas; pelepasan kepemilikan interest disebut farm-out, sedangkan akuisisi kepemilikan interest disebut farm-in. Sejatinya yang diperjualbelikan bukan sekadar paper, melainkan sejumlah nilai aset negara berupa cadangan migas yang berada di bawah tanah serta sejumlah nilai sunk-cost yang belum terbayar penuh. Dalam transaksi interest lapangan migas selalu ada faktor risiko, tapi untuk lapangan yang sudah "jadi" dan berproduksi, risiko tersebut relatif kecil.

Sebagian transfer kepemilikan PI ini dilakukan di luar negeri, terutama di negara-negara tax heaven, seperti Cayman Island. Sayangnya, dalam transaksi PI, negara tidak mendapatkan keuntungan tangible, selain pajak. Pemerintah sebaiknya menggiring pelaku usaha melaksanakan komitmen sesuai dengan kontrak migas dan tidak melakukan praktek jual-beli interest untuk meraup rente ekonomi di luar kontrak.

Untuk mengurangi praktek jual-beli dan penggadaian interest, di masa mendatang pemerintah seyogianya membuat aturan yang lebih tegas tentang transaksi pengalihan kepemilikan interest (PI) antar-investor. Dengan demikian, dapat terjamin terlaksananya komitmen kontrak migas oleh pelaku usaha serta terjamin nilai tambah bagi pemerintah pusat dan daerah dengan mempersempit ruang gerak para pemburu rente.

Begitu pula yang terjadi di lapangan-lapangan migas yang berakhir masa kontraknya (terminasi). Pemerintah seyogianya tidak melepas "kepemilikan" aset yang masih bernilai miliaran dolar kepada investor dengan harga cuma-cuma atau nyaris gratis. Harus ada kompensasi yang wajar sesuai dengan nilai ekonomi aset tersebut. Kalaupun ada sebagian interest dihibahkan ke daerah, diimbau daerah tidak mengundang pihak luar, baik lokal maupun asing, sebagai "penyandang dana", karena akan membuka ruang bagi pemburu rente meraup kue daerah tersebut.

Daerah seyogianya bekerja sama dengan perusahaan negara, seperti Pertamina, dan mengajak perbankan nasional. Kejadian yang paling mutakhir adalah perebutan kepemilikan interest di Blok West Madura Offshore (WMO) yang sempat riuh di media. Seperti halnya Newmont, lapangan produksi migas yang sudah "jadi" adalah aset ekonomi yang mempunyai nilai pasar yang bisa mencapai miliaran dolar Amerika, bergantung pada beberapa faktor, seperti Remaining Reserve (cadangan migas tersisa) dan prospek geologi (subsurface).

Blok West Madura Offshore diyakini mempunyai nilai pasar yang masih tinggi, yang dipercaya oleh sebagian kalangan perminyakan sekitar US$ 2 miliar atau lebih, karena masih memiliki cadangan tersisa lumayan besar, yaitu minyak 22 juta barel dan gas 208 miliar kaki kubik, ditambah prospek geologi yang masih lumayan.

Untuk Blok WMO, pemerintah telah menyerahkan participating interest 20 persen kepada Kodeco (perusahaan Korea). Jadi pantas apabila publik menuntut Kodeco membayar kompensasi yang wajar sesuai dengan nilai pasar Blok WMO. Nilai kompensasi untuk mengakuisisi 20 persen interest WMO dipercaya oleh sebagian kalangan perminyakan sekitar US$ 300 juta. Nilai pasar ini tentunya harus dihitung lebih akurat oleh pemerintah. Belakangan disinyalir pemerintah hanya akan meminta Kodeco membayar signature bonus yang nilainya sekitar US$ 5 juta. Tentunya kebijakan ini harus dikoreksi.

Dalam kasus Newmont, di negeri sendiri pemerintah RI berniat memperoleh 7 persen saham dengan harus membayar US$ 246,8 juta. Itu pun sebagian masyarakat mengajukan protes. Aneh rasanya apabila Kodeco mengantongi 20 persen interest di Blok West Madura secara gratis, tapi rakyat tidak memprotes.
Eddy Purwanto, PRAKTISI PERMINYAKAN
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 24 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan