Dinasti Politik Ekonomi Bisnis

Global Nexus Institute sedang meneliti profil dan anatomi kekuatan ekonomi RI era reformasi dibandingkan dengan era Orde Baru.

Dalam daftar peringkat pembayar pajak terbesar tahun 1994, sepuluh besarnya adalah Putera Sampoerna, Soedono Salim, Henry Pribadi, Anthony Salim, Bambang Trihatmojo, Prajogo Pangestu, Eka Tjipta Wijaya, Saiman Hermawan, Sugianto Kusumo, dan Andree Halim. Tommy Soeharto muncul pada urutan ke-16.

Global Nexus Institute (GNI) telah mengusulkan kepada pemerintah era reformasi untuk membuka data pajak secara transparan. Mengherankan bahwa pada zaman Orde Baru keluarga Cendana tanpa ewuh pakewuh menaati pembayaran pajak secara transparan. Sementara pada era orde reformasi malah terdapat ketertutupan sehingga memicu angket pajak yang menimbulkan heboh koalisi nyaris pecah.

GNI telah menelusuri sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang telah merebak sejak zaman demokrasi liberal, terpimpin, Pancasila, dan reformasi. Pada zaman demokrasi liberal, mantan menteri segera jadi sasaran empuk kabinet dari partai yang tadinya oposisi dan menjadi perdana menteri. Karena itu, menteri dari PNI, seperti Iskaq dan Djody Gondokusumo (ini dari Partai Rakyat Nasional pecahan PNI), Syamsudin dari Masyumi, serta Wahib Wahab dari NU dan bahkan Menlu Ruslan Abdulgani pernah akan ditangkap Kolonel Kawilarang yang menjabat Pangdam Siliwangi. Pada zaman liberal itu kabinet memang jatuh bangun sehingga setiap saat mantan menteri akan diterkam oleh kabinet baru.

Tahun 1957 negara dinyatakan dalam keadaan darurat karena konflik daerah akan segera meletus jadi pemberontakan PRRI/Permesta. Buruh PKI mengambil alih perusahaan Belanda dan dinasionalisasi, tetapi yang menikmati adalah para kolonel Angkatan Darat yang diterjunkan penguasa perang KSAD Mayor Jenderal Nasution.

Ketika Nasution akan melakukan Operasi Budi memberantas korupsi, menurut Ruslan Abdulgani, Bung Karno menyatakan, ”Kalau kamu sikat para kolonel, PKI akan mendominasi.” Karena itu, Operasi Budi era Bung Karno juga tidak menyentuh struktur politik.

Tragisnya, setelah Soeharto berkuasa, tanpa ampun, tiga kroni Bung Karno, yaitu Aslam, Markam, dan Bram Tambunan, dijebloskan ke penjara dan aset mereka dijadikan BUMN PT PP Berdikari. Gubernur Bank Sentral Jusuf Muda Dalam dipenjara. Putra-putri Bung Karno hanya kebagian SPBU, itu pun dari uluran tangan Gubernur Ali Sadikin. Namun, Ratna Sari Dewi memang menikmati komisi proyek pampasan, yang tidak dapat ia nikmati semua karena rumah tinggalnya disita dan dijadikan museum TNI. Era Orde Lama berganti Orde Baru dengan dinasti politik ekonomi bisnis baru, yakni kerabat keluarga dan kroni Cendana.

”Dwifungsi penguasaha”
Orde reformasi, menurut Anindya Bakrie di The Jakarta Post, adalah orde yang memelihara institutional continuity mengacu teori Bill Liddle. Karena itu, praktis seluruh bangunan struktur dinasti politik ekonomi bisnis Orde Baru dilanjutkan tanpa tindakan korektif dari orde reformasi. Hanya korupsi marjinal yang disidangkan dalam kasus kroni dan kerabat Soeharto. Seluruh dinasti bisnis Orde Baru dan mesin uangnya masih berjalan terus. Mesin politik Golkar jalan terus, konglomerat kroni jalan terus, dan Indonesia beralih dari dwifungsi ABRI menjadi ”dwifungsi penguasaha” (baca: pengusaha merangkap penguasa).

Kita memang tak bisa melarang pengusaha jadi politisi. Akan tetapi, kita tidak pernah menghayati konsep konflik kepentingan. Bahwa kekuasaan politik bisa menjadikan atau dijadikan sumber kebijakan negara yang secara tidak fair menguntungkan bisnis kerabat, keluarga, dan kroni atau sang pengusaha yang merangkap jadi penguasa. Dewasa ini elite pengusaha yang memasuki sektor penyelenggara negara barangkali sudah mayoritas, mengalahkan elite birokrat dan cendekiawan atau unsur civil society. Negara dan pasar telah jadi satu dalam ”dwifungsi penguasaha”.

Ketika mengikuti seleksi calon pimpinan KPK, saya telah mengusulkan UU Antikonflik Kepentingan diberlakukan agar pengusaha yang jadi penguasa tidak mencampuradukkan kepentingan bisnis dalam mengambil putusan untuk dan atas nama negara dan bangsa. Putusan kebijakan yang harus menyangkut 240 juta jiwa manusia Indonesia tidak boleh dinomorduakan atau dikalahkan oleh kepentingan bisnis perusahaan yang dimiliki sang penguasa politik.

Di AS, Presiden Clinton dan Presiden Bush memercayakan aset bisnis yang dimiliki kepada blind trust management independent agar keduanya tidak terlibat dalam putusan yang bisa memengaruhi naik turunnya portofolio saham atau aset yang dimilikinya. Di Indonesia, orang meniru money politics AS tanpa menerapkan rambu-rambu institusi pengaman dan pengawasan yang obyektif dan independen.

Untuk korupsi masa lalu, yang jika merujuk WikiLeaks melibatkan nyaris semua pihak, itu harus diatasi dengan amnesti berpenalti. Beri kesempatan bertobat, mengaku dosa korupsi, serta menebus dosa membayar pajak dan denda. Yang tidak memenuhi ini dalam setahun dikenai UU Pembuktian Terbalik dan seluruh asetnya akan disita.

Mengingat praktik korupsi seperti yang dibocorkan WikiLeaks itu sudah jadi rahasia umum, jika negara ini tidak ingin bubar karena seluruh elitenya terkontaminasi, seyogianya ditempuh jalan amnesti berpenalti dan pembuktian terbalik. Semangatnya harus mengacu pada jiwa besar Nelson Mandela untuk mengampuni pelaku apartheid.

Setelah amnesti berpenalti, pembuktian terbalik, dan UU Antikonflik Kepentingan diberlakukan, kita memasuki lembaran baru, semangat baru, dan tekad baru untuk menyongsong masa depan yang bersih dari korupsi. Sebab, semua transparan, diawali keterbukaan pembayaran pajak dan laporan kekayaan yang dipantau oleh masyarakat secara mudah, jernih, dan tidak ditutup-tutupi.

Terobosan yang akan kita lakukan itu memerlukan semangat kenegarawanan dari seluruh elite, presiden, DPR, partai politik, dan LSM untuk benar-benar ingin menjaga agar ”dwifungsi penguasaha” ini tidak dipermanenkan dan tidak terkontrol secara transparan.

Christianto Wibisono CEO Global Nexus Institute
Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan