Dicari Koruptor Indonesia!

KORUPTOR Indonesia sungguh luar biasa. Mereka punya 1.001 cara untuk lolos dari jeratan hukum. Mulai dari mencari celah dan cara aman merampok uang negara, menyuap pemangku kepentingan dan penegak hukum, hingga menghindar atau melarikan diri ke luar negeri ketika proses hukum sedang berjalan.

Ketika koruptor telah kabur ke luar negeri, mustahil bisa ditangkap tanpa kerja sama dengan pihak lain di luar negara. Karena itu keterlibatan Interpol dapat memainkan peran penting untuk menangkap para buronan tersebut. Apalagi hal itu telah disepakati sejak Konferensi Interpol Regional Asia di  Jakarta, April 2006, yakni memperkuat kerja sama internasional dalam memerangi korupsi.
Dalam konferensi tersebut, Presiden Interpol Jackie Selebi intinya menyebutkan unit Interpol memiliki tanggung jawab unik. Salah satunya menjamin semua standar dapat diwujudkan dan dilaksanakan, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi. Tidak ada tempat bagi pelaku korupsi, di mana pun (Suara Merdeka, 7/12/06).

Red Notice
Dalam kerja sama dengan Interpol, tindakan yang sering dilakukan adalah mengeluarkan red notice atau permintaan penangkapan terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai buron atas suatu tindak kejahatan. Penangkapan perlu untuk kepentingan ekstradisi atau mengembalikan pelaku yang dinyatakan masuk daftar pencarian orang (DPO) ke negara peminta red notice.

Prosesnya tidak rumit. Saat pelaku kejahatan korupsi diduga kuat melarikan diri ke luar negeri, penegak hukum dan KPK dapat mengajukan red notice melalui National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia. Selanjutnya NCB Interpol Indonesia akan mengirimkan notice tersebut ke International Criminal Police Organization (ICPO) Interpol yang berkantor pusat di Lyon, Prancis, untuk disebar ke seluruh anggota Interpol di 188 negara agar ditindaklanjuti.
Red notice yang diterima markas Interpol di Prancis terbilang cukup banyak setiap tahun. Data tahun 2009, 5.020 buah red notice diterbitkan Interpol. Adapun tahun 2010, diterbitkan sekitar 6.000 red notice.

Meski tidak semua penjahat yang masuk daftar red notice dapat ditangkap, hasil yang dicapai itu cukup memberikan harapan. Dari 6.000 red notice yang diterbitkan tahun 2010, telah ditangkap 160 buronan internasional melalui operasi INFRA-Red 2010. Selain itu, keberadaan jaringan Interpol yang sangat luas  di 188 negara, memungkinkan polisi di negara persembunyian buron menangkap atau mempersempit ruang gerak sang buron.

Khusus Indonesia, hingga 17 Juli 2011 berdasar permintaan kepolisian, kejaksaan, dan KPK, NCB Interpol Indonesia telah mengeluarkan 98 red notice. Pelaku yang diburu tidak hanya warga Indonesia, tetapi juga warga negara asing yang melakukan kejahatan di Indonesia. Adapun jenis kejahatan yang dilakukan juga beragam, dari pembunuhan, penipuan, kejahatan perbankan, kejahatan lingkungan, kejahatan seksual, pencucian uang, hingga korupsi.

Tak Mudah

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 98 daftar red notice yang dikeluarkan, 26 berasal dari tindak pidana korupsi. Daftar buronan KPK, antara lain M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang tersangkut kasus korupsi Wisma Atlet dan Nunun Nurbaety, istri mantan Wakapolri yang diduga sebagai perantara suap kasus cek pelawat kepada anggota DPR, merupakan nama terakhir yang masuk daftar red notice Interpol sebagai DPO yang diburu polisi di 188 negara.

Penangkapan David Nusa Widjaya, terpidana kasus korupsi BLBI Bank Servitia, menjadi salah satu contoh keberhasilan kerja sama dengan Interpol. David Nusa ditangkap kepolisian Amerika Serikat (AS) tahun 2006 ketika melarikan diri ke negara itu dan selanjutnya dibawa ke Indonesia  untuk menjalani proses hukuman selama delapan tahun di penjara.
Upaya memburu penjahat dan koruptor ke luar negeri sungguh bukan pekerjaan mudah. Dalam kasus korupsi, selama 10 tahun terakhir ICW mencatat sedikitnya 45 koruptor diduga melarikan diri ke luar negeri.

Selain M Nazaruddin dan Nunun Nurbaety yang menghebohkan, para koruptor yang kabur antara lain Djoko S Tjandra, terpidana korupsi kasus korupsi cessie Bank Bali senilai Rp 546 miliar. Lalu, Samadikun Hartono, koruptor kasus BLBI di Bank Modern yang merugikan negara Rp 80 miliar. Terpidana yang lain adalah Bambang Sutrisno, yang divonis seumur hidup berkait kasus BLBI Bank Surya, yang merugikan negara sekitar Rp1,5 triliun.

Demikian juga Andrian Kiki Ariawan, terpidana kasus BLBI Bank Surya
Rp1,5 triliun, divonis seumur hidup dan diduga kini berada di Australia. Terpidana lain adalah Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi di BPUI yang merugikan negara 126 juta dolar AS dan Eddy Tansil, berkait kasus ekspor fiktif senilai Rp 1,3 triliun.
Di antara sejumlah koruptor yang melarikan diri ke luar negeri, hanya David Nusa Widjaya yang tertangkap. Hendra Raharja, terpidana seumur hidup BLBI Bank Modern, bahkan meninggal dunia di pelarian di Australia. Selebihnya belum tertangkap dan bahkan masih leluasa menjalankan usaha dari luar negeri. Tim Pemburu Koruptor di luar negeri yang dibentuk pemerintah juga hanya berhasil menangkap seorang buronan dari 13 orang yang ditargetkan.

Salah satu faktor betapa sulit menangkap koruptor di luar negeri adalah ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan negara-negara tempat koruptor bersembunyi. Misalnya, dengan Singapura. Dari 45 koruptor yang masih dan buron tercatat 20 orang memilih kabur ke Singapura. Negara tetangga itu mereka pilih selain karena faktor geografis, juga karena alasan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum disahkan.

Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara ke negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang mengadili dan memidana. Tanpa perjanjian ekstradisi sulit membawa kembali sang koruptor yang sudah berdiam di Singapura untuk kembali ke Tanah Air.

Indonesia bukan negara pertama yang mengalami masalah koruptor melarikan diri. China dan Peru jauh sebelumnya juga memiliki masalah serupa. Tahun 2004 tercatat sekitar 4.000 pejabat China yang korup telah melarikan diri ke luar negeri. Begitu pula Peru yang tahun 2003 dalam kasus Alberto Fujimori, mantan Presiden Peru keturunan Jepang, yang diduga melakukan sejumlah kasus korupsi selama menjabat sebagai orang pertama dalam pemerintahan di Peru. Alberto Fujimori bahkan diberitakan telah berganti kewarganegaraan Jepang, meski akhirnya dapat ditangkap dan diekstradisi, lalu diadili pengadilan di Peru.

Selain proses pemburuan koruptor dengan kerja sama Interpol tetap dilakukan, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk menghindari kejadian serupa pada masa datang. Pertama, sebagai langkah antisipatif, koruptor selayaknya dicekal sejak berstatus sebagai tersangka. Perlu upaya mencegah pelaku melarikan diri sejak penyelidikan, penyidikan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pencabutan paspor pelaku juga harus segera dilakukan ketika terdengar kabar pelaku sudah kabur keluar negeri.

Kedua, perlu penelusuran dan penyitaan harta kekayaan serta pemblokiran rekening milik koruptor. Itu penting untuk menghindari pelaku mengalihkan harta kekayaannya ke pihak ketiga atau membawa kabur ke luar negeri. Dengan cara itu, kewajiban koruptor membayar uang pengganti senilai uang yang dikorupsi dapat segera dilaksanakan. Meski koruptor kabur, harta kekayaaannya dapat disita dan dirampas untuk negara.

Ketiga, koordinasi antara aparat penegak hukum dan Imigrasi perlu diperbaiki kembali. Misalnya, pada saat pengadilan menjatuhkan vonis bagi pelaku korupsi, pada hari itu juga salinan keputusan disampaikan ke kejaksaan. Selanjutnya, kejaksaan segera mengeksekusi terpidana sekaligus berkoordinasi dengan Imigrasi untuk mencekal pelaku ke luar negeri. Juga harus diantisipasi kemungkinan kebocoran rencana pencekalan ke pihak pelaku. Muncul kecurigaan dari masyarakat, koruptor sering kali dibiarkan kabur lebih dahulu, baru pencekalan diajukan ke imigrasi.

Dengan segala langkah yang luar biasa dan semangat kerja sama antarnegara dalam memerangi korupsi, upaya perburuan koruptor yang kabur ke luar negeri meski pelan tapi pasti akan membuahkan hasil yang diharapkan. Saat ini  masyarakat tinggal menunggu, mendesak, dan melihat koruptor yang kabur dapat ditangkap dan dipenjara.(51)

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 18 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan