Di Balik Kemenangan Mantan

ADA yang ’’unik’’ dalam Pilkada Kabupaten Pekalongan 2011, yakni kembali berkompetisinya Amat Antono, bupati periode 2001-2006 dengan Siti Qomariyah, incumbent (petahana), bupati 2006-2011. Pada pertarungan jilid I tahun 2006, Siti Qomariyah yang ketika itu berpasangan dengan Pontjo (bersimbol Qonco) menang dengan kurang lebih 52% suara dari Antono yang berpasangan dengan Qurofi (Aqur) yang memperoleh kurang lebih 48% suara.

Pilkada 2011 tetap menjadi milik mereka: pertarungan jilid II sang mantan versus petahana dan dimenangi Antono yang kali ini berpasangan dengan Fadia Arafik (Adil). Perolehan suara sementara memperlihatkan  pasangan Imam-Cashuri (Simbol) 1,87% suara, Pontjo-Broto 4,39%, Qomariyah-Riswadi (Qori) 36,95%, dan Antono-Fadia (Adil) 56,79% suara (Desk Pilkada Kabupaten Pekalongan, 01/05/11; pukul 08.50.

Faktor utama sang mantan mendulang mayoritas suara adalah karena pemilih Antono pada 2006, kembali menjatuhkan pilihan. Mereka disatukan oleh perasaan psikologis yang sama, menjadi pecundang dan terpinggirkan. Tahun 2011 mereka ingin mencoba lagi, tidak ingin kalah untuk kali kedua. Perasaan senasib inilah yang memudahkan Antono menggalang kekuatan. Jumlah pemilih tahun 2006 menjadi modal dan basisnya.

Sebaliknya, soliditas pendukung Qomariyah (Qori) pada 2011 goyah. Koalisi mayoritas partai tidak efektif memenangkan petahana. Perolehan suara Qori tidak sebangun dengan jumlah kursi legislatif pendukungnya.

Tentu saja perolehan suara kali ini tidak hanya bisa dijelaskan secara psikologis dan  matematik. Isu infrastruktur, reformasi birokrasi (perekrutan CPNS, penempatan dalam jabatan, dan kesejahteraan pegawai), eksekusi kebijakan yang eksklusif, dan pembangunan desa menjadi arena pertarungan kandidat dan berpengaruh terhadap preferensi pemilih.

Keempat pasangan calon yang maju menjadikan pembangunan infrastruktur, sebagai janji politik. Niatan mereka sebangun dengan kebutuhan masyarakat bahwa ketersediaan infrastruktur memadai sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan.

Di lapangan, isu infrastruktur menguntungkan dan menjadi milik Antono. Slogan ’’Sego Bungkus, Sego Megono. Pengin Jalan Bagus, ya Pilih Antono’’ efektif mempersilakan masyarakat untuk membandingkan kondisi infrastruktur ketika Antono menjabat bupati 2001-2006 dengan kondisi saat Qomariyah memimpin 2006-2011.
Arus Balik Tak heran bila di daerah tapal kuda meliputi Kecamatan Sragi, Bojong, Kesesi, Kandangserang, Paninggaran, Lebakbarang, Petungkriyoro, Doro, dan Talun, yaitu daerah kerusakan infrastruktur, khususnya jalan, menjadi isu dan pertimbangan utama masyarakat menentukan pilihan, dan Antono menang besar.

Isu lain yang menonjol adalah perekrutan CPNS. Ada anggapan bahwa untuk bisa diterima harus membayar hingga puluhan juta rupiah. Stigma KKN sepertinya diyakini oleh masyarakat, khususnya kalangan menengah. Lagi-lagi isu ini menjadi milik Antono dengan slogan kampanye ’’Mengapa Pilih Antono, Jadi PNS Tidak Bayar’’.

Dinamika partai pengusung juga berpengaruh. PKB dan PDIP  sebagai pengusung utama Qori dibayangi persoalan internal. Qori butuh energi lumayan untuk meredam ketidakpuasan internal PKB setelah turunnya rekomendasi dari DPP. Disinyalir beberapa PAC memberikan dukungan kepada Antono.  Kenyataannya Qomariyah  kalah di wilayah yang secara tradisional menjadi kantong suara PKB seperti di Kedungwuni dan Wonopringgo.

Demikian pula PDIP. Riswadi sebagai rising star, tidak serta merta mendapatkan dukungan baik dari tokoh maupun akar rumput. Selain itu, secara ideologis figur Antono bagi sebagian warga banteng masih identik dengan PDIP. Kelompok ini memilih Antono daripada Riswadi yang kali ini digandengn Qomariyah.

Terakhir, isu eksekusinya kebijakan yang dipandang  lebih mementingkan dan memprioritaskan kelompok dan kalangan tertentu, telah melahirkan arus balik dari mendukung Qomariyah (Qonco) pada 2006, menjadi menentang Qori pada 2011. Relawan yang pada 2006 sukarela menggerahkan sumber daya untuk kemenangan Qonco, pada 2011 ini mati-matian mendukung Adil.
Pada akhirnya, menjadi pemimpin dalam masa pemilihan langsung seperti sekarang ini memang memiliki kans besar merebut hati masyarakat. Sebaliknya harus memikul risiko besar pula dijauhi konstituen, pemilihm dan masyarakat. (10)

Ali Riza, PNS Kabupaten Pekalongan
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 10 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan