Desentralisasi Korupsi BOS

Perubahan mekanisme penyaluran dana kepada pemerintah kabupaten dan kota mulai 2011 tidak menjawab masalah mendasar dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Karena itu, sekolah dasar dan sekolah menengah pertama gratis serta berkualitas yang menjadi tujuan utama program BOS tidak akan tercapai.

Ada tiga faktor yang menyebabkan pemerintah melalui program BOS gagal merealisasi pendidikan dasar gratis dan berkualitas. Pertama, dana BOS terlalu sedikit bila dibandingkan dengan kebutuhan riil sekolah. Kedua, mekanisme penggunaan dana yang ditetapkan Kementerian Pendidikan Nasional dalam petunjuk pelaksanaan BOS sangat kaku serta kerap bertolak belakang dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi sekolah. Ketiga, korupsi yang merajalela, terutama pada tingkat sekolah dan dinas pendidikan.

Sebaliknya, jika mekanisme penyaluran dana tidak diikuti pengawasan ekstraketat, terutama terhadap dinas pendidikan, potensi korupsi BOS akan jauh lebih besar dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Hasil riset Indonesia Corruption Watch memperlihatkan bahwa tanpa memiliki kewenangan dalam proses distribusi pun ternyata dinas pendidikan (kecamatan dan kabupaten/kota) tetap bisa ikut "menikmati" dana BOS.

Korupsi
Paling tidak ada empat cara yang mereka gunakan. Pertama, meminta setoran langsung. Selama ini pola penyaluran dana BOS langsung diberikan pemerintah pusat kepada sekolah tanpa melalui jalur birokrasi. Tujuannya untuk menghindari potongan-potongan langsung yang kerap dilakukan oleh dinas pendidikan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan, yang biasanya terjadi dalam proyek-proyek sekolah. Namun mekanisme tersebut ternyata disiasati dengan baik oleh dinas pendidikan. Mereka menggunakan kewenangannya dalam mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan kepala sekolah untuk mengendalikan sekolah. Sementara dalam model penyaluran yang lama modus yang digunakan adalah potongan, dalam model penyaluran langsung modus yang digunakan adalah dengan "sistem sodok".

Dana BOS dari pemerintah pusat diterima utuh oleh sekolah. Namun tidak semuanya digunakan untuk kepentingan belajar-mengajar. Sebab, sekolah harus memberikan setoran kepada dinas pendidikan. Jumlahnya tiap daerah berbeda karena cara menghitungnya pun berbeda. Ada yang berdasarkan persentase total uang yang diterima sekolah. Tapi ada pula yang menghitung dengan patokan murid, misalnya alokasi tiap murid dipotong Rp 5.000 kemudian dikalikan dengan total jumlah murid di sekolah. Bahkan, dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Garut, Musyawarah Kepala Sekolah, pengawas, organisasi profesi guru tertentu, dan wartawan pun ikut memperoleh "jatah" dana BOS. Jika tidak setor, sekolah akan dipersulit dalam urusan administrasi atau tidak akan mendapat bantuan lagi.

Cara kedua, menjual produk. Penjualan dilakukan secara paksa. Di Kabupaten Tangerang, kantor cabang dinas ramai-ramai membuat lembar kerja siswa (LKS) yang kemudian mereka edarkan ke sekolah. Semua wajib membeli, walau harganya sangat mahal dengan kualitas sangat buruk. Akibatnya, LKS hanya menumpuk di ruang guru karena tidak dapat digunakan untuk membantu proses belajar-mengajar.

Dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Serang, dinas pendidikan bekerja sama dengan perusahaan swasta guna membuat website sekolah. Sekolah diminta secara paksa membayar biaya sebesar Rp 1,7 juta untuk pembuatan website dengan menggunakan dana BOS. Para pengawas yang menjadi tim pengumpul uang dari sekolah.

Cara ketiga adalah suap. Biasanya diberikan secara langsung kepada mereka yang datang untuk mengawasi penggunaan dana BOS. Beberapa pihak yang selama ini melakukan pengawasan, antara lain, pengawas dari dinas pendidikan. Namun, alih-alih melihat penggunaan uang BOS di sekolah, para pengawas justru meminta sejumlah uang kepada kepala sekolah atau bendahara. Jumlahnya bervariasi, tapi umumnya disesuaikan dengan kerelaan sekolah.

Keempat, modus yang paling sering digunakan adalah meminta biaya administrasi. Biaya biasanya berkaitan dengan proses pencairan uang (biaya rekomendasi) maupun proses pertanggungjawaban dana BOS kepada dinas pendidikan. Jumlah uang yang diberikan sekolah kepada dinas pendidikan berkaitan dengan biaya administrasi bervariasi dan berbeda-beda tiap daerah.

Perubahan mekanisme distribusi akan mengukuhkan kewenangan dinas pendidikan. Korupsi dengan menggunakan keempat pola tersebut pasti makin menjadi. Tidak hanya itu, adanya kewenangan untuk mendistribusikan dana juga membuka peluang bagi pemerintah daerah menggunakan cara-cara lama agar mendapat keuntungan, seperti menahan anggaran supaya memperoleh "bunga".

Selain itu, walau Kementerian Pendidikan Nasional menggunakan alasan otonomi daerah untuk mengubah mekanisme penyaluran, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana BOS. Pemerintah daerah dan sekolah tidak bisa melakukan improvisasi, mereka hanya menjadi pelaksana karena tinggal mengikuti petunjuk pelaksanaan yang telah dibuat oleh Kementerian Pendidikan Nasional.

Mengubah mekanisme penyaluran dana saja tidak cukup untuk mengatasi masalah dalam program BOS. Langkah penting yang harus segera dilakukan adalah memenuhi kebutuhan sekolah agar mampu menyediakan pelayanan berkualitas tanpa membebani warga. Alokasi dana yang disediakan sekarang jelas tidak mencukupi. Itu sebabnya, pemerintah harus menambah anggaran BOS dan mendorong agar pemerintah daerah turut menyediakan dana pendamping.

Pada sisi lain, perang terhadap korupsi dalam penggunaan dana BOS pun terus dikobarkan. Kementerian Pendidikan Nasional harus memberi contoh. Caranya dengan menerapkan nilai-nilai antikorupsi dan tidak melakukan korupsi. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan maupun anggaran dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Kementerian Pendidikan Nasional bisa mengawalinya dengan menjelaskan jumlah dana BOS yang mereka kelola, terutama untuk iklan dan mencetak buku panduan.

Selain itu, jalan yang sudah dibuka oleh Komisi Informasi Pusat dengan memutuskan bahwa surat pertanggungjawaban dana BOS beserta kuitansi di dalamnya merupakan dokumen publik harus dimanfaatkan. Keputusan Komisi Informasi Pusat dimasukkan dalam panduan pelaksanaan BOS dan Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan siap menjalankan keputusan dengan membuka surat pertanggungjawaban kepada publik. Jika sudah begitu, tanpa diminta pun sekolah dan dinas pendidikan akan mencontoh Kementerian Pendidikan Nasional. Jadi bola kini ada di tangan Kementerian Pendidikan Nasional.
 
Ade Irawan, KOORDINATOR DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan