Demokrasi Mi Instan

Selepas pencoblosan dalam pilkada Provinsi Banten beberapa waktu lalu, saya dikirimi foto mi instan bungkus lengkap dengan gambar pasangan calon Gubernur/ Wakil Gubernur Provinsi Banten Ratu Atut dan Rano Karno oleh seorang teman.

Sepintas lalu, orang langsung bisa menebak apa pesan dari pemberian mi tersebut. Saya meyakini,di luar Atut dan Rano Karno, pasangan lain yang sama-sama bertarung dalam Pilkada Banten juga telah melakukan hal serupa meskipun belum ada bukti serupa seperti foto yang telah saya terima. Kelihatannya, tidak ada hubungan dan urusan apa pun antara demokrasi dengan mi instan.

Namun, orang sudah mengetahui sejak lama bahwa mi instan menjadi alat yang efektif untuk memengaruhi pendirian, baik dalam hal agama (keyakinan) maupun politik. Jika kemudian dalam perhelatan demokrasi lokal seperti pilkada beredar banyak mi instan, hal itu menandakan ada upaya,baik yang dilakukan pasangan calon maupun tim suksesnya, untuk membujuk pemilih supaya mencoblos mereka.

Inilah yang dalam kajian politik sering dikenal sebagai politik uang (money politics). Politik uang telah menjelma ke dalam berbagai macam model, tidak sekadar uang,melainkan juga mewujud dalam bentuk mi instan, beras, minyak goreng dan berbagai bahan makanan pokok lainnya dengan merek pasangan calon.

Jika mi instan dan sejenisnya telah dianggap ampuh memengaruhi preferensi politik pemilih,maka sesungguh nya kita tengah dalam ancaman degradasi demokrasi. Demokrasi yang tumbuh dalam masyarakat yang masih membutuhkan mi instan untuk menyambung hidup akan jatuh pada labelitas belaka karena yang sebenarnya terjadi adalah praktik suap-menyuap antara calon pejabat publik dengan warga yang akan memilihnya.

Menggadaikan Hak Pilih
Di luar Provinsi Banten, banyak dari kita yang meyakini modus pemberian mi instan pada masa pencoblosan atau menjelang pencoblosan juga terjadi di berbagai daerah. Maraknya skandal mi instan dalam pilkada mengindikasikan rusaknya integritas politik kita. Padahal pilkada sejatinya adalah kontestasi politik yang bertujuan membuka ruang yang transparan kepada pemilihnya agar dapat menimang dan memilih calon pemimpin mereka yang terbaik.

Jika selama ini penunjukan pejabat politik di daerah oleh pusat ditentang habis-habisan karena dianggap otoriter, maka pemilihan secara langsung dipandang sebagai jalan demokratis untuk menentukan siapa pejabat publik yang paling didukung publik. Akan tetapi, desain demokrasi elektoral yang demikian mengandaikan pemilih yang pintar.

Pemilih yang pintar akan dapat mempertimbangkan dengan akal sehat dan rasionya, mana calon pemimpin yang sanggup menawarkan solusi atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Sebaliknya, pemilih yang minus pengetahuan politik dan pada saat yang bersamaan memiliki persoalan ekonomi yang akut akan menggunakan instingnya untuk memilih calon. Dalam hal ini, kandidat mana yang dapat memberikan iming-iming material meskipun dengan nilai yang tak seberapa akan lebih diliriknya dibandingkan dengan pasangan calon yang cekak kantong meskipun dengan tawaran program kerja yang bagus.

Dampak Buruk Politik Uang
Ketika pasar politik sudah disepakati harus menggunakan daya tarik uang untuk memenangi kompetisi, maka iklim demokrasi akan tercemar oleh praktik suap-menyuap antara pasangan calon dengan calon pemilih.Jika hal ini telah terjadi secara masif, kita telah kehilangan kesempatan untuk merasakan hidup yang lebih baik selama lima tahun ke depan.

Pasalnya, bagi pasangan calon yang telah mengeluarkan belanja politik besar untuk mengoleksi suara mayoritas, hal pertama yang akan dilakukannya adalah memutar otak bagaimana menyiasati sumber daya publik yang ia telah kuasai.Akhirnya korupsi akan menjadi sangat marak karena jalan satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mengembalikan investasi politik adalah dengan cara merampok uang negara.

Tak mungkin seorang pemenang pilkada akan mengandalkan gaji dan pendapatan resmi lainnya untuk memulangkan biaya politik yang telah ia keluarkan.Seperti yang dilakukan oleh salah seorang kandidat kepala daerah di salah satu kabupaten di Papua,begitu KPUD menyatakan dirinya dan pasangannya sebagai pemenang Pilkada, kontan ia menghubungi bendahara umum daerah untuk dikirimi uang. Alasannya untuk membuat baju resmi dalam rangka pelantikan nantinya.

Musuh Demokrasi
Musuh besar demokrasi adalah politik uang. Meskipun terkesan sepele,politik uang telah merusak tatanan dan nilai-nilai luhur demokrasi. Politik uang juga telah memutus tali mandat antara konstituen dengan politisi. Politisi yang terpilih karena politik uang akan menjadi pejabat yang korup,sementara konstituen yang memilih kandidat karena sesuatu yang ia terimanya telah kehilangan kesempatan untuk meminta akuntabilitas politik. Merajalelanya politik uang dalam pilkada hanya akan menihilkan substansi demokrasi.

Jika ada yang mendebat, mana yang lebih dahulu diwujudkan, demokrasi atau kemakmuran, saya akan menjawab bahwa demokrasi akan lebih menjanjikan kemakmuran daripada yang lain.Akan tetapi demokrasi juga akan sulit berkembang dalam situasi sosial yang buruk.Ketika kemiskinan merajalela, pragmatisme dalam politik akan berkembang.

Orang tidak akan peduli lagi seperti apa nasib mereka dalam jangka panjang karena masalah yang harus diselesaikan adalah urusan perut yang tidak bisa menunggu kebijakan politik. Lantas, bagaimana menyelesaikan problem politik uang dalam pilkada? Tentu tidak ada jalan instan untuk menyelesaikannya.

Namun, masyarakat perlu menyadari bahwa penipuan terus-menerus dalam sekantong plastik bingkisan bergambar pasangan calon dapat dihentikan ketika mereka tak memilih pemberinya.Kuncinya ada pada kita sebagai pemilih. Kita harus berani berkata tidak terhadap politik uang karena toh sebungkus mi instan hanya akan membuat kita kenyang dalam sekejap.

ADNAN TOPAN HUSODO, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) 
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 3 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan