Darurat Parlemen

DPR sepertinya telah kehilangan nurani. Setelah tertunda pada tahun sebelumnya, pembangunan gedung baru DPR akan kembali dibahas pertengahan Januari ini.

Begitulah hasil rapat Badan Urusan Rumah Tangga DPR pada 4 Januari 2011.

Tekanan dan desakan publik yang begitu kuat menolak pembangunan gedung itu ternyata tak berpengaruh apa pun terhadap sikap anggota parlemen. Pemerintah dan DPR malah telah mengalokasikan dana Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 sebagai anggaran tahap pertama.

Sikap kukuh DPR tetap membangun gedung baru layak dicurigai karena tak ada argumentasi yang bisa dipahami publik. Kecurigaan itu bisa dimulai ketika DPR menyatakan gedung lama miring sehingga tak lagi layak digunakan. Alasan itu terbantahkan dengan sendirinya karena ternyata tak didukung data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kinerja minus
DPR tak berhenti hanya sampai pada alasan gedung miring. Upaya meningkatkan kinerja anggota menjadi alasan selanjutnya untuk memuluskan pembangunan gedung baru. Alasan tersebut sangat kontras ketika kita mencoba membandingkan kinerja DPR selama 2010. Penilaian ini bisa dilakukan dengan berpijak pada tiga fungsi DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Fungsi legislasi: DPR pada 2010 menargetkan akan menyelesaikan 70 rancangan undang- undang (RUU) sebagaimana tercantum dalam Program Legislasi Nasional 2010. Namun, di tengah jalan DPR mengurangi target itu menjadi 35 RUU. Hingga akhir 2010, DPR ternyata hanya mampu menyelesaikan 14 RUU. Ini berbanding terbalik dengan anggaran di bidang legislasi yang meningkat hingga 76 kali lipat (2005-2010).

Fungsi anggaran: sorotan publik atas beberapa butir pengeluaran APBN pada 2010, seperti anggaran studi banding DPR, perjalanan dinas, dan biaya pakaian presiden, menjadi kenyataan terburuk bagi kinerja DPR dalam pengelolaan anggaran. Bayangkan, biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan dinas DPR dan pemerintah selama tahun 2010 mencapai Rp 19,5 triliun. Nilainya jauh lebih besar dari anggaran untuk pelayanan publik, seperti pos anggaran untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat yang hanya sekitar Rp 4,5 triliun. Ketimpangan ini bisa dipandang sebagai bentuk kegagalan DPR dalam fungsi anggaran.

Fungsi pengawasan: selama tahun 2010 nyaris tidak berjalan. Suara mayoritas partai pendukung pemerintah di DPR menjadi buah simalakama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Ini menyebabkan DPR seolah-olah hanya menjadi alat legitimasi untuk membenarkan kebijakan pemerintah. Apalagi, keberadaan Sekretariat Gabungan semakin mengooptasi kekuatan politik di DPR.

Ada banyak kasus hukum yang tersandera karena lemahnya pengawasan DPR. Sebut saja kasus Bank Century yang tak menunjukkan titik terang sampai saat ini. Padahal, rekomendasi DPR menyebutkan terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah dalam memutuskan dana talangan atas Bank Century saat itu.

Deretan kegagalan DPR ini seharusnya dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja sesuai dengan fungsi yang ditentukan dalam UU. Bukan justru menuntut pembangunan gedung baru yang tak jelas tujuan dan manfaatnya.

Kuatnya keinginan DPR untuk tetap melanjutkan pembangunan gedung baru ini tak hanya memperlihatkan pendangkalan komitmen DPR atas perubahan terhadap kinerjanya, tetapi juga sebagai bentuk inkonsistensi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Pemburu rente

Keengganan DPR untuk mengabaikan penolakan publik atas inisiatif pembangunan gedung ini menimbulkan dugaan adanya kepentingan bisnis yang ikut bermain. Ini hampir terjadi dalam setiap proyek pengadaan yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Praktik semacam itu sebetulnya telah dikenal sejak tahun 1967. Gordon Tullock menggunakan istilah rent untuk menjelaskan sebuah proses ketika seseorang atau perusahaan mencari keuntungan melalui manipulasi situasi ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

Anne Krueger (1973) memperkenalkan teori pemburu rente yang dikembangkan dari pemikiran Gordon terkait dengan monopoli pengusaha atas kekuasaan politik. Hal semacam itulah yang dicurigai terjadi di balik pembangunan gedung baru DPR.

DPR seolah-olah tak berdaya melawan tekanan dari para pemburu rente. Mungkin saja itu terjadi karena mereka telah mengooptasi semua sektor kekuasaan politik yang ada sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan selalu didasarkan pada kepentingan kelompok tersebut.

Dengan kondisi semacam ini, DPR semestinya menyadari fungsi mereka yang sesungguhnya. Legitimasi yang diberikan oleh masyarakat harus dimaknai sebagai kekuasaan yang semestinya juga berpihak pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan para pemburu rente.

Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan