Dari Panama Papers hingga Pandora Papers: Pemerintah Tak Pernah Serius
Setelah dibuat gempar dengan skandal Panama dan Paradise Papers, publik kembali dibuat geger dengan Pandora Papers. Serupa dengan pendahulunya, dokumen yang diungkap dalam Pandora Papers menyebut keterkaitan pejabat publik berpengaruh Indonesia dengan kepemilikan perusahaan di negara suaka pajak. Sayangnya, untuk keseluruhan masalah serius itu, Pemerintah tidak mengambil tindakan apapun.
Dokumen Pandora Papers diungkap oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). ICIJ menerima bocoran data finansial rahasia 14 agen perusahaan cangkang di negara suaka pajak seperti British Virgin Islands dan Republik Panama. Dokumen itu mengungkap 11,9 juta rekam data yang berisikan kesepakatan bisnis dan kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Perusahaan cangkang tersebut diantaranya dimiliki nama-nama bekas presiden, politikus, dan pengusaha besar dari berbagai negara. Sebelumnya, ICIJ telah berhasil mengungkap dokumen Panama dan Paradise Papers.
Pandora Papers turut mengungkap nama-nama terkemuka di Indonesia yang merupakan pejabat publik dan pebisnis. Mereka antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto beserta saudara lelakinya, Gautama Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan, pebisnis Edward Seky Soeryadjaya, dan keluarga Ciputra.
Penting untuk dicatat, bahwa mendirikan atau memiliki keterkaitan dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak tidak selalu berarti melanggar hukum. Namun, perusahaan cangkang di negara suaka pajak kerap digunakan untuk menghindari pajak atau aktivitas ekonomi gelap lainnya. Misalnya, seseorang dapat dengan sengaja mengalihkan keuntungan ke perusahaan tersebut, sehingga terhindar dari keharusan membayar pajak. Dalam hal ini negara merugi karena kehilangan penerimaan pajak.
Dengan terungkapnya skandal Pandora Papers, ICW melihat urgensi untuk menyoroti beberapa hal, antara lain, pertama, berkaca dari pengalaman Panama dan Paradise Papers, tindak lanjut, pendalaman, serta penelusuran secara serius tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah. Indikasi praktik penghindaran atau kecurangan pajak mestinya didalami dan tanpa pandang bulu. Dokumen Panama, Paradise, dan Pandora Papers bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan hal tersebut. Dari sisi perpajakan, Pemerintah dapat menugaskan Dirjen Pajak untuk menelusuri dokumen tersebut. Lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa ikut digandeng.
Kedua, ada pelanggaran serius etika publik apabila pejabat publik terindikasi melakukan praktik kecurangan melalui keterkaitannya dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Kendati belum tentu melanggar hukum, dari sisi etika publik hal itu bukanlah sesuatu yang patut karena potensi penipuan yang relatif dominan dalam skema pendirian perusahaan cangkang di negara surga pajak. Berkaca dari geger Panama Papers di Islandia pada tahun 2016, Perdana Menteri Islandia Sigmundur Davíð Gunnlaugsson mengundurkan diri karena memiliki keterkaitan dengan perusahaan cangkang dan tekanan publik yang masif.
Ketiga, ada indikasi ketidakjujuran dari pejabat publik dalam melaporkan harta kekayaan yang dimiliki melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Penyertaan modal atau investasi pada perusahaan yang berbadan hukum wajib untuk dilaporkan dalam LHKPN, lengkap dengan jumlah saham yang dimiliki beserta nilainya. Para pejabat publik yang namanya disebutkan diduga tidak melaporkan kepemilikan perusahaan di negara suaka pajak dalam LHKPN.
Keempat, ada celah hukum di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan. Contohnya adalah kelemahan dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 13 tahun 2018 mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner/BO). Dalam Perpres tersebut korporasi di Indonesia diharuskan melaporkan pemilik manfaat kepada pemerintah. Akan tetapi Perpres tersebut tidak dapat menjangkau perusahaan yang didirikan di luar negeri oleh warga negara Indonesia.
Kelima, polemik Panama hingga Pandora Papers menunjukkan pentingnya untuk membuka informasi kepemilikan perusahaan serta pemilik manfaat atau pemilik sebenarnya (BO) kepada publik luas. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab jika korporasi melakukan praktik kecurangan, serta membantu aparat penegak hukum untuk menindak pihak yang paling bertanggungjawab.
Dengan berulangnya skandal kepemilikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak, baik yang melibatkan pejabat publik dan pebisnis Indonesia, Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk memperbaiki celah regulasi domestik dan melakukan koreksi total atas kelemahan penegakan hukum yang selama ini dimanfaatkan untuk melarikan, menyembunyikan, dan menumpuk aset pribadi melalui skema-skema gelap yang bersifat transnasional. Karena ketidakberdayaan Pemerintah dalam merespon masalah ini mencerminkan penaklukan politisi-pebisnis Indonesia atas kedaulatan rakyat dan demokrasi.
Jakarta, 12 Oktober 2021
Indonesia Corruption Watch
Narahubung:
Egi Primayogha