Dana Otsus Rawan Korupsi

Dana otonomi khusus Aceh dan Papua kerap menjadi sorotan karena kontroversi tentang efektivitas pemanfaatannya dan membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Otonomi Khusus, yakni UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua memberikan kapasitas keuangan yang besar dan kewenangan mengelola secara otonom oleh pemerintah daerah Aceh dan Papua.

Setelah amandemen  UUD 1945, ada pasal 18B yang menyebut negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Maka, sejak 2008 telah digelontorkan rata-rata hampir Rp 6 triliun per tahun untuk Aceh dan sejak 2002 untuk Papua rata-rata Rp 4,4 triliun per tahun. Dana otonomi khusus (otsus) berlaku 20 tahun, berasal dari 2 persen (turun menjadi 1 persen untuk Aceh setelah 2022 hingga 2027) plafon dana alokasi umum (DAU).

Apakah peningkatan kemampuan keuangan pemerintah daerah plus kewenangan otonomi yang luas tersebut paralel dengan kenaikan kesejahteraan masyarakat di ujung barat dan timur Indonesia ini?

Menurut data Badan Pusat Statistik, Aceh dengan angka kemiskinan 15,92 persen (kondisi September 2017) masih merupakan provinsi termiskin keenam di Indonesia. Demikian pula Provinsi Papua dan Papua Barat dengan angka kemiskinan 27,76 persen dan 23,12 persen, adalah dua provinsi termiskin: jauh di atas angka kemiskinan nasional 10,12 persen.

Padahal, anggaran total Aceh (APBA) 2018, misalnya, lebih dari Rp 15 triliun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua lebih dari Rp 14 triliun dan APBD Papua Barat lebih dari Rp 7 triliun, suatu besaran yang fantastis dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Kendati ada program-program yang sangat bagus seperti di Aceh dalam bentuk beasiswa anak yatim, beasiswa pendidikan tinggi, jaminan kesehatan rakyat Aceh, dan dana pembangunan gampong (desa), distorsi masih saja terjadi.

Sungguh ironis bahwa Aceh dan Papua masih menyalahkan pemerintah pusat, merasa belum ada komitmen serius dalam mengimplementasikan UU otsus.

Di sisi lain, pemerintah daerah tidak mengelola otsus dengan baik, bahkan kerap mencuat kasus-kasus korupsi besar. Ada banyak celah yang membuat pejabat publik di daerah otsus berkesempatan untuk korupsi.

Pertama, jumlah dana otsus yang besar (di Aceh sekarang disebut dana otonomi khusus Aceh/DOKA) menghasilkan proyek-proyek dengan dana lumayan besar pula sehingga memicu bancakan para pejabat eksekutif dan legislatif daerah.

Tahun anggaran 2018, misalnya, pemerintah mengalokasikan Rp 20 triliun dalam bentuk dana otsus. Provinsi Aceh mendapat Rp 8,03 triliun, Papua Rp 5,62 triliun, sedangkan Papua Barat Rp 2,41 triliun. Bahkan, untuk Papua masih ditambah Rp 4 triliun dalam bentuk Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat. Yang terakhir dimaksudkan untuk menghilangkan isolasi wilayah di Papua.

Terjadilah fenomena ”ada gula ada semut”. Tarik-menarik antara eksekutif dan legislatif dalam pembahasan anggaran setiap tahun berujung pada keterlambatan pengesahan anggaran. Ini tidak terlepas dari ketidaksepakatan ”pembagian” dana otsus antara keduanya.

Kedua, kewenangan pengelolaan tanpa perencanaan dan pengawasan yang efektif membuat peluang korupsi terbuka lebar. Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional yang diatur UU No 25/2004 tidak ada mekanisme perencanaan dan evaluasi pembangunan terkait otsus.

Program pembangunan khusus hanya tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang biasa. Padahal, menurut UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, dana otsus dibatasi untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan rakyat dari kemiskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Untuk Papua, menurut UU No 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, sebagaimana diubah dengan UU No 35/2001, penggunaan dana otsus terutama untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Kendati ada batasan demikian, tetap saja dana otsus mengalir sampai jauh ke mana-mana.

Pelaksanaan otsus
Karena diskresi kewenangan otsus, seyogianya pemerintah Aceh, Papua, dan Papua Barat menyusun rencana induk sektoral 20 tahun. Namun, hingga lebih dari sepuluh tahun (Aceh) dan 16 tahun (Papua) tidak pernah terdengar rencana induk untuk acuan pelaksanaan otsus. Jika pun disusun, tidak jelas pula posisinya dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Di sinilah celah yang memungkinkan lobi-lobi anggaran antara eksekutif dan legislatif, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Ketiga, aturan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam konteks otsus tidak tegas. Maka, tidak heran, misalnya dalam kasus Aceh, gubernur dan DPRD leluasa mengubah dana otsus untuk dibagi antara provinsi dengan kabupaten/kota dan cara pengelolaannya.

Tahun 2008 ketika pertama kali dana otsus diimplementasikan hingga 2012, melalui Qanun Aceh No 2/2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, seluruh dana otsus diadministrasikan di tingkat provinsi.

Pemerintah kabupaten/kota hanya dapat mengusulkan maksimum 40 persen dari total dana otsus. Jika provinsi menyetujui, alokasi per kabupaten/kota diatur menurut formula tertentu dan pelaksanaan anggaran dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Maka, yang terjadi adalah proyek-proyek di kabupaten/kota yang tidak fungsional karena sekadar proyek. Gedung, sarana, dan prasarana yang terbengkalai banyak dijumpai di kabupaten/kota di Aceh.

Karena ketidakpuasan di kabupaten/kota, pada 2013 kebijakan diubah dengan Qanun Aceh No 2/2013, bahwa anggaran otsus dialokasikan dalam bentuk dana transfer kepada kabupaten/kota. Namun, tetap saja kewenangan provinsi masih begitu besar.

Tahun 2016 kebijakan diubah lagi dengan Qanun Aceh No 10/ 2016. Seluruh program pembangunan yang menggunakan dana otsus di kabupaten/kota diadministrasikan kembali di provinsi, sementara kabupaten/kota hanya dapat mengusulkan maksimum 40 persen dari total dana otsus.

Kebijakan pengelolaan dana otsus yang kerap berubah menjadi pertanda belum jelas dan tegasnya mekanisme pengelolaan dana otsus. Pemerintah pusat pun tidak mengintervensi untuk pemanfaatan dana otsus agar bisa lebih efektif.

Sepenuhnya daerah
Setelah 2002—ketika Papua mendapat dana otsus—dan Aceh setelah 2008, pemerintah pusat seolah lepas tangan dan menyerahkan pengelolaan dana otsus sepenuhnya kepada pemerintah Aceh dan Papua. Kendati setiap tahun APBD Aceh, APBD Papua, dan APBD Papua Barat mesti mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri, yang terjadi hanya formalitas, tanpa pengawasan penggunaan keuangan yang efektif.

Tidak ada pemantauan dan evaluasi atau audit yang baik terhadap kepatuhan pengelolaan keuangan otsus. Tim Pemantau Otsus Aceh dan Papua yang dibentuk DPR juga tidak bekerja efektif, hanya perjalanan seremonial ke Aceh dan Papua tanpa tindak lanjut.

Apakah hasil pemantauan dibahas serius dengan pejabat eksekutif pemerintah terkait? Atau memang tak ada temuan berarti yang perlu ditindaklanjuti?

Kendati ada sanksi dari pemerintah berupa penundaan pencairan DAU karena keterlambatan pengesahan anggaran oleh DPRD, biasanya itu hanya merupakan penundaan yang tidak membawa efek jera. Nyatanya, keterlambatan pengesahan terus berlangsung. APBD Aceh 2018 baru disahkan pada akhir Maret dan APBD Papua Barat pada Januari. Sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) dalam jumlah besar yang terus menerus terjadi mengindikasikan tidak efektifnya implementasi anggaran.

Dalam kondisi keterlanjuran yang panjang, apa yang mesti dilakukan? Hanya tersedia waktu 9 tahun lagi bagi Aceh dan 3 tahun lagi bagi Papua untuk benar-benar memanfaatkan dana Otsus bagi kemakmuran rakyat.

Pemerintah pusat harus mengambil alih kendali untuk mencegah inefisiensi atau pemborosan lebih lanjut. Jika perlu, pemerintah dan DPR dapat mengusulkan revisi UU No 11/ 2006 tentang Pemerintah Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Kementerian Dalam Negeri juga perlu lebih efektif mengawasi pelaksanaan otsus, sementara Tim Pemantau Otsus bentukan DPR sebaiknya dihapus saja. Pemerintah pusat juga mesti membimbing daerah otsus dengan aturan di tingkat pusat dan daerah yang lebih efektif sehingga dana otsus dalam sisa waktu tersebut benar-benar dapat menanggulangi ketertinggalan di Aceh dan Papua.

Nazamuddin Doktor alumnus Colorado State University; Mengajar Keuangan dan Penganggaran Negara pada FEB Universitas Syiah Kuala

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 8 Agustus 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan