Dana Milik Desa
Korupsi telah menghukum desa. Legitimasi tata kelola pemerintahan runtuh sehingga dana desa tahun depan dipotong separuh. Sayang, sanksi finansial itu meleset dari aturan ataupun kemanfaatan.
Hingga kini, nihil legalitas terkait pengguntingan anggaran lantaran ada kasus korupsi. Kementerian Keuangan boleh memotong dana desa, tetapi hal itu kala desa gagal membelanjakan kurang dari 70 persen anggaran sebelumnya (PP No 8/2016 Pasal 27). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) cuma berhak menghentikan sementara kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa tersangka pengorupsi dana desa (Permendagri No 82/2015 Pasal 9 dan Permendagri No 110/2016 Pasal 21).
Salah hitung
Agar purbasangka sebagai gunung es meleleh, sebaiknya semua pihak tanpa sungkan menelepon Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) pada nomor 1500040 guna melaporkan dugaan korupsi desa. Faktanya, sampai sekarang jumlah kepala desa yang disangka mengorupsi, didakwa, serta dijatuhi hukuman sekitar 600 orang.
Namun, sanksi pengguntingan dana desa bakal menimpa 74.910 desa beserta segenap warganya. Dapat dibaca, sanksi berlipat ganda mencapai 125 kali dibandingkan penyebabnya!
Penggelembungan hukuman mencuatkan praduga lemahnya keberpihakan pemerintah kepada desa. Padahal, cita-cita pembangunan dari pinggiran hendaknya mengejawantah dalam kemajuan desa dan kesejahteraan warganya.
Apalagi, belum sekalipun desa mendapat hak dana secara penuh seturut UU No 6/2014 tentang Desa. Hak desa ialah senilai Rp 120 triliun, yang mestinya dicapai pada anggaran 2018. Sayang, realisasi dana desa pada 2015 cuma Rp 20,7 triliun, lalu pada 2016 hanya Rp 46,9 triliun, selanjutnya pada 2017 ditransfer Rp 60 triliun, akhirnya perencanaan pada 2018 dipotong menjadi stagnan Rp 60 triliun.
Pemerintah berlindung di balik pasal-pasal peralihan pada PP No 60/2014 berupa kelonggaran mengurangi dana desa kala APBN tidak mampu memenuhi amanat UU Desa. Persoalannya, aturan itu merumuskan dana desa bernilai absolut berupa jumlah anggaran kegiatan berbagai kementerian dan lembaga negara ke desa. Akibatnya, ketika kementerian tidak merancang pembangunan di wilayah desa, dana desa turut menyusut.
Padahal, hukum lebih tinggi mendefinisikannya sebagai nilai relatif 10 persen dari dana perimbangan ke daerah dikurangi dana alokasi khusus (bagian Penjelasan UU No 6/2014 Nomor 9). Lantaran otonomi daerah memastikan dana perimbangan selalu tersedia, otomatis dana desa bakal terus mewujud. Nilai relatif itu sekaligus menandai keberpihakan bagi desa. Sebab, yang butuh dilakukan justru realokasi minimal satu desil dari pembangunan daerah ke desa. Maka, menggunting separuh dana desa tahun depan laksana mengerdilkan kembali rekognisi desa.
Kasus korupsi kepala desa membentuk dalih pemerintah mengalihkan Rp 60 triliun sisanya menjadi program beragam kementerian. Alasannya, pada akhirnya keluaran program itu bakal mencapai desa.
Yang luput disadari, mekanisme pengambilan keputusan di kementerian mengabaikan partisipasi warga desa. Ini berkebalikan dari asas subsidiaritas dalam UU Desa guna memaksimalkan wewenang musyawarah desa dalam menggali kebutuhan warga serta memutuskan kegiatan pemenuhannya.
Meluruskan hak
Sejak 2015, saban tahun Kementerian Desa PDTT menelurkan aturan penggunaan dana desa bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Bahkan, Peraturan Mendesa PDTT No 4/2017 Pasal 4 memprioritaskan belanja kegiatan badan usaha milik desa (BUMdes), embung, produk unggulan desa, dan sarana olahraga. Pemerintah kabupaten lazim pula menambahi aturan item belanja prioritas daerah.
Aturan pusat dan daerah menjelma sebagai panduan verifikasi rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) desa dan anggaran pendapatan dan belanja (APB) desa. Pengubahan alokasi oleh desa dicatat inspektorat daerah dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai penyelewengan anggaran. Tanpa wewenang memutuskan kegiatan pembangunan sendiri, peran musyawarah desa muspra belaka.
Lewat musyawarah desa
Oleh karena itu, kini telah mendesak menegaskan kembali Pasal 72 pada UU Desa bahwa dana desa adalah hak milik desa! Didasari asas rekognisi, pasal itu mewajibkan pemerintah menjumputnya dari APBN.
Legitimasi penggunaan dana desa hanya boleh muncul dari musyawarah desa (Pasal 80). Sebab, inilah forum penyusun RPJM desa dan APB desa, yang ditahbiskan sebagai satu-satunya dokumen perencanaan desa (Pasal 79). Pasal itu sekaligus menuliskan konsekuensinya, yaitu program pemerintah pusat dan daerah berskala desa wajib dikoordinasikan atau didelegasikan kepada desa (Ayat 6).
Nah, aturan Kemendesa PDTT dan pemda justru harus sejalan dengan RPJM desa. Inilah dokumen basis verifikasi audit inspektorat dan BPKP.
Skrip tegas UU Desa menutup ruang otak-atik besaran dana desa. Kekecewaan kepada desa lebih tepat diobati melalui perbaikan ruang rawan korupsi terbesar, yaitu tahap pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Prioritas pembangunan infrastruktur dan kawasan unggulan dapat mengadopsi pengalaman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merencanakan hingga mengawasi program pemberdayaan selama kurun 2005-2014. Teladan jaringan Bumdes, BUMD, dan BUMN inisiatif Kemendesa PDTT perlu segera dipahami pendamping agar mereka piawai melayani kebutuhan desa. Transparansi segenap dana desa senantiasa diawasi lewat https://sipede.ppmd.kemendesa.go.id.
Ivanovich AgustaSosiolog Pedesaan IPB
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Oktober 2017