Dana Kapitasi Sangat Rawan Dikorupsi Kepala Daerah dan Birokrat Daerah
Dana kapitasi yang ditransfer belasan triliun tiap tahun oleh BPJS Kesehatan pada FKTP terutama puskesmas rawan dikorupsi oleh birokrat daerah di sektor kesehatan. Tidak hanya itu, dana kapitasi juga digunakan untuk menyuap kepala daerah, akreditasi puskesmas dan dana kampanye pilkada oleh petahana. Akibatnya, ratusan miliar dan bahkan triliunan dana ini diduga menguap tidak jelas.
Demikian salah satu kesimpulan dan dari kajian ICW atas peta potensi fraud dan korupsi dalam pengelolaan dana kapitasi. Kajian menggunakan data hasil investigasi ICW dan masyarakat sipil di 14 daerah dalam pelayanan puskesmas pada pasien PBI (Penerima Bantuan Iuran) tahun 2017 dan kasus korupsi dana kapitasi yang terjadi sejak tahun 2014 dan disidik oleh penegak hokum.
ICW dan kelompok masyarakat sipil menemukan 13 potensi fraud yang kemungkinan terjadi di Puskesmas. Dari 13 potensi fraud tersebut, 8 temuan terkait dengan pengelolaan dana kapitasi, yakni memanfaatkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (2 temuan), memanipulasi bukti pertangungjawaban dan pencairan dana kapitasi (1 temuan) dan menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya kapitasi dan/atau non kapitasi sesuai dengan standar tarif yang ditetapkan (5 temuan).
Sementara itu, berdasarkan penegakan hukum kasus korupsi dana kapitasi ditemukan paling sedikit telah terjadi 8 kasus korupsi terkait pengelolaan dana kapitasi di 8 daerah Indonesia. Kerugian negara terkait kasus ini mencapai Rp 5,8 miliar. Jumlah tersangka terkait dengan kasus dana kapitasi ini mencapai 14 orang.
Menariknya, meski dalam jumlah kasus dan kerugian negara kecil, akan tetapi korupsi dana kapitasi tidak hanya melibatkan birokrasi menengah bawah (Kepala Puskesmas dan Bendahara) akan tetapi juga melibatkan pejabat Dinkes seperti Kadinkes, Sekretaris Dinkes, Bendahara Dinkes dan Kabid Dinkes. Lebih dari itu, kepala daerah juga ikut terlibat dalam menikmati aliran dana kapitasi ini.
Dari 8 kasus korupsi dana kapitasi, paling tidak dua kepala daerah telah ikut terseret dalam pusaran kasus ini yakni, Bupati Jombang dan Bupati Subang. Kedua kepala daerah ini diduga telah menikmati aliran dana kapitasi. Selain itu, terdapat 4 Kandinkes juga menjadi tersangka terkait dalam kasus ini yakni, Kadinkes Pesisir Barat Provinsi (Lampung), plt Kadinkes Jombang (Jatim), Kadinkes Lampung Timur (Lampung), Kadinkes Ketapang (Kalbar).
Sementara itu, selain Kepala daerah dan pejabat eselon 2 dan 3 Dinkes, Kepala Puskesmas juga ikut menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana kapitas. Terdapat 3 orang kepala puskesmas dan bendahara puskesmas yang juga ikut terseret dalam kasus korupsi. Mereka diduga memanipulasi dokumen terkait dana kapitasi atau ikut memotong dana kapitasi untuk jasa pelayanan pada petugas puskesmas.
Peta Fraud Dan Korupsi Dana Kapitasi
No |
Pola |
Dugaan Pelaku |
Penyebab |
Solusi |
1. |
Manipulasi dokumen dan isinya untuk perhitungan Jaspel seperti dokumen absensi dan jumlah pegawai |
Petugas puskesmas (medis non medis, bendahara dan kepala puskesmas |
Adanya desakan untuk menyetor sebagian dana kapitasi pada atasan. Kebutuhan dana puskesmas yang tidak bisa dipenuhi oleh dana kapitasi, BOK dan lainnya. Adanya keinginan untuk keuntungan pribadi kepala puskesmas dan bendahara Sistem pencatatan pertanggungjawaban keuangan belum baik. Petugas puskesmas takut pada kepala puskesmas |
Transparansi dokumen perhitungan pembagian jaspel ditingkat puskesmas pada publik Membangun Sistem Perlindungan dan Jaminan bagi saksi pelapor di internal petugas puskesmas dan Dinkes (Whistle Blower System) Memperkuat sistem pemeriksaan terutama anggaran pemeriksaan dana kapitasi puskesmas. Penegakan aturan terutama pemberian sanksi bagi pelaku. Membangun sistem elektronik untuk perhitungan, perencanaan, penganggaran, belanja, pertanggungjawaban dan pengelolaan aset puskesmas (e-govt). |
2. |
Pemotongan dan jaspel |
Kepala Puskesmas dan Bendahara |
Kepala puskesmas memiliki otoritas kuat dalam puskesmas sehingga pegawai tidak berani mengkritik jika terjadi pemotongan anggaran Sistem pengawasan internal pemda lemah |
|
3. |
Menyetor dana hasil pemotongan jaspel pada kepala dinas kesehatan atau kepala daerah (menyuap). Dana juga digunakan untuk membiaya kegiatan lain seperti sertifikasi/akreditasi puskesmas |
Kepala Puskesmas dan Bendahara |
Ada ketakutan pada atasan untuk dimutasi atau dicopot dari jabatan. Ingin mendapatkan pendapatan dan belanja sesuai dengan keinginannya Sistem pengawasan pegawai rendah Adanya kebutuhan untuk dana kampanye atau dana politik/pilkada |
|
4. |
Manipulasi dan penggelembungan harga pembelian obat dan bahan habis pakai yang didanai dari dana kapitasi untuk operasional. |
Kepala Puskesmas dan Bendahara |
Sistem pengawasan dan pemeriksaan pertanggungajawaban lemah. Ada pihak lain seperti penyedia obat meubalair dan lainnya yang bersedia memberi atau merekayasa bukti pertanggungjawaban belanja. |
|
5. |
Anggaran ganda, dimana belanja operasional didanai dari dana kapitasi dan BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Kegiatan satu tapi didanai dari dua sumber yakni dana kapitasi dan BOK. Salah satu sumber.dana digelapkan. |
Kepala Puskesmas |
Adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari belanja operasional Adanya permintaan setoran dari atasan. |
|
6. |
Memeras kepala puskesmas pada saat pengesahan rencana pendapatan dan belanja kapitasi setiap tahun. |
Kepala daerah dan Kepala Dinas Kesehatan |
Menguasai informasi tentang besaran dana kapitasi dan BOK yang diterima puskesmas. Kebutuhan dana politik dan kebutuhan pribadi. Kepala puskesmas dan pegawainya adalah anak buah yang takut pada Kadinkes dan Kepala daerah |
|
7. |
Sebagian peserta (PBI) tidak mendapatkan kartu sehingga tidak bisa mengakses layanan puskesmas. Atau, jika mengakses layanan puskesmas harus mengeluarkan biaya sendiri. Informasi ini dijadikan kongkalingkong antara BPJS Kes dengan Kepala Daerah, Dinkes atau Kepala Puskesmas bahwa dana kapitasi yang ditransfer ke FKTP tidak akan habis pada tingkat tertentu. |
|
|
Verifikasi dan validasi peserta terutama terkait dengan apakah mereka telah memiliki kartu JKN-KIS. Membuka informasi peserta JKN-PBI yang ditetapkan oleh Kemenkes dan data BPJS yang menjadi dasar perhitungan dana kapitasi puskesmas. |
Penyebab Korupsi Dana Kapitasi
Dari beberapa peta potensi fraud dan korupsi dana kapitasi diatas dapat diindentifikasi penyebabnya sebagai berikut :
-
Dana yang diterima puskesmas sangat besar.
-
Pengelolaan dana kapitasi puskesmas tidak transparan.
-
Belum efektifnya pendampingan dan pengawasan APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah).
-
Belum adanya sistem perlindungan saksi pelapor dalam pemerintah daerah (Whistle Blower System) dan jaminan karir PNS/ASN pelapor.
Rekomendasi
Terkait dengan masalah ini ICW merekomendasikan hal berikut :
-
Kemenkes perlu memperbaiki regulasi ditingkat permenkes yang mengatur tentang transparansi rencana kerja, anggaran, belanja dan pertanggungjawaban puskesmas pada publik. Puskesmas diwajibkan untuk membuka informasi tentang besaran dana kapitasi yang diperoleh per bulan dan pertahun pada publik serta bukti belanja yang menggunakan dana kapitasi.
-
Kemenpan RB, KPK serta LPSK membangun sistem perlindungan saksi dan pelapor serta jaminan karir bagi PNS/ASN yang mengungkap adanya fraud dan korupsi dalam pengelolaan dana kapitasi.
-
Pemerintah daerah terutama inspektorat daerah membangun program pengawasan sehingga ada anggaran untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas pengelolaan dana kapitasi ditingkat FKTP terutama Puskesmas.
-
Penegak hukum harus mengusut tuntas penyelewengan dana kapitasi terutama kasus yang berasal dari pelaporan internal pemerintah daerah. Selain itu, Pemerintah daerah harus memberi sanksi tegas terhadap pelaku yang menyelewengkan dan memotong dana kapitasi.
-
Kemendagri membuat regulasi terkait pengelolaan dana kapitasi secara elektronik.
-
BPJS Kesehatan membuka data peserta pada publik terutama peserta yang telah mendapatkan kartu BPJS Kesehatan agar bisa diverifikasi dan validasi oleh publik.
Jakarta, 13 Februari 2018
Indonesia Corruption Watch