Cile dan Pers Penyidikan

Cile, negeri yang sempit tapi panjang di sepanjang pantai Amerika Selatan, diberitakan secara luas tahun ini setidaknya karena dua peristiwa.

Pertama, bulan Oktober ketika berhasil menyelamatkan 33 pekerja tambang yang hampir tiga bulan hidup terperangkap di kedalaman lebih dari 600 meter.

Kedua, Monica Gonzalez Mujica, wartawan, yang mendapat Penghargaan Kebebasan Pers Dunia Guillermo Cano dari UNESCO, organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya, pada 3 Mei.

Surat kabar Australia The Courier-Mail di Brisbane, ibu kota Negara Bagian Queensland, tempat penghargaan di atas diserahkan, menggambarkan perjuangan wartawan Cile itu sebagai berikut: ”Dituduh melanggar hukum pidana, dua kali dijatuhi hukuman penjara, dan disiksa selama dalam kurungan tidak merintangi Monica Gonzalez Mujica untuk menyelidiki dan melaporkan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi oleh rezim Augusto Pinochet di Cile”.

Jiwa wartawan terancam
Monica ditetapkan oleh UNESCO sebagai wartawan yang paling sulit menanggulangi pekerjaan dalam peliputan penyidikan (investigative reporting) di Cile. Jiwanya sering terancam ketika meliput dan menyiarkan pemberitaan yang sangat kritis, terutama pada masa kekuasaan Jenderal Pinochet.

Namun, negeri itu beberapa tahun terakhir sudah memiliki tingkat kebebasan pers yang sangat baik. Tahun ini, Cile berada pada peringkat ke-33 dari 178 negeri yang diteliti oleh lembaga pengamat pers internasional yang berbasis di Paris, Reporter Tanpa Perbatasan (Reporters Sans Frontières/RSF).

Bandingkan dengan Indonesia yang tahun ini berada pada peringkat ke-117. Ini adalah kemerosotan sangat tajam dibandingkan tahun 2002, ketika kebebasan pers di negeri kita berada pada peringkat ke-57 di antara 139 negeri yang waktu itu diteliti RSF. Itu adalah peringkat terbaik kebebasan pers di Indonesia selama hampir satu dasawarsa terakhir, menurut RSF.

Seperti Indonesia, lebih dari 15 negeri Amerika Latin sudah memiliki undang-undang informasi publik. Hanya dalam waktu empat tahun belakangan ini Cile dan Uruguay, Nikaragua, Honduras, serta Guatemala berhasil menyepakati perundang-undangan kebebasan informasi.

Kebebasan pers
Walaupun demikian, Monica memeringatkan dalam kata sambutannya di Brisbane pada Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei 2010, bahwa perjuangan bagi kebebasan pers masih terus berlangsung di banyak negara Amerika Selatan. Juga di negara-negara yang pemerintahannya pura-pura demokratis.

”Sementara kemabukan demokrasi masih terus menguasai wacana di kalangan para pejabat, tetapi rasa takut dan bahkan kematian muncul lagi di beberapa negara,” kata Monica.

”Wartawan telah menjadi korban-korban pertama dan terus- menerus menghadapi ancaman dari kejahatan terorganisasi, yang melalui teror berusaha mencegah orang untuk mengetahui jaringan mereka dengan polisi, tentara, anggota parlemen, para hakim, dan juga dengan yang lain-lain—yang menamakan dirinya wartawan.”

Lahir tahun 1949, Monica mengungsi selama empat tahun ke luar negeri ketika di Cile terjadi kudeta militer pada 1973. Ia pulang ke Tanah Airnya pada 1978, tapi berkali-kali mengalami usikan dari petugas dinas rahasia sehingga berulang kali pula dia kehilangan pekerjaan. Sebagai wartawan, ia melakukan peliputan penyidikan pelanggaran hak asasi manusia dan keuangan yang menyangkut Jenderal Pinochet dan keluarganya.

Monica mengalami siksaan ketika masuk penjara pada 1984 sampai 1985 karena kegiatan jurnalistiknya. Namun, setelah dibebaskan, ia terjun lagi dalam peliputan penyidikan dan menerbitkan tulisan serta buku mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah militer. Ia ditahan lagi dan beberapa kali dituntut di pengadilan.

Sejak Cile kembali ke demokrasi pada 1990, Monica tetap bekerja sebagai wartawan dan redaktur surat kabar. Ia juga memimpin Pusat Jurnalisme dan Investigasi di Santiago sejak 2007, selain mengadakan lokakarya jurnalisme penyidikan di dalam dan luar negeri.

Monica, seperti juga banyak wartawan profesional di negeri-negeri lain, tidak mungkin melepaskan diri dari jurnalisme penyidikan untuk meliput dan menyiarkan informasi tentang masalah-masalah penting bagi kehidupan masyarakat. Walaupun di suatu negeri sudah lahir undang-undang kebebasan atau keterbukaan informasi, pers masih perlu didorong membongkar informasi penting yang masih sering tersembunyi.

Di Indonesia setidaknya dikenal satu lembaga dan satu perusahaan yang selama beberapa tahun terakhir mendorong pers kita untuk mengembangkan peliputan penyidikan. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan PT HM Sampoerna Tbk setiap tahun menyelenggarakan perlombaan karya jurnalistik investigatif dengan menyediakan penghargaan Mochtar Lubis Award dan Anugerah Adiwarta Sampoerna.

Pilihan juri
Monica dipilih dari 34 calon, yaitu perseorangan atau lembaga yang membela atau memajukan kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers, terutama jika kegiatannya dapat membahayakan jiwa. Para calon diseleksi dari usulan negara-negara anggota UNESCO serta organisasi-organisasi kawasan dan internasional yang juga membela kebebasan berekspresi serta mendukung kebebasan informasi.

Tahun ini, para calon diteliti oleh 12 juri yang dihimpun UNESCO dari berbagai negeri dan diketuai oleh Joe Thloloe, Ombudsman Pers pada Dewan Pers Afrika Selatan. Ke-11 juri lain adalah wartawan dan pengamat pers dari Austria, Indonesia, Polandia, Latvia, Argentina, Malaysia, Italia, Etiopia, Guatemala, Persatuan Emirat Arab, dan Lebanon.

Penghargaan tahunan ini, diadakan sejak 1997, dinamakan UNESCO-Guillermo Cano World Press Freedom Prize sebagai penghormatan kepada almarhum Guillermo Cano, wartawan Kolombia yang meninggal saat menjalankan tugas. Yayasan Cano, yang dibangun keluarga almarhum, menyumbangkan dana bersama beberapa lembaga bagi penyelenggaraan ini.

Para peraih penghargaan ini sebelum Monica adalah Lasantha Wickrematunge (Sri Lanka, 2009), Lydia Cacho (Meksiko, 2008), Anna Politkovskaya (Federasi Rusia, 2007), May Chidiac (Lebanon, 2006), Cheng Yizhong (China, 2005), Raul Rivero (Kuba, 2004), Amira Hass (Israel, 2003), Geoffrey Nyarota (Zimbabwe, 2002), U Win Tin (Myanmar, 2001), Nizar Nayyouf (Suriah, 2000), Jesus Blancornelas (Meksiko, 1999), Christina Anyanwu (Nigeria, 1998), dan Gao Yu (China, 1997).

ATMAKUSUMAH Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo, Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Center, Anggota Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum Pers
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan