Cicak versus Buaya: 6-3

PERTARUNGAN membangun opini publik masih terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Ibarat sebuah pertandingan, dua institusi itu saling serang untuk mengumpulkan skor demi menarik kepercayaan publik. Siapa yang unggul?Boleh dibilang, "pertandingan" tersebut dimulai ketika rekaman perbincangan antara Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji dan Lukas, pengacara Boedi Sampoerna, terungkap dari KPK. Berdasar rekaman itu, lantas mengemuka dugaan bahwa Susno terlibat dalam pusaran kasus Bank Century.

Serangan kepada Polri dimulai, skornya 1-0 untuk KPK.

Rekaman itu membuat berang Susno. Dari situ, muncul pernyataan Susno yang sangat kontroversial. Yakni, dia mengibaratkan polisi sebagai buaya dan KPK sebagai cicak.

Selanjutnya, entah dalam suasana yang sudah diset terlebih dahulu atau tidak, yang jelas polisi menetapkan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah, sebagai tersangka. Mereka dituduh menyalahgunakan wewenang dengan mencekal Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo, bos PT Masaro. Tuduhan untuk Bibit dan Chandra terus berkembang. Mereka juga diduga menerima uang dari Anggoro. Itu berdasar testimoni mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Serangan tersebut membuat polisi bisa menyamakan skor menjadi 1-1. Skor polisi unggul menjadi 1-2 ketika Bibit dan Chandra ditahan dalam perkembangan pengungkapan kasus itu. Status tersangka, ditambah dengan penahanan Bibit dan Chandra, membuat keduanya dinonaktifkan dari jabatan di KPK (merujuk pasal 32 ayat 2 UU tentang KPK).

Kemarahan publik tersengat. Reaksi mendukung KPK menjadi sebuah kesadaran kolektif yang membuncah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sadar bahwa popularitasnya dibangun dari pencitraan opini publik menjadi ikut tersengat. Dia lantas berbicara di hadapan pers dengan penuh percaya diri, bermaksud meredam gejolak massa. Saat itu SBY meminta masyarakat menghargai proses hukum yang dijalankan oleh polisi.

Sayang, pernyataan SBY tersebut tidak mempan menghadang reaksi publik yang mendukung KPK dan mengecam tindakan polisi. Hal itu bisa dimaklumi karena pernyataan tersebut terkesan menafikan keadilan publik. SBY mungkin lupa dengan yang pernah dikatakan oleh John Rawls: Dalam masyarakat yang tertata dengan baik, masyarakat yang secara efektif diatur konsep keadilan bersama, terdapat pemahaman publik mengenai apa yang disebut adil dan tidak adil. Dalam kasus tersebut, yang telah dilakukan oleh polisi terhadap Bibit dan Chandra dipersepsikan oleh masyarakat sebagai tindakan tidak adil.

Apalagi, dalam perkembangan selanjutnya, melalui sidang gugatan judicial review (pasal 32 ayat 1 poin 3 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK) yang diajukan oleh Bibit dan Chandra di Mahkamah Konstitusi (MK), terungkap rekaman pembicaraan menghebohkan antara Anggodo Widjojo (adik kandung Anggoro) dengan sejumlah orang. Dalam rekaman itu terungkap peran Anggodo sebagai aktor intelektual perekayasaan kasus yang menimpa Chandra dan Bibit.

Berdasar rekaman tersebut, sangat mudah diinterpretasikan hubungan antara Anggodo, teman-temannya, serta beberapa petinggi di kejaksaan dan kepolisian. Nama Susno dan Abdul Hakim Ritonga -wakil jaksa agung- disebut, bahkan menyeret nama RI 1. Publik terenyak dan polisi menjadi seperti tak punya wajah lagi. Ketua MK Mahfud M.D. kepada awak redaksi Jawa Pos Minggu malam lalu (8/11) mengatakan bahwa rekaman itu benar-benar di luar dugaannya alias lebih ngeri daripada yang dibayangkan.

Serangan untuk polisi tersebut sangat telak. Jika dikonversikan dengan gol, mungkin jumlahnya sepadan dengan lima gol yang menjebol gawang polisi. Sehingga, skor menjadi 6-2 untuk KPK.

Babak belur oleh opini publik, polisi akhirnya mendapatkan tempat di DPR. Dalam sebuah rapat dengar pendapat di Komisi III DPR Kamis malam lalu (5/11), Kapolri curhat soal nasib korpsnya yang babak belur dihantam opini publik. Di gedung DPR itu Kapolri membeber keyakinan anak buahnya seputar dugaan suap dan penyalahgunaan wewenang oleh Bibit dan Chandra terkait dengan penanganan kasus Masaro. Bahkan, Kapolri menjamin bisa menunjukkan bukti-bukti tak terbantahkan yang terkait dengan dugaan tersebut, tapi akan dibeber di pengadilan.

Penjelasan Kapolri yang disiarkan secara langsung oleh dua stasiun televisi nasional tersebut menarik perhatian publik. Setidaknya, pernah muncul kesan bahwa polisi tidak sekadar menuduh. Hampir semua anggota DPR di komisi III "terpesona" dengan "penampilan" Kapolri. Bahkan, ada yang terang-terangan meminta Kapolri tidak terpengaruh desakan opini publik.

Adegan Kapolri di komisi III itu membuat skor polisi hanya bertambah satu angka, menjadi 3. Mengapa hanya satu angka alias tidak cukup signifikan dalam mengatrol posisi polisi yang terpuruk oleh opini publik?

Pertama, penjelasan Kapolri belum benar-benar meyakinkan. Misalnya, ketika ketua Komisi III DPR yang memimpin sidang bertanya apakah polisi punya bukti bahwa uang dari Anggodo itu benar-benar diserahkan kepada pimpinan KPK? Pertanyaan tersebut hingga acara berakhir tak secara jelas dipaparkan oleh Kapolri.

Kedua, image polisi dan DPR selama ini telanjur tak segagah image KPK dan MK. Karena itu, opini publik masih berpihak kepada KPK. Apalagi, setelah penjelasan Kapolri di komisi III tersebut Ari Muladi muncul ke hadapan publik dengan pengakuan yang menyudutkan polisi. Dia menyatakan pernah dirayu-rayu polisi agar mau mengakui bahwa dialah yang menyerahkan uang dari Anggodo kepada pimpinan KPK.

Padahal, tutur Ari, uang itu tidak diserahkan langsung kepada pimpinan KPK, melainkan melalui tangan Yulianto. Kini saksi kunci beralih ke Yulianto (jangan-jangan, setelah muncul Yulianto mengaku bahwa uang tersebut tidak diserahkan langsung kepada pimpinan KPK, melainkan dia berikan kepada A, B, atau C).

Akhirnya, kita akan terus menyaksikan "pertandingan" antara cicak dan buaya yang belum selesai. (*)

Kurniawan Muhammad, wartawan Jawa Pos

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan