Century dan Sikap Politik SBY

Tim khusus bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait hasil kerja Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century akhirnya sampai pada kesimpulan untuk tidak akan menonaktifkan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tim beralasan, penonaktifan harus sesuai prosedur hukum yang berlaku dengan asas praduga tak bersalah.

Kesimpulan yang dihasilkan oleh tim bentukan pemerintah ini juga mempertegas bahwa, sesuai peraturan perundangan, pejabat negara berhenti sementara setelah memiliki status hukum sebagai terdakwa dan berhenti tetap dari jabatan setelah mendapatkan status bersalah berdasarkan hasil putusan pengadilan.

Hasil rumusan tim pemerintah yang juga telah disetujui Presiden Yudhoyono ini, meski terlihat ingin berdiri pada sisi hukum dan perundangan, tetap saja dimaknai publik sebagai sebuah pilihan sikap politik. Alasan apa pun memang dapat sah digunakan sebagai dalil sebuah keputusan politik. Penting untuk dimaknai bahwa sikap politik adalah posisi atas kepentingan atau kepercayaan dari sebuah kondisi di lingkup kekuasaan. Yang dalam persoalan ini adalah kepentingan dan kepercayaan atas posisi kasus Century dan pihak-pihak di lingkup kekuasaan yang terlibat di dalamnya.

Dari keputusan ini, jelas bahwa Presiden dan jajarannya sebagai sebuah institusi politik dan komunitas elite politik tetap menaruh kepercayaan besar atas posisi politik Boediono sebagai wakil presiden dan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan. Penting sebenarnya mengetahui kalkulasi politik atas kepercayaan ini. Apakah hanya karena semata kedua pejabat ini belum diproses secara hukum atau ada pertimbangan lain.

Yang jelas terbaca adalah Presiden Yudhoyono amat kecewa dengan perubahan dukungan partai politik di DPR terhadap pemerintah, terutama partai dari kubu koalisi. Dan, pada kondisi retaknya kepercayaan atas para partai pendukung, usulan mengganti Boediono dan Sri Mulyani dapat dimaknai sebagai ancaman besar. Terutama nanti dalam menentukan siapa penggantinya. Tentu kompromi politik berikutnya adalah mengakomodasi nama-nama calon wakil presiden dan calon menteri dari usulan partai-partai koalisi yang pada saat ini beberapa di antaranya oleh Yudhoyono masih berstatus sebagai brutus politik.

Pilihan atas Boediono dan Sri Mulyani yang lebih tampak sebagai sosok akademisi, profesional, dan apolitis terlihat lebih aman secara politik di mata pemerintah dan Yudhoyono dibandingkan munculnya aktor politik baru sebagai pengganti. Bisa juga ada ketidaknyamanan tertentu untuk duduk satu meja dengan para pengkhianat politik dari partai koalisi, apalagi misalkan dari partai oposisi. Di samping pertimbangan lain bahwa Yudhoyono memang memegang hak otoritatif memilih jajaran pembantunya.

Pengakuan
Hal penting lain dari keputusan tim bentukan Yudhoyono ini adalah pada pengakuan secara politik atas keputusan DPR. Apakah proses Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century oleh Yudhoyono benar ”dianggap” atau hanya dilihat penting, tetapi tidak mengancam?

Menyikapi hasil Keputusan DPR No PW01/2045 DPR-RI/II 2009-2010 yang disampaikan dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi, Yudhoyono terlihat tidak gegabah. Yudhoyono—seperti biasa—meminta keterlibatan sebuah tim sebagai sebuah strategi politik. Dengan pelibatan pejabat-pejabat yang otoritatif di bidang hukum, keamanan, dan keuangan negara, kesimpulan tanggapan pemerintah atas rekomendasi DPR memiliki legitimasi yang otoritatif dari bidang-bidang tersebut.

Dalam cara pandang berbeda, hasil kesimpulan tim ini kira-kira mengandung arti legitimasi tersirat atas status tidak bersalah Boediono dan Sri Mulyani sebelum memiliki dasar keputusan hukum. Untuk kesimpulan ini didukung oleh pejabat otoritatif, yaitu Menteri Hukum dan HAM, Kapolri, dan Jaksa Agung. Keputusan ini memang secara faktual dapat diterima dengan ”tidak adanya” nama Boediono dan Sri Mulyani yang berstatus baik sebagai terlapor, tersangka, maupun terdakwa di lembaga penegak hukum.

Memasukkan Kepala BPKP dalam tim juga seakan menunjukkan ”belum” ada masalah sejauh ini—setidaknya dari penarikan kesimpulan oleh Pansus Bank Century—yang mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani memiliki masalah terkait pengelolaan anggaran negara. Apalagi BPKP selama ini menjadi andalan KPK di dalam membuat kesimpulan atas indikasi kasus-kasus korupsi yang ditanganinya.

Dengan membentuk tim yang otoritatif dan menghasilkan keputusan yang hampir bertolak belakang dengan rekomendasi DPR, Yudhoyono ingin menunjukkan bahwa pemerintah dapat membuat sesuatu produk dan sikap politik yang lebih otoritatif dan legitimatif dibandingkan pertimbangan, kesimpulan, dan rekomendasi DPR. Hal ini menarik sebenarnya bukan hanya pada debat secara hukum, tetapi juga pada tarik-menarik dua institusi politik.

Pertanyaan mendasarnya adalah, berdayakah lembaga parlemen sebagai perwakilan rakyat dengan segala hak yang dimilikinya memengaruhi pemerintah? Jangankan memakzulkan Presiden, menonaktifkan menteri saja tidak mampu.

Matinya Century
Banyak pihak termasuk penulis berharap cemas atas keberlanjutan kasus Century dan hasil rekomendasi Pansus. Bisa jadi, Pansus hanya menjadi tontonan spektakuler publik saja, tanpa manfaat publik sedikitpun. Sementara posisi pemerintah semakin mendapatkan simpati dan akseptasi tertentu dari publik yang menuju pada pemaafan kasus Century.

Episentrum Century kini berpindah pada pemrosesan kasus-kasus pinggiran yang anehnya mengarah pada aktor-aktor penggagas hak angket Century di DPR. Dua orang pejabat teras yang disoal DPR pun kini mulai muncul dengan aksi-aksi simpatik yang menurut publik lebih konstruktif. Ambiguitas DPR dengan berhenti pada pelaksanaan hak angket tanpa berlanjut ke hak menyatakan pendapat mulai mengarah ke kompromi baru yang semakin melemahkan. Apalagi, partai yang getol sebagai oposisi kini semakin terang membuka ruang menjadi partai koalisi.

Ibrahim Fahmy Badoh Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan