Cek Perjalanan; Praperadilan ke KPK Dinilai Salah Sasaran

Tim kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi bersikukuh dengan jawaban, permohonan praperadilan dalam kasus penerima cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2004 dinilai salah alamat dan di luar materi praperadilan. Pemilihan itu dimenangi Miranda S Goeltom.

Jawaban kembali (duplik) atas jawaban atas keberatan (replik) yang diajukan KPK terhadap permohonan praperadilan itu, Rabu (10/11), disampaikan seorang kuasa hukum KPK, Rasamala Aritonang, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Permohonan praperadilan itu diajukan delapan tersangka penerima cek perjalanan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) periode 1999-2004, yaitu Poltak Sitorus, Max Moein, Matheos Pormes, Jeffrey Tongas Lumban Batu, Soetanto Pranoto, Muhammad Iqbal, Ni Luh Mariani Tirtasari, dan Enggelina H Pattiasina.

Rasamala menegaskan, permohonan praperadilan itu salah alamat karena diajukan ke PN Jakarta Pusat. Padahal, KPK sebagai termohon berkedudukan di Jakarta Selatan. Ia pun mengutip pendapat praktisi hukum M Yahya Harahap, yang menilai pengadilan negeri yang berwenang memeriksa dan memutus perkara praperadilan adalah pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi kedudukan hukum termohon.

PN Jakarta Selatan, papar Rasamala, juga pernah mengeluarkan dua putusan berkekuatan hukum tetap yang menegaskan, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan praperadilan yang pihak termohonnya KPK adalah PN Jakarta Selatan.

Tim kuasa hukum KPK juga menilai, obyek permohonan praperadilan di luar materi praperadilan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lingkup praperadilan adalah sah atau tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan, sah atau tidaknya penghentian penuntutan, serta ganti rugi dan atau rehabilitasi.

Alasan praperadilan yang diajukan kuasa hukum pemohon adalah menyatakan tidak sah dan batal pemberian status tersangka kepada pemohon, menghentikan penyidikan dan penuntutan atas perkara berdasarkan laporan kejadian tindak pidana korupsi tertanggal 8 Mei 2009, serta membatalkan dua surat perintah penyidikan tertanggal 27 Agustus 2010. Dalam surat itu, nama Max dan Poltak tak disebut. (ang)
Sumber: Kompas, 11 NOvember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan