Cara Efektif Basmi Korupsi; Audit Partisipatif dan Penghentian Bantuan

DERASNYA semangat untuk tidak memilih politisi busuk, salah satu sebabnya dikarenakan kian hari gerakan korupsi dalam berbagai level, malah semakin mangkrak. Bahkan kini ditambah suasana baru berupa korupsi legal yang dipermainkan para politisi di berbagai kantor dewan perwakilan rakyat. Begitu pula beberapa waktu lalu, kalangan pengusaha seolah sepakat untuk menghilangkan suap kepada birokrat dst.

Kekesalan itu seolah melembaga tetapi tidak bisa diwujudkan dalam tindakan nyata karena para penegak hukum juga terkesan tersandung banyak masalah sehingga kasus korupsi sulit diberantas.

Menyimak konteks tersebut, maka promosi tidak memilih politisi busuk bisa jadi kekuatan terakhir atau puncak dari kekesalan tersebut. Dalam bahasa lain, kenyataan itu mirip tumbuhnya capacity building yang memang bisa jadi sebagai benteng terakhir untuk mengatasi ringkihnya aparat hukum, minimnya dampak media cetak, hilangnya nurani untuk tidak berkonspirasi berkorupsi dalam skala yang lebih luas.

Hal yang sama juga sudah mulai bermunculan di arus bawah masyarakat kecamatan dan pedesaan. Mereka sangat peduli dan gerah dengan tindakan menyimpang dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Aryanto, warga Desa Sindangsari Kecamatan Cikaum Kabupaten Subang misalnya, mengaku gerah dengan beragam penyimpangan dana program pemberdayaan. Ia geram karena dominasi pelaku penyimpangan, bukan di masyarakat tetapi justru di kalangan elite desa dan kecamatan. Beragam program semacam IDT, PDMDKE dan sebagainya, lenyap begitu saja.

Saya sangat peduli karena tidak mau program-program itu lenyap begitu saja seperti program JPS dsb. Saya ingin ikut mengubah kebiasaan jelek memanfaatkan dana program untuk kepentingan pribadi. Makanya saya terjun di Program Pengembangan Kecamatan (PPK) karena PPK ini alurnya bisa mengubah sifat jelek korupsi, kata Aryanto, ketika dihubungi pada Rakor PPK di Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, (19/1).

Aryanto adalah anggota Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian penyimpangan dana PPK di Cikaum Subang. Kini ia tampil sebagai ketua UPK Cikaum Subang. Pansus itu sengaja dibentuk tanggal 23 September 2003 melalui musyawarah antar desa (MAD) khusus, karena tingginya kepedulian anggota masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus penyimpangan dana PPK.

Mereka sudah berani bergerak, salah satunya dengan mendesak camat Cikaum agar lebih responsif dan bertindak cepat serta tegas kepada para penyimpang dana PPK termasuk seorang staf-nya sendiri yakni mantan PJOK. Hebatnya, surat kepada camat tertanggal 1 Januari 2004 yang didukung lima kades dari 23 penanda tangan itu, juga bernada mengancam, jika tidak teratasi dan proses PPK terhenti, maka mereka tidak tahu apa yang terjadi kepada para pelaku yang menyimpang itu.

Menurut catatan MAD Khusus tanggal 7 November 2003, total penyimpangan dana itu Rp 88.791.888,00. Pelakunya mantan Penanggung jawab Operasional Kegiatan (PJOK) Cikaum, Sekretaris Unit Pengelola Keuangan (UPK) Cikaum, Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Pasir Muncang, TPK Cikaum Barat dan TPK Mekar Sari, tiga orang warga dan tunggakan di 7 desa. Kabar terakhir berkat gerakan kepedulian masyarakat, pada tanggal 27 Januari 2004 dana yang kembali sudah mencapai Rp 20.276.600, dua buah BPKB motor, empat surat tanah seluas 10.084 m2.

Kisah kesadaran yang mirip terjadi juga di Kabupaten Karawang khususnya di kecamatan Pedes. Mereka yang menamakan dirinya Tim Audit Independen, dibentuk 16 Juli 2003 melalui MAD Khusus I. Tugasnya waktu itu menyelesaikan pemakaian dana tidak halal Rp 91.837.746,00 oleh berbagai kalangan di Pedes. Tim ini beranggotakan 12 orang dan kerja siang-malam untuk melacak dana-dana yang dikorupsi. Cara kerjanya dibagi tiga tim. Tim A untuk melacak dana di TPK bermasalah, Tim B mengurut dana yang diselewengkan pengurus UPK, dan Tim C menyisir pemakaian dana yang dipakai pribadi/masyarakat.

Ide cemerlang ini melahirkan laboratorium partisipasi di Pedes agar diberlakukan di berbagai daerah. Entry point-nya untuk menyelesaikan masalah dengan pelibatan masyarakat dan tindak lanjut pada peningkatan kapasitas masyarakat.

Di Sumedang pun tumbuh kesadaran monitoring swadaya dengan membentuk panitia khusus (pansus) yang melibatkan BPD. Tugasnya untuk menangkal masalah di Kecamatan Rancakalong. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Majalengka. Masalahnya telah terjadi pengambilalihan UPK Kecamatan phaseout PPK Rajagaluh oleh Tim KP2, akibat mosi tidak percaya masyarakat kepada UPK. Menengahi masalah itu, diadakan MAD Khusus 14 Juli 2003 dan membentuk tim 7. Hasilnya, 27 Agustus 2003, terpilih pengurus UPK baru dsb.

Mari simak juga kasus pemakaian dana PPK oleh Ketua UPK lama di Kecamatan Lebakwangi Kuningan Rp 107 juta lebih tahun 2001. Tensi Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kuningan untuk memelopori penyelesaian kasus di kecamatan phaseout itu, sampai kini cenderung biasa-biasa saja. Aparat hukumnya juga tampaknya belum menjadikan kasus ini prioritas khusus.

Akibat kedua hal itu, kini Kuningan menuai kekesalan yang memuncak dari kalangan masyarakat. Akhirnya merebaklah desakan untuk menunda semua proses PPK di Kabupaten Kuningan, sampai kasus Lebakwangi benar-benar ditangani serius para aparat hukum.

Sikap itu lahir setelah konsultan dan masyarakat habis kesabarannya melihat akrobat penyelesaian kasus UPK Lebakwangi. Suasana itu mendorong lahirnya Memorandum dari National Management Unit V Jabar, nomor 302/RMU-V/PPK-II/12/2003 tanggal 13 Desember 2003. Isinya menunda semua pencairan dana PPK di Kabupaten Kuningan sampai kasus UPK Lebakwangi yang melibatkan ketuanya dituntaskan.

Ancaman ketat ini bisa dibayangkan letupan dampaknya di kalangan masyarakat. Namun apa daya, semua cara sudah ditempuh dan langkah sudah terlampu panjang dilalui, maka terpaksa pilihan pahit itu diberlakukan. Apalagi sebagian masyarakat juga mempertanyakan progress kasus UPK Lebakwangi, baik melalui siaran radio siaran pemerintah daerah Buana Asri setiap Rabu pukul 19.00-20.00 di Kuningan maupun dalam pertemuan-pertemuan UPK. Dari kacamata yang lebih luas, jika Lebakwangi dibiarkan, maka akan jadi preseden buruk dalam pelaksanaan PPK di kecamatan lain.

Bisa jadi sebagian dari kita akan menilai agak anarkis penyelesaiannya. Penuh dengan kekhawatiran akan timbul gejolak berlebihan. Tetapi itulah faktanya, karena masalah tetap saja menggantung, masyarakat kian gerah, maka muncullah jalan terjal tersebut. Biasanya jika masyarakat sudah turun tangan, penyelesaian masalahnya lebih berbeda.

Ancaman penundaan pencairan dana juga akan diberlakukan di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon, Kecamatan Pesawahan dan Plered di Purwakarta. Instruksi ini muncul dari Memorandum nomor 293/RMU-V/PPK-II/11/2003 tanggal 17 November 2003. Ketiga kecamatan akan melakukan MAD III, jika serangkaian masalah di kecamatan itu bisa segera dituntaskan.

**
KITA prihatin dengan semua masalah itu, bahkan ngeri membayangkan dampak memorandum bagi masyarakat di daerah penundaan pencairan itu. Tetapi hikmah lain dari perkara itu, ternyata pemberdayaan patut pula diberikan kepada jajaran elite dengan intensitas tinggi.
Tidak fair, jika kita terus menerjang masyarakat miskin agar patuh pada prinsip-prinsip PPK dengan segala konsekuensinya, tetapi itikad pemberdayaan dan teladan malah tidak dimiliki segelintir elite, baik di tingkat desa sampai kabupaten, provinsi bahkan pusat, di level eksekutif maupun legislatif.

Ada pepatah bijak yang patut dipahami semua kalangan, yakni jangan mempermainkan perasaan dan emosi masyarakat luas. Sekali salah merespons dan apalagi mengabaikan aspirasi positif yang berkembang, maka selamanya kepercayaan masyarakat akan runtuh dan mereka akan mencari jalan keluar versinya sendiri demi keadilan.

Semua konteks itu bisa jadi ada kesamaaan visi antara beragam LSM yang berhimpun mempromosikan tolak politisi busuk dengan segenap warga Cikaum, Pedes, Rajagaluh, Wanareja, dan Rancakalong yang gerah dan muak dengan tindakan menyimpang. Mereka juga risau karena menghadapi kecenderungan lambannya masalah korupsi diatasi. Jika dibiarkan sama artinya membangun dampak negatif bagi warga yang baik dan jujur menjunjung program pemberdayaan.

Kisah itu menimbulkan pemahaman, audit partisipatif atau monitoring swadaya ternyata dinilai lebih efisien. Cara-cara ini ditimbang lebih efektif, karena selain daya dorong yang begitu besar dengan kecenderungan tanpa vested interest tertentu, apolitis, trasparan, terkontrol warga banyak, hukuman sosial, dan semoga objektif, dsb.

Jika kita simak sekilas kasus itu, PPK bisa saja dikatakan sudah mampu memengaruhi munculnya kesadaran masyarakat tentang pembangunan sekaligus untuk mengamankan amanat program jangka panjang. Sinyalemen pemberdayaan berupa pembangunan karakter atau kapasitas seseorang untuk lebih peka, peduli, dan berani mengambil sikap antipenyimpangan, patut disyukuri. Kehadiran pikiran warga yang ingin bersama membangun tanpa cela, yang diimplementasikan melalui audit partisipatif dst. layak dipelihara.

Kendati dimaklumi kesadaran itu selalu lahir bersifat reaktif, setelah menyeruaknya masalah, bukan dalam pengertian antisipatif. Tumbuhnya juga belum serempak di semua daerah. Namun tak apalah, kenyataan tumbuhnya audit partisipatif juga cukup menggembirakan dan sedikit banyak mengerangkeng langkah manusia-manusia culas.

Menyimak hal di atas, ada dua hal menarik yang muncul sebagai bentuk kekecewaan atas lambannya proses di tangan pemda dan aparat hukum. Hal itu, pertama, beragam keluhan telah membangunkan peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk kontrol ketat dengan membuat tim independen, tim audit, dst. Kedua, minimnya komitmen itu telah menuai ancaman berupa menunda proses yang berdampak lebih luas. Kedua cara ini cukup efektif sebagai benteng terakhir agar pihak terkait lebih serius dan segera menyelesaikan masalah.(TEGUH LAKSANA adalah wartawan Pikiran Rakyat)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, Selasa, 03 Februari 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan