Cabut Kepres yang Cacat Hukum dan Segera Seleksi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi!

Pernyataan Pers Bersama Terhadap Putusan PTUN No 139/G/2013/PTUN-JKT  
(perkara Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Konstitusi Vs Presiden RI)

Setelah menunggu selama lebih dari empat bulan sejak didaftarkan –tanggal 12 Agustus 2013, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 23 Desember 2013 kemarin telah memutuskan sengketa antara Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden RI terkait Keputusan Presiden tentang penunjukan langsung hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagaimana yang tertera dalam Keppres No 87 Tahun 2013.

Gugatan ini diajukan oleh Koalisi,  karena pertimbangan Keppres No. 87 tahun 2013 yang pada intinya mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida adalah cacat hukum, karena bertentangan dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi (UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama UU Mahkamah Konstitusi), yang mensyaratkan pemilihan hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif. Bahkan dalam penjelasan Pasal 19 UU MK kemudian menjelaskan lebih detil, bahwa yang dimaksud dengan transparan dan partisipatif tersebut adalah harus diumumkan di media massa baik cetak dan elektronik.

Dikarenakan proses pemilihan hakim konstitusi lewat jalur Presiden tersebut dilakukan dengan tidak transparan dan partisipatif –berbeda dengan proses seleksi pada tahun 2008 yang transparan dan partisipatif, maka koalisi kemudian mensomasi Presiden SBY untuk membatalkan Keppres. Karena somasi Koalisi tidak ditanggapi oleh Presiden, maka Koalisi kemudian mendaftarkan guggatan ke PTUN pada tanggal 12 Agustus 2013.

Adapun garis besar putusan PTUN Jakarta antara Koalisi dengan Presiden RI adalah sebagai berikut:
1.  Menerima legal standing Para Penguggat dengan menafsirkan secara luas bahwa yang dimaksud dengan kepentingan LSM di sini tidak hanya soal fokus isu masing-masing lembaga sebagaimana yang tertulis di AD/ART, namun meluaskan makna kepentingan LSM di sini adalah menyangkut dengan kepentingan umum.

2.  Pasal 19 UU MK dinyatakan sebagai syarat mutlak dalam proses Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi. Meskipun pelaksanaannya secara teknis diserahkan kepada Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung, namun tidak bisa mengesampingkan ketentuan Pasal 19 UU MK terkait Transparansi dan Partisipasi Publik.

3.  Inkonsistensi penegakan hukum dalam pengangkatan hakim MK oleh Pemerintah telah dibuktikan sendiri oleh Pemerintah dengan pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK sebagaimana yang  dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa Pemerintah telah menyadari kekeliruan yang nyata. Perppu tersebut menunjukan bahwa Presiden keliru dalam melakukan proses seleksi hakim MK, sehingga syarat dan tata cara seleksi hakim MK menjadi berbeda dengan sebelumnya, misalnya dibentuk panel ahli dan minimal 7 tahun sudah berhenti dari dunia politik.

4. MK merupakan salah satu pusat kekuasaan dalam supra struktur politik negara sekaligus sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Oleh karena itu pengisian jabatan hakim MK harus dipilih dengan tata cara pencalonan yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif publik, dan bukan dengan cara diangkat melalui penunjukan langsung oleh lembaga yang sederajat dengan MK (In casu, Presiden RI).

5. Dalam amar putusan, majelis hakim memutuskan:

  1. Mengabulkan guggatan penggugat untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia No 87/P/Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013, yang memutuskan:

Menetapkan:
Pertama             : memberhentikan dengan hormat dari jabatan hakim konstitusi, masing-masing atas nama:

  1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH,MH;
  2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH.MH;

Kedua:  Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama:

  1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH,MH;
  2. Dr. Patrialis Akbar SH, MH;
  3. Mewajibkan Tergugat (Presiden RI) untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia No 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013, yang memutuskan:

Menetapkan:
Pertama: memberhentikan dengan hormat dari jabatan hakim konstitusi, masing-masing atas nama:

  1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH,MH;
  2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH.MH;

Kedua :  Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama:

  1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati SH,MH;
  2. Dr. Patrialis Akbar SH, MH;
  3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng sebesar Rp. 162,000- (seratus enam puluh ribu rupiah).

Berdasarkan Putusan PTUN No 139/G/2013/PTUN-JKT tersebut, Koalisi kemudian menyatakan sikap:

1.  Memberikan penghargaan setinggi-tigginya putusan PTUN dalam perkara ini. Putusan ini adalah putusan yang progresif dan harus menjadi acuan bagi semua pihak. Ini adalah kado akhir tahun bagi hukum di Indonesia. Apa yang dilakukan majelis hakim tidak hanya menegakkan hukum namun juga menyelematkan MK.
Apresiasi termasuk pertimbangan hakim yang menerima guggatan penggugat seluruhnya, terutama menyangkut diperluasnya makna kepentingan LSM (legal standing) sebagai penggugat yang mewakili masyarakat di pengadilan, yang tidak harus berdasarkan isu yang diavokasi masing-masing lembaga tetapi cukup berdasarkan kepada kepentingan umum masyarakat yang dibela. Putusan ini merupakan yurisprudensi baru dalam dunia hukum di Indonesia, setelah adanya putusan diterimanya legal standing LSM di bidang lingkungan. Meminta kepada Presiden RI untuk segera melaksanakan putusan PTUN Jakarta dengan mencabut Kepres No 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013. Sebaiknya pemerintah tidak perlu melakukan banding, karena tindakan tersebut dapat dinilai tindakan yang kontradiktif atau bertentangan dengan semangat Perpu No 1 Tahun 2013 sebagaimana yang dikeluarkan oleh Presiden.

2.       Meminta kepada Presiden RI untuk segera dan tidak menunda-nunda melaksanakan putusan PTUN Jakarta dengan mencabut Kepres No 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013. Sebaiknya pemerintah tidak perlu melakukan banding, karena tindakan tersebut dapat dinilai tindakan yang kontradiktif atau bertentangan dengan semangat Perpu No 1 Tahun 2013 sebagaimana yang dikeluarkan oleh Presiden.

3.      Meminta kepada MK secara lembaga untuk menghormati Putusan PTUN. Jika MK tidak kooperatif dan tidak tunduk kepada Putusan PTUN, maka jelas MK mempraktikan kepada publik sebuah tindakan yang tidak terpuji yang berimplikasi kepada makin jatuhnya martabat MK di hadapan publik.

4.      Mengecam pernyataan Patrialis Akbar yang mengasosiasikan Putusan PTUN sebagai tindakan yang akan melumpuhkan MK secara kelembagaan. Padahal yang menjadi inti guggatan oleh koalisi adalah Keputusan Presiden yang tidak taat kepada hukum, bukan posisi Patrialis sebagai personal. Jika Patrialis masih ingin mengejar kursi hakim MK, maka ia harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mensyaratkan seleksi dengan transparan dan partisipatif, yang dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dengan melewati proses Panel Ahli. Bukan dengan jalur atau mekanisme yang tidak transparan dan partisipatif.

5.      Meminta Patrialis untuk menghormati putusan PTUN. Jika Patrialis tidak mentaati putusan PTUN dan keras kepala mempertahankan kursi hakim konstitusi, maka wajar saja jika publik menilai Patrialis tidak memiliki sikap kenegarawanan.

6.      Mendesak Komisi Yudisial Membentuk dengan segera Panel Ahli untuk mengisi dua posisi hakim konstitusi yang kosong, yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.

Jakarta, 24 Desember 2013
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi
Indonesia Corruption Watch, Indonesian Legal Roundtable, Pukat FH UGM, ELSAM, LBH Padang, Yayasan LBH Indonesia

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan