Buyung versus Tifatul

PERSETERUAN antara Buyung dan Tifatul Sembiring cukup mengusik perhatian kita. Perseteruan itu sekaligus menandai dua hal. Pertama, akankah agenda membatasi ruang gerak KPK terus digulirkan? Kedua, apakah pemerintah akan bergeming dengan agenda rancangan pemerintah soal penyadapan (RPP Penyadapan)?

Kegusaran Buyung
Adnan Buyung Nasution yang selama masa Orde Baru dikenal begitu garang menyuarakan keadilan, namanya kembali muncul ke publik tatkala kisruh antara KPK dan Polri terjadi. Sebagai salah satu anggota dewan pertimbangan presiden, sepak terjangnya sudah diakui dalam ranah penegakan hukum di tanah air.

Mengapa Bang Buyung -panggilan Adnan Buyung oleh kalangan aktivis CSO-- gusar atas sikap Menkominfo Tifatul Sembiring yang mantan presiden PKS? Bahkan, sang Bang begitu keras menyebut Tifatul sebagai juru bicara koruptor dan sebagai corruptor fight back. Buyung juga menyatakan bahwa Tifatul jangan sampai terbawa arus untuk melemahkan KPK.

Buyung sebenarnya mengingatkan, salah satu instrumen penting bagi KPK untuk mengendus para koruptor adalah dengan penyadapan. Modus operandi para koruptor, mafia peradilan, makelar kasus (markus) dan penyogokan, hanya dapat dideteksi bila mereka disadap.

Publik dapat membayangkan, seandainya markus Anggodo Widjojo tidak disadap KPK dan kemudian dibuka di Mahkamah Konstitusi (MK), tentu rumor pelemahan KPK oleh pemerintah -melalui Polri tidak dapat dibuktikan.

Pantas saja jika Buyung menuduh Tifatul sebagai agen corruptor fight back, kembalinya para koruptor. Mengapa demikian? Karena suap dan korupsi itu ibarat "angin kentut," baunya tercium tetapi sulit dibuktikan. Penyadapan --selama ini terbukti dan sudah dibuktikan oleh KPK- sebagai sarana ampuh untuk mencokok para pejabat yang terlibat dalam praktik markus dan sogok-menyogok.

Kita masih ingat kasus jaksa Oerip yang akhirnya dicokok KPK. Demikian juga dengan Al-Amin Nasution, Abdul Hadi Jamal, dan beberapa lagi kasus lain. Dengan kata lain, mencabut kewenangan KPK untuk menyadap berarti semakin mengukuhkan semangat pemerintah untuk melemahkan KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi yang disegani.

Benang Kusut Pemerintah
Selama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu menegaskan bahwa pemerintahannya akan berada di garda depan untuk pemberatasan korupsi, mafia peradilan, dan makelar kasus (markus). Namun, ironisnya sikap presiden ini tidak diejahwantahkan oleh menterinya, termasuk Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring.

Sadarkah Tifatul Sembiring yang juga mantan presiden PKS --partai yang mencitrakan diri bersih- bahwa cara yang ditempuhnya untuk memereteli kewenangan penyadapan sebagai suatu tindakan yang justru merupakan bagian dari cara-cara yang tidak mendukung pemberantasan korupsi.

Karena itu, setelah kasus kisruh KPK-Polri dan isu pelemahan KPK sebagai institusi pemberatasan korupsi, tuntutan publik kepada para elite yang memerintahkan bukan sekadar komitmen dan pidato, tetapi langkah nyata. Jika pidato Presiden SBY yang begitu komit memberantas korupsi, tetapi para pembantunya justru menempuh cara lain, ini dapat disebut benang kusut pemerintahan SBY.

Benang kusut ini terletak pada, pertama, paradigma dan mentalitas para menteri (pembantunya)-- yang seakan-akan memiliki agenda sendiri yang justru bertentangan dengan keinginan presiden. Kedua, sudah bukan zamannya membatasi gerakan dan keinginan publik agar negeri ini bersih dari korupsi sebagai penyakit birokrasi dan para pejabat di negara-negara berkembang (dunia ketiga).

Presiden Perlu Tegas
Perseteruan Buyung-Tifatul bukanlah perseteruan individual, tetapi juga menggambarkan perseteruan institusional. Satu sisi ada kepentingan yang berbeda antara penasihat presiden di Wantimpres dan menteri para pembantunya.

Koordinasi, penyamaan visi dan misi tentang pemerintahan lima tahun mendatang tampaknya masih terserak-serak pada Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II). Perbedaan sikap dan tindakan para pembatu presiden di depan publik mengindikasikan ada yang salah pada manajemen KIB II.

Presiden bagaimanapun perlu tegas dalam hal ini. Pertama, apa bentuk konkret dari pidato-pidato tentang pemberantasan korupsi, mafia peradian, dan makelar kasus tersebut? Khusus untuk pemberantasan korupsi --apakah pemerintah masih memandang perlunya KPK yang kuat ataukah KPK yang lemah?

Jika presiden menghendaki KPK yang kuat, tentu harus ada kebijakan yang jelas mengenai institusi KPK dan kewenangan KPK. Tanpa ada garis kebijakan pemberantasan korupsi, baik dari segi paradigma dan desain lembaga yang menangani tentu semua pidato Presiden SBY dapat diartikan berbeda-beda oleh para pembantunya.

Jangan sampai, orang-orang seperti Bang Buyung ini kembali menggugat kebijakan pemerintah di muka publik. Bagaimana pun, Tifatul adalah seorang menteri--yang juga merupakan pembantu presiden, demikian pula dengan Bang Buyung yang sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Jika antara para pembantu bertengkar, akan mudah ditangkap adanya indikasi bahwa presiden kurang tegas dan remang-remang dalam memberikan perintah tentang pemberantasan korupsi. Selain itu, adaperbedaan tafsir atas perintah dan pidato presiden dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia. (*)

Moch. Nurhasim , peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 21 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan