Bukan Kriminalisasi Kebijakan

Mau mudah memahami sistemik? Pakailah kamus bahasa, sistemik itu berarti keteraturan. Itulah sebabnya, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) hanya menjamin suku bunga tertentu dan jumlah tertentu (sampai dengan Rp2 miliar).Di luar itu dianggap unsystemic risk yang harus diserap nasabah.

Seorang dengan kekayaan dana mengendap di atas Rp2 miliar, tatkala menempatkan uangnya di satu bank di atas bunga LPS,maka tentu sudah memiliki informasi yang cukup.Sehingga,nyaris tidak ada perdebatan, jika di luar sistem penjaminan, maka itu bukan masuk ranah sistemik. Besar kemungkinan “jaminan personal” dari bankir yang dikenalnya menjadi psikologi utama penempatan dananya. Sehingga,wajar deposan besar di bank dengan segmentasi terbatas seperti Bank Century harus dilihat derajat hubungannya dengan bankir dan atau pemilik Bank (afiliasi) Bagi saya, menyatakan efek psikologis ke 23 bank lainnya jika Bank Century
dibubarkan mengandung tanya,apakah semua orang kaya menyimpan uang di bank kecil yang tidak masuk skema penjaminan?

Di sisi lain, kegagalan Bank Global saat peradangan kurs di 2004-2005 yang ditutup (tidak bailout), yang memiliki perilaku seperti Bank Century tak berdampak ekonomi terganggu. Lalu, persoalannya adalah pasar terbuka yang membuat sebuah bank memiliki hubungan dengan bank lainnya. Itulah yang disebut interbank. Di sinilah, cerita Bank Century dimulai tatkala terkena kalah kliring pada tanggal 13 November 2008. Ukurannya penerima fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) adalah bank dengan rasio kecukupan modal (CAR) 8%.

Saat itu CAR Bank Century tidak memenuhi kriteria, dan lalu dilakukan perubahan aturan FPJP dengan CAR cukup positif (13 November 2008).Dalam tanggapannya,BI menyatakan itu bukan hanya untuk Bank Century tapi respons atas kondisi saat itu. Padahal, repetisi antara kalah kliring Bank Century, perubahan aturan FPJP, dan pengaliran dananya ke Bank Century (14 November 2009) sangat berdekatan, sehingga sulit untuk tidak mengandung tanya konflik kepentingan.

Episentrum Pasar Keuangan Indonesia
Saat itu kondisi CAR perbankan bagus, rata-rata di kisaran 10%. Bahkan,Bank besar pada waktu itu overliquid dengan CAR yang sampai melebihi angka 100%.Artinya, jika kita konsisten ke mekanisme pasar (let’s market operate itself), maka kesulitan likuiditas dapat ditempuh
dengan pinjam meminjam antar bank. Memang, saat itu bank besar meminta bunga besar.

Kalau ini dianggap sistemik, mengapa tidak ditempuh penjaminan pinjam-meminjam antar bank saja? Meski saya tidak terlalu setuju juga, tapi satu kebijakan untuk semua lebih terasa di model seperti itu. Atau Bank Century memang sudah tidak ada yang percaya? Kalau ini yang
terjadi, menjadi pertanyaan besar ketika negara malah mempercayainya. Saya jadi bertanya-tanya, apakah bunga tinggi di pasar uang antar bank (PUAB) dengan kurs rupiah– dolar AS yang terus melemah, menjadi ciri gempa (sistemik) pasar keuangan?

Dalam banyak kesempatan pemerintah, BI dan ekonom pro sistemik menyatakan krisis global membuat bursa efek di-suspend dan pasar uang antar bank (PUAB) tersegmentasi.Singkat saja,kenapa saham kita terhajar efek global, karena saham BUMI (yang mendominasi 30-40% transaksi harian bursa) didorong lebih dalam selisih harga hariannya. Tujuannya, asing
(pemegang RePO–jaminan bergerak pinjam meminjam antara Global Investment Bankers dengan perusahaan dan atau pemegang saham) ingin menukarkan aksi gorengnya ke keuntungan kurs Rp-USD. Kenapa saya katakan goreng, pengalaman saya sebagai pengawas transaksi bursa menunjukkan adanya indikasi transaksi semu tanpa perpindahan kepemilikan.

Ini yang mendorong aksi jual saat itu memenuhi dua sinyal indikatif, berputar di antara kelompok sekuritas tertentu dan harga begitu mudahnya cepat berubah dengan volume terbatas.Bahkan ketika itu, suspensi bursa dilakukan dengan alasan adanya ketidakwajaran yang masif.Sayang,hingga hari ini sinyal tersebut hasil investigasi dan penegakan hukumnya oleh Bapepam- LK nyaris tak terdengar pula. Poin saya,Menkeu saat itu tegas menyatakan tidak mau melakukan proses pembelian saham BUMI melalui dana BUMN. Silakan dilacak di media, saat itu saya juga sependapat dengan Menkeu.

Padahal, jika masalah yang saat ini dijadikan ukuran adalah suspensi bursa dan segmentasi PUAB,maka saya berpendapat bukan Bank Century pilar sistemiknya, tapi,saham BUMI. Data saya sejak tahun 2004 konsisten menunjukkan transaksi asing di jual-beli BUMI berputarputar dan elastis (sangat berpengaruh) ke indeks bursa dan lalu indeks bursa elastis ke PUAB. Jadi pelemahan rupiah dan naiknya bunga segmentasi PUAB itu sumbernya.

Itu masih berlanjut sampai hari ini. Kenapa saya tak sepakat stabilisasi BUMI saat itu, meski saya tahu itu episentrumnya? Alasan, saya kembali ke asumsi keberpihakan kebijakan dana stimulasi negara harus ke multiplier terbanyak. Sesistemik apapun, pemain pasar keuangan tak lebih dari 1% penduduk.Jika saya ditanya dalam rapat KSSK di dini hari 21
November 2008, saya akan katakan lebih baik dana LPS digunakan menyubsidi bunga kredit ke sektor penyerap lapangan kerja dan ketahanan pangan yang terganggu dari kenaikan bunga kerja akibat PUAB.

Pidana Konflik Kepentingan
Perbedaan pandangan soal sistemik antara kubu kontra (saya secara analisis berada di kutub ini) dengan kubu pro adalah ranah ekonomi. Pijakan saya “krisis adalah saat terbaik melakukan koreksi”. Sehingga perbedaan pandangan yang terbahaskan diharapkan akan mengubah pijakan politik ekonomi Indonesia, yang lebih mengutamakan intermediasi sektor keuangan ke sektor riil.

Tapi hal itu bukan sebagai pembenar dampak hukum atas buruknya pelaksanaan kebijakan tersebut. Jadi,janganlah seperti anak kecil yang bergerombol.Yang dimaksud ranah hukum adalah bukan menilai kebijakan,tapi konflik kepentingan dari kebijakan. Dalam konteks itu
maka yang dinilai adalah sebab-akibat, yaitu apakah kebijakan sebagai sebuah sebab melahirkan akibat keuntungan bagi diri sendiri dan atau orang lain (Konstruksi UU Tipikor).

Mari dewasa, dalam Laporan Audit BPK sudah terdapat indikasi “perampokan” dana FPJP oleh pihak terafiliasi terhadap rekening nasabah tertentu untuk menyelesaikan transaksi notes yang bersangkutan. Dengan kata lain, pidana perbankan terindikasi ditutupi dana negara. Kalaupun kebijakan ini kredibel,maka penyimpangan pelaksanaan menjadi tanggung jawab fungsi pengawasan dari pengambil kebijakan. Substansi lain yang harus diuji adalah perubahan peraturan LPS di tanggal 5 Desember 2009 yang menurut laporan audit BPK tidak jelas pijakan hukumnya.

Sekali lagi kita tidak mengkriminalisasi kebijakan.Tapi, pasca-perubahan itu LPS memungkinkan menyuntik Bank Century untuk kebutuhan pencairan dana deposan. Yang terjadi inilah yang mengakibatkan dana membengkak sampai Rp6,7 triliun. Di mana, sekitar Rp3,2 triliun dialokasikan ke pencairan dana nasabah. Secara sistemik arus dana bailout, seperti arus sungai setiap disuntik selalu bocor.Yang terklarifikasi di laporan BPK baru satu hal, yaitu pengambilan tak sepatutnya yang sejalur dengan peristiwa FPJP. Pertanyaan substansi lain, dana BUMN justru ditarik setelah LPS menyuntik dana.

Ini harus diikuti, karena jika pemerintah serius menyelamatkan Bank Century, justru saat bank ini telah dimiliki pemerintah melalui penyertaan modal sementara (PMS) LPS, anehnya justru terjadi penarikan dana. Sisanya ke individual pun mutlak diikuti. Sehingga, substansi di atas memang menuntut audit aliran dana yang kredibel. Standar kita ada contohnya, yaitu audit aliran dana Cessie Bank Bali oleh Price WaterhouseCoopers yang mendeteksi sampai ke luar negeri dan fee dari para perantara yang terciprat dananya.

Ini bukan ranahnya perang statement ekonom, ini ranahnya KPK. Bukan soal siapa korbannya. Bangsa besar harus dewasa untuk memiliki proses hukum yang kredibel. Jadi, semoga KPK tidak masuk angin dan tidak berstandar ganda.Karena penindakan sejenis pernah ditempuh KPK.(*)

Yanuar Rizky; Analis Independen Aspirasi Indonesia Research Institute

Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, 8 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan