BPK untuk Akuntabilitas Publik

Dalam sebuah diskusi di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) muncul satu pertanyaan yang cukup menggelitik: mengapa kasus korupsi masih terjadi di lembaga-lembaga yang laporan pengelolaan anggarannya dinilai baik oleh BPK? Ada daerah yang dalam beberapa tahun belakangan selalu memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tapi kepala daerah dan birokrasinya juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam kasus terakhir yang terjadi di Kementerian Desa, diduga terjadi praktik suap dalam pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan auditor BPK.

Ada dua kemungkinan untuk memilah hubungan antara korupsi dan predikat atau penilaian atas laporan keuangan (WTP). Pertama, opini WTP bisa saja berkaitan langsung dengan tindak pidana korupsi yang sedang terjadi. Ini bisa dicontohkan dari kasus yang terjadi di Kementerian Desa, ketika ada upaya untuk memperoleh opini WTP dengan melakukan suap. Publik tentu dengan mudah menyimpulkan bahwa proses pemberian opini di BPK memang rentan praktik suap.

Kedua, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, pemimpin lembaga, atau birokrasi tidak berkaitan langsung dengan kinerja pengelolaan keuangan negara. Sebagai contoh, kepala daerah menerima suap dari perusahaan swasta karena pengurusan izin tertentu.

BPK harus dilihat sebagai salah satu aktor yang berfungsi dalam mitigasi praktik korupsi. BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945. Dengan demikian, peran BPK sangat penting untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dan praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan negara.

Jika membaca beberapa laporan tentang kecenderungan korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga negara, harus diakui bahwa BPK termasuk lembaga yang tidak dikategorikan korup. Misalnya, dalam hasil riset Global Corruption Barometer (GCB) 2017, yang dirilis Transparency International (TI), lembaga yang dikategorikan korup adalah lembaga-lembaga politik (DPR/DPRD, partai politik), kementerian, birokrasi, penegak hukum (polisi, pengadilan), pengusaha, dan seterusnya.

Kerja-kerja BPK seharusnya diarahkan dan dipastikan memiliki dampak positif dalam penggunaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK harus dipastikan ditindaklanjuti oleh setiap lembaga yang mengelola keuangan negara.

Namun ada beberapa catatan yang perlu dicermati oleh BPK agar fungsinya sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi bisa dijalankan. Pertama, BPK tidak memiliki kewenangan untuk memastikan hasil audit, pemeriksaan, atau rekomendasi dijalankan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah. Menurut undang-undang, kewenangan BPK hanya berhenti pada penyerahan hasil pemeriksaan tersebut kepada legislatif, pemerintah, dan lembaga yang diaudit. Walaupun BPK memiliki kewenangan untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, hasil pemantauan tersebut diserahkan kembali kepada legislatif dan pemerintah.

Dari sudut hukum, hampir tidak ada mekanisme yang bisa digunakan BPK untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan hasil pemeriksaannya. Undang-undang juga tidak memuat sanksi apa pun ketika hasil pemeriksaan BPK tidak ditindaklanjuti.

Salah satu cara yang bisa digunakan BPK adalah melalui publikasi hasil pemeriksaan/rekomendasi secara detail kepada publik. Menurut undang-undang, hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap hasil pemeriksaan yang terindikasi pidana memang hanya disampaikan kepada penegak hukum.

Melalui publikasi ini, diharapkan masyarakat juga berperan untuk memastikan bahwa anggaran negara dikelola secara baik oleh setiap lembaga. Dengan begitu, masyarakat juga ikut serta mengawasi pelaksanaan tindak lanjut atas pemeriksaan yang telah dilakukan BPK.

Kedua, BPK perlu memperkuat pengawasan internalnya melalui penegakan etik. Dalam konteks ini, seharusnya ada rambu-rambu tertentu yang berfungsi sebagai batasan yang jelas dan tegas bagi pegawai, anggota BPK, dan khususnya auditor BPK ketika berhubungan dengan pihak yang diaudit. Dalam kasus yang terjadi di Kementerian Desa, pertemuan antara auditor dan pihak Kementerian seharusnya dilakukan dalam konteks pemeriksaan dan audit, bukan untuk menegosiasikan hasil pemeriksaan.

Ketiga, BPK perlu menyediakan kanal pengaduan publik (whistle- blowing system). Sebagai lembaga yang melakukan audit terhadap keuangan negara, BPK wajib membuka ruang bagi publik untuk menyampaikan pengaduan terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh lembaga/badan publik tertentu serta pengaduan terhadap perilaku/tindakan pegawai, anggota, dan auditor BPK yang dinilai menyimpang.

Seluruh catatan ini perlu dicermati oleh BPK maupun publik, semata-mata agar fungsi pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK dirasakan manfaatnya oleh publik. Sebab, pengelolaan keuangan negara sejatinya adalah untuk melayani kebutuhan publik. Dengan demikian, publik pun merasa perlu untuk memperkuat BPK melalui pengawasan oleh masyarakat secara langsung.

Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

-------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 4 September 2017 dengan judul "BPK untuk Akuntabilitas Publik".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan