Bisnis atas Nama Parpol

DUGAAN suap di Kemenakertrans, kementerian yang dipimpin kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menyeret banyak pihak. Oknum kementerian, staf ahli, dan orang bawaan Pak menteri, bahkan menterinya sendiri, disangkutpautkan oleh sementara pihak dalam jaringan suap tersebut. Terbukti atau tidak, KPK kini sedang bekerja. Namun konstruksi perkaranya mulai jelas, minimal setelah Ali Mudhori cs tidak bisa keluar negeri karena dicekal KPK (SM, 17/09/11).

Mau tidak mau, partai yang menaungi Cak Imin dan kawan-kawannya, ikut merasakan getah pemberitaan media. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin, dan Ali Mudhori cs disebut dalam satu tarikan napas: dianggap berupaya memperkaya diri melalui permainan pemenang tender. Nahdlatul Ulama (NU) pun ikut gerah atas kasus ini karena kedekatan ketua umum tanfidziyah PBNU itu dengan PKB.

Perilaku menjual partai sejatinya tak hanya dilakukan kader PKB. Kebanyakan parpol selalu dibawa-bawa untuk mendapatkan jabatan dan pekerjaan. Bisnis atas nama parpol, seperti sudah lazim, baik sekadar untuk memperkenalkan diri, bahkan menakut-nakuti, meminta bagian hingga menjadi penadah uang haram. Tidak banyak parpol mandiri secara finansial. Membangun kantor partai dengan uang iuran dari anggota, seperti dikatakan pengacara Muhaimin ketika melaporkan Lily Wahid, nyaris mustahil dapat membangun kantor megah.  

Problem menteri ketiban nasib sial, mungkin menjadi ringan bila saran dari pengamat dituruti. Sering diingatkan agar para menteri tidak merangkap jabatan sebagai ketua partai. Kursi menteri dan amanah partai bukan pekerjaan sambilan. Satu posisi saja sudah menguras pikiran dan tenaga, apalagi dua jabatan. Berdiri di dua tempat hanya akan membuat pikiran tidak fokus dan pekerjaan tidak dapat ditangani dengan baik.

Imbas bagi NU
Di sisi lain, rangka jabatan berpeluang terjadi abuse of power. Bayangkan, perjalanan menteri atau pejabat publik lainnya yang dibiayai anggaran negara, dibelokkan untuk urusan partai. Apalagi bila anggaran kementerian dirogoh bukan untuk kepentingan rakyat. Secara etis, moral, dan hukum, perilaku itu tidak bisa dibenarkan.

Terkait dengan kasus di Kemenakertrans, bagaimana imbasnya bagi nahdliyin? Semua orang tahu PKB yang kini dipimpin Muhaimin adalah partai bentukan NU. Saat PBNU dipimpin Dr KH Hasyim Muzadi, hubungan PKB-NU tidak jauh dan tidak dekat. Kiai Hasyim cenderung menjaga jarak dengan PKB,  justru dekat dengan PDIP. Tatkala PBNU dipimpin Prof Dr KH Said Agil Siradj MA, hubungan NU-PKB sangat mesra. Said Agil-Muhaimin saling berbagi dan membantu. Komunikasi Said Agil dengan Cikeas berjalan lancar pun sedikit banyak pasti ada peran Muhaimin.

Kompensasinya, Said Agil rentang-renteng dengan PKB. Ketika kasus dugaan suap melilit Ali Mudhori cs, wajah Said Agil dan Muhaimin menjadi santapan empuk media. NU menerima getah negatif dugaan suap Kemenakertrans karena kedekatan Said Agil dengan Cak Imin. Wajar bila

Syuriyah PBNU menegur Said Agil secara tertulis soal independensinya itu.

Teguran sudah berulang kali dilakukan, kata Khatib Aam Syuriyah Prof Dr KH Malik Madani MA, tapi tidak digubris. Memang dalam beberapa kasus, Said Agil sangat politis ketimbang pendahulunya di PBNU. Ketika tokoh lintas agama mengkritik pemerintah melakukan kebohongan publik, kiai asal Cirebon ini membela SBY. Ketika menjadi narasumber di MetroTV (25/01/11) bersama Mohamad Sobary, Yudi Latief, dan Benni Susetyo dalam acara ’’Today’s Dialog’’, Kang Said terlihat ’’nelangsa’’ karena tidak mampu menjaga independensinya.

Said Agil sudah lama dekat dengan PKB karena menguntungkan bagi keduanya. Hal itu dapat dibaca dari komposisi DPP PKB yang mencantumkan salah satu keluarganya. Di sisi lain, Muhaimin banyak kehilangan patron kiai. Konflik berkepanjangan di PKB membuat para kiai kembali naik gunung memilih mengurus ponpesnya. Cak Imim banyak kehilangan simpati kiai pengikut Gus Dur.

Kini, salah satu kiai yang patut diandalkan Muhaimin dan kebetulan memegang kunci di PBNU adalah Said Agil. Untuk itulah kerja sama dan barter bantuan dilakukan, sekalipun sudah dianggap keterlaluan oleh kalangan PBNU sendiri. Kedekatan yang dibangun oleh elite NU dengan berbagai kekuatan politik dan kekuasaan hendaknya tetap berprinsip pada kemaslahatan rakyat. (10)

Dr Abu Rokhmad, dosen IAIN Walisongo Semarang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 22 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan